Bab 4.
"Sudah, Kek! Sudah kelihatan guru kakek!” ucapnya.
"Ya, berarti kamu sudah bisa melihatnya.Tuh, kamu bisa lihat yang ada di belakangmu?" Sangga berbalik badan dan kaget melihat seekor macan kumbang sedang duduk tegak dan melotot ke arah Sangga.
"Masya Allah. Itu macan beneran kek?" Sangga langsung menjauh dan duduk di tikar lagi.
“Berarti kakek dulu jawara dong, punya ilmu yang sakti?” tanya Sangga penasaran.
“Ah, biasa saja kok. Kakek hanya belajar silat biasa saja! Tapi memang kakek dulu juga belajar namanya ilmu kanuragan!” Sangga melihat ke arah kakek dengan manggut-manggut.
“Kek, aku mau dong diajarkan silat oleh kakek! Mudah-mudahan bisa buat Sangga membela diri. Aku tidak punya keahlian silat nih kek!”
“Boleh. Nanti kakek akan ajarkan beberapa jurus saja, untuk membela diri!”
Hari itu dipenuhi oleh banyak obrolan sekitar kehidupan Sangga dan kakek Kresna.
Dua hari kemudian, kakek dan Sangga mulai berdagang cilok, batagor dan somay di depan sebuah hotel di kawasan Mall besar di sana. Sangga mendorong gerobak setiap pagi dan sore. Alhamdulillah, sejak itu penghasilan kakek bertambah banyak dari jual cilok, batagor dan somay. Dia juga membagi hasil keuntungan jualannya kepadaa Sanggabuwana. Kakek juga sudah bisa mengembalikan modalnya yang pernah dipinjam dari Sangga, walau Sangga tak pernah mau menerimanya.
Setiap hari Sangga menyimpan uang hasil pemberian dari kakek. Mereka berdua hidup sederhana. Walaupun makan seadanya, tetapi mereka tetap melakukan ibadah tanpa bolong.
“Sangga, Sangga..!” Panggil seorang wsyanum yang berdiri di depanpintu kamar. Sangga yang sedang beristirahat bersama kakek kemudian bangun dan mendekat ke pintu.
“Eh, mbak Dira, ada apa?” tanya Sangga.
“Eh, hm, Mas Sangga, ini ada lauk dari Ibu,” sahutnya sambil memberikan nampan berisi dua piring isi lauk.
“Ngerepotinn aja, mbak! Terima kasih loh. Mbak Dira sudah lama tak keliatan, kemana saja, mbak?” tanya Sangga.
“Eh. Ada kok mas Sangga. Mas Sangga aja yang tidak pernah cari Dira,” Jawab Dira yang masih berdiri didepan pintu. Sangga heran karena melihat sosok makhluk tinggi gede berbulu hitam lebat di belakang badan Dira. Sangga memindahkanmakanan ke piring berbeda. Dan membawanya kembali semua piringnya ke Dira.
“Terima kasih, ya. Dira mau mampir dulu?” tanya Sangga yang bermaksud untuk menolong Dira.
“Memang boleh mas aku masuk ke dalam?” tanya Dira heran.
“Boleh kok, itu ada kakek sedang rebahan, kakek sedang istirahat saja!” Kemudian Dira masuk ke dalam kontrakan Sangga dan kakek. Makhluk itu memandang Sangga dengan tatapan tajam. Sangga pura-pura tidak melihatnya dan mengajak masuk Dira ke dalam.
“Kek, ini ada Dira.” Makhluknya tidak berani masuk ke dalam kamar kakek.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” sahut kakek. “Oh Dira, aduh terima kasihya lauknya. Bilang sama ibumu! Ngerepotin aja sih??” Kakek duduk dari rebahannya dan memandang aneh ke Sanggabuwana. Karena sepertinya ada yang mau disampaikan oleh Sangga.
Dira, sosok perempuan yang putih, kecil, cantik periang dan suka sama Sanggabuwana. Dia tinggal beda tiga rumah dari kontrakan kakek.
“Iya kek, nanti disampaikan ke ibu.” Sangga mmberikan kode kepada Kakek Kresna, untuk melihat ke depan rumah.
“Kenapa Sangga?” Kakek mendekatkan telinganya ke mulut Sangga.
“Kek, ada genderuwo serem di depan, dia tidak berani masuk. Dia mengikuti Dira terus dibelakang badannya. Tolong usir kek, kasihan sama Dira!” Bisik Sangga yang hanya bisa di dengar oleh kakek saja.
Kakek mengangguk pelan. Kakek bangun dan berjalan ke arah pintu. Kemudian dia seperti merapalkan kata-kata dan Genderuwonya hilang meledak musnah. Kakek jalan kembali ke dalam dan duduk kembali.
“Nak Dira, Ada orang yang suka sama kamu ya??” tanya Kakek Kresna.
“Kok, kakek tau? Gimana kakek bisa tau sih?” tanya Dira. Kakek duduk kembali bersila.
“Kamu menolaknya, ya? Kenapa?”
“Hm, iya kek. Aku tidak suka kek sama dia, tapi kenapa kakek tahu kalau aku ada yang suka. Kalau kakek tau, ituloh, yang rumahnya bertingkat warna putih!” ucap Dira menjelaskan kepada kakek.
“Hm, ya ya…Kalau tidak salah dia kan suka narkoba, ya? Rumahnya kan jadi inceran polisi waktu itu!” Kakek mengernyitkan dahinya.
“Iya kakek, makanya aku tidak mau dan tidak suka sama dia. Kerjaannya kan mabok dan nongkrong di gazebo dekat jalan raya! Kaya tapi tak berpendidikan. Dia suka sama Dira sejak lama, tapi Dira tak mau sama dia!”ucap Dira menjelaskan.
“Memang kamu usia berapa, sekarang?” tanya kakek.
“Saya 18 tahun kek!” jawab Dira.
“Hm, ya sudah, kalau kamu sakit atau ada apa-apa, kamu datang saja kesini!” sahut kakek.
“Memang kenapa kek, kok buat serem aja sih kek? Apa ada yang megikuti Dira kek?” tanya Dira. Dira ketakutan.
“Tidak ada apa-apa kok , Dira. Cuma kayaknya ada yang iseng sama kamu! Kayaknya orang yang suka sama kamu itu!” sahut Kakek Kresna sambil memberikan pandangan.
“Kok, kakek tau? Iya sih Kek. Kadang-kadang, kalau aku ke kamar mandi sering melihat mahkluk hitam besar,sih serem deh pokoknya kek. Makhluk itu berbulu! Serem Kek, apa dia yang ganggu Dira ya, kek??” tanya Dira penasaran. Dia diam penasaran dengan tanggapan kakek.
“Ya, itu mungkin saj! Itu kan mungkin…Hehehehe.” Kakek bingung menjawabnya, takut Dira salah sangka terhadapnya dan menuduh macem-maecem.
“Ya sudah, kek. Oh iya, emang mas Sanggabuwana tidak punya HP, ya?” tanya Dira kikuk.
“Hm, buat apa HP? Aku tidak butuh HP kok sekarang ini! Wong temanku Cuma kakek saja satu-satunya! Aku tak butuh HP, lagiula siapa yang mau aku hubungi??”
“Oh, maksud aku, kalau ditelpon kan bisa, mas. Kadang-kadang, Dira butuh teman ngobro, mas!” jawab Dira agak sedih terlihat.
“Ya, kalau kamu mau ngobrol, ya ke siini saja. Tapi kalau ada kakek berdua ya! Kakek tidak mau ada fitnah!” Kakek memberikan jawaban kepada Dira.
“Baiklah kek, mas Sangga. Kalau begitu, Dira pulang dulu, ya!” Dia berdiri dan bersalaman dengan kakekdan Sanggabuwana.
“Iya, terimakasih ya, Dira.”
“Baik kek.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.
Setelah Seminggu dari saat itu, tiba-tiba kakek sakit keras dan kondisinya juga sangat mengkhawatirkan. Kakek tak bisa ditinggal, karena sakit tak bisa bangun. Sehingga Sangga tidak bisa berdagang. Sangga merawat kakek
Kresna, seperti dia merawat ibunya dulu selama enam bulan beliau sakit dan tak bisa bangun.
Siang itu, Sangga sedang menyiapkan makan siang untuk kakek Kresna. Setelah jadi makanannya, dia bawa ke tempat kakek rebahan sekaligus nasi dan lauk pauk lainnya. Sanggabuwan mau makan bersama kakek Kresna. Kakek sudah terlihat agak mendingan.
“Kek, ini makan dulu. Sangga sudah membuat sop ayam buat kakek. Supaya kakek bisa cepat sehat dan sembuh!” ajak Sangga. Sangga meletakkan makanannya di samping kakek yang rebahan. Kakek duduk dan berdiri.
“Eh Kek. Loh, kakek mau kemana?” tanya Sangga yang ikutan berdiri sambil memegangbadan kakek Kresna.
Dia mendekat ke lemari dan membuka lemarinya. Kakek mengambil sesuatu dari bawah,tumpukan bajunya yang ternyata sebuah kotak kayu. Kakek duduk kembali yang masih dipegangin Sangga dan kembali ke atas Kasur. Dia duduk membuka kotaknya.
“Sangga, ini kalung untuk kamu!” Dia memberikan sebuah kalung berliontin batu berwarna hijau menyala yang Sangga pernah lihat.
“Kek, ini bukannya kalung yang dipakai oleh gurunya kakek?” tanya Sangga yang masih teringat kepada foto yang ada di bingkai foto di dinding. Sangga kemudian berdiri dan mengambil figura foto yang menempel di dinding dan duduk kembali di hadapan Kakek Kresna.
“Ini kek! Lihat, sama kan?” tanya Sangga yang memperlihatkan kalung yang dipakai oleh sang guru.
“Oh, kamu melihatnya? Berarti kalung ini memang jodohmu!” sahut kakek.
“Iya, lihat ini, sama persis dengan yang guru kakek pakai! Bener nggak, kek??” tanyanya lagi.
“Benar nak, kalung itulah yang membuat beliau tidak nampak.” Kakek kemudian memakai kalung tersebut dan langsung menghilang dari hadapan Sangga. Sangga tampak kahet dan celingukan emcari kakek Kresna.
“Kek, kakek. Kakek dimana?” tangan Sangga mengarah ke tempat kakek duduk tapi tidak terasa.
“Aduh kek, jangan nakut-nakutin dong, kek!” Sanggabuwana merasa pipinya ada yang mencoleknya dan pundaknya juga ada yang menepuk. Kemudian kakek Kresna terlihat lagi setelah kalungnya dilepas. Dia masih memegang rantai kalung itu.
“Masya Allah, kek. Jadi kakek itu dari tadi ada di situ tak pindah?” tanya Sangga.
“Iya. Kakek masih di sini dari tadi. Sangga, Kakek wariskan kalung ini untukmu. Dan ini ada petunjuk pemakaiannya. Kamu hapalkan, ya! Walaupun tadi kakek tak nampak dan tak bisa dipegang oleh kamu dan dirasakan, tapi kakek masih bisa menyentuhmu dan kamu berasa kan tadi kalau kakek sentuh di pundak dan di pipi??” Kakek memasukkan kalung itu kembali dan menutup kotaknya.
“Iya kek, berasa ditepuk pundakku dan dielus pipiku!”
“Nah Sangga, Ini buat kamu, nak. Kakek sangat berterimakasih kepadamu, di ujung hidup kakek, kakek mempunyai teman baik yang mau mengurus kakek!” Kakek Kresna menatap Sanggabuwana dengan rasa sayang.
“Apa sih kek, ada-ada ajaahh! Kakek nanti akan sembuh kok!” Sangga sangat sedih karena tak mau ditinggal kakek yang selama ini menjadi pengganti orangtuanya.
“Oh iya, Liontin ini sebenarnya ada pasangannya. Berupa belati. Belati tersebut dipegang oleh kawan seperguruan kakek, namanya Nek Plintir. Sampai sekarang, Kakek tidak tau keberadaannya. Kalau memang jodohmu, kamu pasti akan bertemu dengannya! Kalau kedua benda ini bertemu dan akan menyatu menjadi sebuah senjata pusaka berbentuk TOMBAK Kecil!”
“Aku carinya dimana, kek? Terus, apakah aku harus segera mencari nek Plintir itu? Supaya kedua senjata
itu bisa bersatu??” tanya Sangga yang tak mengerti maksud dari perkataan kakek Kresna, yang penuh misteri. Sangga sama sekali tidak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh kakek Kresna. Dia sendiri tak pernah melihat tombak dihadapannya.
“Tenang dan Sabarlah. Benda pusaka inilah yang akan mengantarkan kamu menuju nek Plintir dan kamu bisa menyatukan kedua benda pusaka ini. Nanti, kamu pergunakanlah benda pusaka Liontin ini untuk membantu orang yang minta pertolongan kepada kamu. Jadi pakailah!”
“Iya kek, nanti aku pakai, lebih baik disimpn aja dulu liontin itu. Kita sekarang makan dulu, ya. Kotak liontin ini saya kembalikan dulu ya kek, ke dalam lemari?” tanya Sangga. Sangga langsung menympan kembali kotak liontin itu dalam lemari kakek.
“Iyalah, ayo kita makan bersama!” ajak Kakek Kresna.
“Baik kek.” Sangga duduk kembali dan mereka makan bersama.
*
Setelah seminggu kakek sakit secara tiba-tiba, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kakek Kresna dimakamkan di TPU dekat sana. Sebelum dimakamkan, Sangga mengurus surat kematian kake kKresna ke RT setempat. Sanggabuwana mencari KTP kakek di lemari milik sang kakek, dan melihat kotak liontin itu lagi dan membukanya. Dia simpan kembali kotaknya dan mencari KTP kakek yang ada di dalam sebuah map.
Kakek Kresna dimakamkan dengan baik oleh banyak tetangga, semua dengan ikhlas membantu Sangga mengantarkan jenazah kakek Kresna sampai tempat terakhirnya.
Malam itu, Sangga sendiri memikirkan nasibnya yang begitu malang. Dia menitikkan air matanya, karena kembali hidup sendiri, sebatang kara di Jakarta. Sesudah sholat, dia langsung mencari kotak itu dan mengambilnya. Sanggabuwana duduk di lantai dan membuka kotak itu. Diambilnya kertas yang ada di dalam kotak dengan hati-hati.
“Hm, berarti kalung ini bisa dipakai walau tak bisa menghilang, asal aku membaca kalimat doa ini. Kalau begitu aku pakai saja, karena bisa dipakai sewaktu-waktu Aku bisa membantu orang yang membutuhkannya sewaktu-waktu.”gumam Sangga.
Sanggabuwana mulai menghapal kalimat doa untuk berbagai hajat. Besoknya Sanggabuwana mulai berjualan cilo, somay dan batago lagi. Setiap pagi, Sanggabuwana berangkat ketempat dia biasa berjualan.
Sore itu, dia sudah ditunggu oleh Dira. Terlihat wajahnya pucat sekali. Setelah menyenderkan gerobaknya mepet ke tembok, Dira menghampiri Sangga.
“Mas Sangga!” Panggil Dira.
“Ya Dira, ada apa, kamu kok mukanya pucatsekali??” tanya Sangga heran.
“Mas, aku boleh tidak minta tolong lagi?” tanyany.
“Tolong apa lagi, Dira?” Sangga heran meihat wajah Dira yang pucat seperti mayat saja.
“Sebentar, kamu kenapa pucat sekali? Apa kamu sedang sakit, Dira?” Sangga mengernyitkan dahinya.
“Aku tidak tau mas Sangga. Aku saat ini seperti tak doyan hidup lagi. Seperti sebagian hidupku hilang. Tolong aku mas Sangga. Aku belum mau mati! Kadang aku seperti melayang-layang jiwaku!” Matanya sudah membendung air mata dan hendak mengalirka air matanya dari kelopak mata yang indah.
“Baiklah Dira, nanti habis Magrib saa datang lagi! Dira datanglah dengan Ibunya Dira kesini, nanti kita cek. Aku kan hanya sendiri disini, jadi menghindari fitnah, ajaklah ibumu!”
“Baik mas, nanti aku datang bersama Ibu!!” Dira berjalan kembali ke rumahnya yang berjarak3 rumah dari kontrakan Sangga.
Sangga masuk ke dalam rumah dan mandi. Setelah sholat Maghrib, Sangga menutup pintu kontrakan dan memakai kalung liontin tesebut yang diambilnya dari lemari kakek. Sangga heran, macan yang ada dulu sempat hilang, sekarang muncul kembali. Sangga menatap lekat macan itu dan menyuruhnya untuk duduk santai, macannya menurut.
“Hei macan. Kamu akan saya namakan Leon. Kalau saya panggil Leon, datanglah dan laksanakan perintahku!”
“Auummmm…!”
“Bagus, Aku mau kamu membantuku! Aku mau mencari tau, siapa yang membuat kakek sakit dan meninggal? Tunjukan orangnya dan tempat dia tinggal! Aku ingin balas perbuatan mereka!”
Apakah Sanggabuana bisa membalas dendam atas kematian kakek Kresna?
.......
.......
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments