Sebatas Impian

“Oh.. Iya..” aku turun dari motor dan menyapa perempuan yang tadi sempat menjadi bahan pertikaian di mall.

“Maafkan atas kelakuan kasar pacarku tadi siang.. Aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa, jadi tidak bisa membelamu”

Aku pun mendengarkan ceritanya tentang lelaki tadi yang hendak memukulku karena kesalahpahaman yang terjadi, beruntung langsung ditindak dan diamankan oleh petugas sekuriti yang bertugas, jika tidak mungkin saja aku sudah masuk rumah sakit.

“Kamu tidak apa-apa kan?” tanyanya khawatir.

“Aku baik-baik saja, terima kasih sudah khawatir”.

Sekitar 10 menit kami berbincang, lebih banyaknya ia yang bercerita tentang perlakuan kasar lelakinya itu, namun tak aku hiraukan karena persoalannya sudah selesai dan kami pun tidak saling kenal jadi tidak akan ada masalah yang berkelanjutan di kemudian hari.

Setelah itu, aku pamit dan ia pun menuju mobilnya yang telah selesai dicuci. Satu dari sekian banyaknya perempuan yang pernah aku temui, mungkin Jenny adalah yang tercantik dan juga memiliki pribadi yang baik. Setidaknya aku yakin dia bukanlah perempuan yang hanya akan menilai seseorang dari penampilannya saja.

...----------------...

Setelah memarkirkan mobil di parkiran area khusus pemilik apartemen, Jenny keluar membawa beberapa kantong belanja ia berjalan luruh ke lift menuju lantai 19 ke apartemen miliknya. Ia masuk kedalam lift yang disana ada petugas teknisi berseragam abu-abu dan menyapanya.

“Mbak mau ke lantai berapa?” si petugas melihat Jenny yang kesulitan menggerakkan tangannya untuk mengambil kartu akses menuju apartemen.

“Oh, tolong ke lantai 19 pak” ia menyahut dan berterima kasih sudah dibantu.

Sesampainya di apartemen, ia merebahkan diri ke sofa ruang tamu yang mewah dihiasi berbagai macam foto-foto dirinya dan keluarga. Ia memutuskan sendiri dan mandiri di Ibu kota karena menolak tawaran ayahnya yang pengusaha kelapa sawit untuk meneruskan bisnis keluarganya.

Ia merasa tidak pantas atas tawaran ayahnya karena dirasa ia kurang mampu untuk mengatur sebuah perusahaan besar, salah langkah mengambil keputusan akan berakibat fatal, dan mau tidak mau sang Ayah masih meneruskan memimpin perusahaan berharap suatu saat Jenny berubah pikiran dan mau melanjutkan tapuk kepemimpinan perusahaan.

Hari ini fokusnya terpecah-belah karena Damian yang begitu egois dan pemarah, pertengkaran tadi siang membuatnya sadar jika pacarnya itu bukanlah lelaki idamannya. Seringkali ia dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi Damian. Namun kini ia sadar jika dirinya harus memutuskan hubungan itu dan menyingkirkan benalu dalam hidupnya, ia tak ingin menderita lebih dari ini.

Dasar lelaki, semuanya sama saja.

Ia membatin dan seketika teringat akan sosok lelaki yang ia temui tadi, pembawaannya begitu teduh dan santai.

“Shean.. Seperti bukan nama orang yang biasa-biasa saja” ia berbicara pada dirinya sendiri membayangkan raut wajah lelaki berperawakan kecil dengan kulit kecoklatan terbakar matahari yang mencerminkan lelaki pekerja keras.

Semoga kita bisa bertemu kembali Shean.

Pikirannya menerawang jauh sampai ia tertidur di sofa, menikmati impian indah dalam tidurnya yang lelap sampai nanti terbangun pada pagi hari yang cerah.

...----------------...

Setelah sarapan aku bergegas menyalakan motor dan melaju ke kantor tempatku bekerja. Meski masih jam 9 pagi namun matahari sudah terasa terik dan menyengat. Rasanya ingin segera sampai dan berteduh pada dinginnya AC ruangan agar terhindar dari terik matahari.

Deru kendaraan bermotor kian padat di perempatan menuju arah pusat kota, setelah belokan di depan biasanya jalanan akan lebih lenggang karena tidak banyak kendaraan yang menuju arah mall. Aku sudah hafal betul kondisi jalanan pusat dan dalam 2 tahun ini aku bisa menghindari jalanan-jalanan yang sekiranya aku pikir akan macet, kadang kala melewati gang-gang kecil perumahan kumuh, tak apa asalkan bisa lebih cepat sampai di tujuan.

Sebenarnya kantor buka pada jam 10 namun kali ini aku berangkat lebih awal, mengingat kemarin aku melakukan kesalahan karena telat masuk di jam kerja. Kali ini aku pastikan tidak akan telat.

Di kantor baru hanya ada Benny dan Yudi, kedua temanku yang sama-sama seorang office-boy, mereka mengajak untuk sarapan bersama di pantry.

“Katanya kamu kemarin habis dipukulin?” Anton penasaran dengan kabar yang entah dari siapa iya tau. Memang anton ini berbakat menjadi detektif karena rumor dan gosip seputaran mall biasa ia ketahui sebelum yang lainnya tau.

“Ah kau ini ton.. Cuma salah faham. Tidak sampai kena pukul juga” timpal ku meyakinkannya.

“Ada-ada saja masalah kamu ini” Benny menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir selalu saja ada masalah yang menimpaku.

“Santai.. Semuanya aman terkendali” Ucapku

“Benar juga, lagian kalau kamu dipukuli, harusnya kamu sudah ada di rumah sakit. Hahaha” ucapan Anton membuat Benny tertawa terbahak-bahak.

Selesai sarapan kami mulai melakukan tugas masing-masing, dari mengepel lantai, membersihkan meja-meja karyawan dan membawa sampah-sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan. Semua di kerjakan secara cepat sebelum sang boss besar datang ke kantor.

Tanpa terasa waktu pun berlalu begitu cepat dan sudah jam 9 malam. Aku pun memastikan semua hal sudah selesai dikerjakan dan bisa pulang lebih cepat, karena ada hal yang harus aku lakukan di rumah yang tidak sempat ku kerjakan kemarin.

“Aku pulang duluan ya..” ucapku ke dua temanku itu. Mereka masih sibuk berbenah dan bersiap untuk pulang.

Sepanjang perjalanan pandanganku fokus tertuju ke depan, tanpa mempedulikan samping kanan-kiri ku, terpenting aku selalu waspada agar tidak melanggar rambu-rambu lalu-lintas. Kendaraan berhenti di lampu merah simpang kota. Disana terdapat restoran-restoran mahal yang tidak akan mungkin berani aku kunjungi karena harga perporsinya bisa saja menghabiskan setengah dari gaji bulananku.

Rasanya ingin sekali aku bersantap makanan mewah dilayani oleh pramusaji cantik yang menawarkan wine lalu menuangkannya ke gelas yang ku pegang. Indah sekali khayalan ini, namun jauh untuk bisa terwujud. Isi kantong hanya cukup untuk membeli nasi dan lauk-pauk sederhana. Bahkan untuk bermimpi seperti itu saja terasa sulit, karena aku tau itu tidak mungkin bisa ku dapatkan.

Seketika lamunanku tersadar ketika mendengar suara nyaring dari arah sebrang tak jauh dari lampu merah aku melihat seorang lelaki tengah menampar seorang perempuan dan mendorong sosok perempuan itu sampai tersungkur di trotoar sehingga ia terlihat kesakitan dan menangis setelah puas mencaci maki si lelaki berlalu dengan mobil sedan hitam miliknya.

Hal yang biasa terjadi di kota ini, lelaki berlaku kasar pada seorang perempuan kadang tindakan-tindakan seperti itu membuatku sedikit merasa marah, akan tetapi aku hanya bisa melihat tanpa bisa membantu, karena mencampuri masalah orang lain adalah hal tabu di kota ini.

Terlihat dari pengendara lain yang sedang berhenti di lampu merah mencoba tak mempedulikan apa yang sudah mereka lihat, mungkin mereka seperti itu karena tidak ingin tertimpa masalah, hal yang wajar dan itu pun yang aku pikirkan.

Perempuan itu mencoba berdiri, namun rasa sakit membuatnya mengurungkan niat dan lebih memilih duduk di trotoar sambil membuka ponselnya. Lamat laun aku melihat gerak-geriknya sepertinya aku mengenali perempuan itu.

Setelah lampu hijau menyala, aku pun membelokan arah ke sebrang dan mendekati sosok Jenny yang baru kemarin aku kenal.

“Mbak Jenny kan?” tanyaku, ia tak menghiraukan ucapanku dan sibuk dengan ponselnya untuk memesan taksi.

“Mbak tidak apa-apa?”

“Apa peduli mu.. Sana pergi!” ia membentak dan sorot mata tajamnya tertuju padaku. Barulah ia tenang setelah tau jika itu aku.

“Shean maaf, aku tidak bermaksud begitu.".

"Ko kamu biasa ada disini” ia tergagap dan mencoba berdiri namun tak bisa ia lakukan.

Dengan sigap aku membantunya berdiri dan menawarkan bantuan untuk mengantarkannya pulang.

“Kita ke sana dulu” ia menunjuk ke kafe agar ia bisa menenangkan pikirannya.

Setelah memarkirkan motor, aku menuntunnya jalan menuju kursi kafe. Setelah memesan minuman dan makanan, kami berdua tertunduk tak tau mau mulai pembicaraan dari mana, sama-sama dalam kondisi kaku yang tidak bisa dijelaskan.

Makanan dan minuman sudah tersaji di meja, ia mengambil iced lemon tea dan sepertinya ia malu untuk menampakan wajahnya karena habis kena tampar, walaupun tidak terlihat ada bekas tamparan, akan tetapi ia mungkin sungkan untuk melihatku pada kondisinya saat ini.

"Aku melihat semuanya.. Maaf jika aku terlalu pengecut karena tidak bisa membantumu, aku baru sadar jika itu mbak Jenny" lanjut aku menjelaskan diriku yang mencoba tidak peduli dengan apa yang terjadi karena tidak ingin tertimpa masalah lebih jauh lagi. Namun ketika aku mengetahui itu adalah Jenny aku berbelok dan mencoba membantunya

"Kamu benar, ini bukan urusanmu, hanya saja kamu jadi harus melihatku dengan kondisi seperti ini". Tatapannya memilukan. Aku tak kuasa untuk bertanya lebih jauh tentang apa yang terjadi, jika ia mau bercerita maka aku siap untuk mendengarkannya, sementara ini biarlah ia menenangkan pikirannya terlebih dahulu.

"Shean. Tolong temani aku malam ini" ucapnya dengan beberapa tetesan air mata membasahi pipinya.

...****************...

Terpopuler

Comments

Caca Lavender

Caca Lavender

Halo kak...
Novelnya bagus, semangat terus ya nulisnya... ♥
Btw, tolong mampir di karya aku ya, judulnya "Tentang Fany"
Makasih banyak...

2023-06-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!