Dua tahun kemudian.
Suasana di dalam salah satu rumah mewah yang terletak di pusat ibu kota, tampak sedikit memanas oleh seruan seorang remaja tanggung berusia 19 tahun. Hampir setiap hari selalu saja ada suara-suara keributan yang terjadi rumah itu.
"Sudah aku bilang, dia bukan adikku!" Ryan kembali menegaskan perkataannya dengan wajah penuh amarah.
"Ryan, jaga bicaramu!" seru Belinda geram. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu tidak bisa lagi membendung emosinya atas perkataan sang putra sulung yang sudah benar-benar kelewatan. Di saat bersamaan, sebuah cengkeraman kuat pada belakang baju Belinda terasa mengerat. Sang putri bungsu, orang yang dimaksud Ryan, terlihat menyembunyikan diri di belakang tubuh wanita itu.
"Tidak ada yang salah dengan ucapanku! Memang dia lah penyebab ayah meninggal!" seru Ryan tanpa sekali pun sudi menyebut nama sang adik.
"Ryan!" Belinda kembali menaikan nada suaranya. "Kamu ... kamu tidak percaya takdir? Semua yang menimpa ayah mau pun keluarga kita dulu adalah takdir yang tak bisa dicegah." Wanita itu mulai merendahkan suaranya. Sorot mata Belinda bahkan turut berubah sendu.
Ryan tersenyum miring pada Belinda, kemudian memicing bengis pada sang adik yang kini tengah menatapnya ketakukan dari balik punggung beliau. "Takdir? Yang aku tahu, kalau bukan karena dia, ayah pasti masih hidup sampai sekarang, Bu!"
Anna, gadis kecil berusia sembilan tahun tersebut hanya bisa meneteskan air mata saat mendengar tiap perkataan yang terlontar kejam dari Ryan. Walau usia Anna masih terbilang belia, tetapi dia sudah memahami betul kebencian yang dimiliki pria muda itu.
"Sekali pembvnvh, selamanya akan tetap jadi pembvnvh!" desis Ryan yang sama sekali tidak peduli pada air mata Anna, adik kecil yang seharusnya dia sayangi dan lindungi.
Mata Belinda terbelalak. Jika sebelum-sebelumnya dia mampu menahan diri, kini, entah disadari atau tidak, Belinda dengan cepat mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi kiri Ryan.
Suasan hening seketika.
"Bu, jangan ...," cicit Anna.
Mendengar suara putrinya, Belinda mendadak tersadar. Perasaan bersalah langsung menyelubungi relung hatinya.
"Ryan! Ti tidak, maaf, Ibu ...." Belum sempat Belinda menyelesaikan kalimatnya, Ryan sudah melangkahkan kaki meninggalkan ruang keluarga tersebut.
Suara bantingan pintu kamar dari lantai dua terdengar setelahnya.
Belinda mencoba menetralisir irama jantungnya yang sekarang sedang berdetak kencang. Dia memejamkan matanya sejenak sembari menggenggam tangannya, sebelum kemudian berbalik menghadap Anna.
"Maafkan kakakmu ya, Sayang?" Seulas senyum sendu terbit di wajah Belinda.
Anna menggeleng keras-keras, "Kakak tidak salah, Bu. Anna yang salah. Anna minta maaf ya, Bu?" ujar sang gadis kecil dengan suara sengau.
"Anna tidak salah, Nak," Belinda bersimpuh demi menyamakan tinggi badannya dengan Anna. Tangan wanita itu juga turut mengelus punggung Anna dengan gerakan sangat lembut dan ringan, seolah-olah dia adalah benda paling rapuh yang akan hancur, jika Belinda menekannya sedikit lebih keras.
"Anna sangat menyayangi kakak, tetapi, apa kakak tidak bisa menyayangi Anna sedikit saja, Bu?" tanya Anna dengan tatapan nanar.
Detik Anna menyelesaikan kalimatnya, detik itu pula pertahanan Belinda runtuh. Airmatanya mengalir membasahi kedua pipinya. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu
...********************...
"Bu, mau ya?" Terdengar suara seorang gadis kecil berusia 11 tahun yang kini sedang merajuk pada ibunya dari ruang kerja beliau.
"Tidak, Sayang, Ibu sedang banyak kerjaan. Kalau kamu memang ingin pergi, Ibu bisa meminta Pakde Tyo untuk menemani, oke?" Belinda menolak halus permintaan putrinya yang hendak pergi ke taman bermain.
"Aku anak ibu, bukan anak Pakde Tyo!" Anna masih meracau, sembari mengerucutkan bibirnya.
Belinda menghela napas gusar seraya memijit pelipisnya pelan. Wajahnya sedikit frustrasi. Maklum saja, pekerjaan yang menumpuk mengharuskan Belinda (yang kini menggantikan posisi sang suami di kantor) terus bekerja hingga begadang tak tahu waktu.
"Biar aku saja yang menemani Anna ke taman bermain." Saat Belinda masih berusaha berpikir keras untuk mencari solusi, tiba-tiba saja sebuah suara menginterupsi mereka.
Ryan berdiri di ambang pintu ruangan kerja ibunya sambil memasang senyum terbaik yang dia miliki.
Belinda sontak terdiam.
"Sudah lama aku tidak menghabiskan waktu bersama Anna." Pria muda berusia 21 tahun itu pun mengalihkan pandangannya pada Anna. "Kamu mau kan, Anna?"
Anna yang semula menatap Ryan dengan perasaan takut, kini langsung menganggukkan kepalanya antusias setelah melihat senyuman manis sang kakak.
"Kamu yakin, Nak? Kamu ...." Belinda tidak berani melanjutkan perkataannya.
"Yakin bagaimana, Bu? Pokoknya Ibu fokus saja bekerja, biar aku yang mengajaknya pergi. Biar bagaimana pun, Anna adikku, kan, Bu?"
Belinda mematung seketika. Entah mengapa, mendengar perkataan Ryan barusan membuat hatinya mendadak terasa tidak nyaman. Pasalnya, Ryan sama sekali pernah menganggap Anna ada.
Melihat kegelisahan ibunya, Ryan kembali bersuara. Dia terus meyakinkan Belinda untuk melepaskan Anna bersamanya hari itu.
Anna sendiri juga setuju. Gadis itu bahkan terlihat sangat senang memgetahui kakak laki-laki tercintanya tiba-tiba mengajak berlibur bersama.
Belinda mau tidak mau mengalah. Lagi pula, apa yang harus dijhawatirkan wanita itu? Ryan tidak mungkin memperlakukan Anna lebih buruk.
"Baiklah." Suara sorakan dari Anna terdengar nyaring.
Belinda tersenyum pada Anna lalu mengalihkan pandangannya pada Ryan. "Ibu titip adikmu ya, Sayang, dan jangan pulang terlalu malam."
Ryan menganggukkan kepalanya. Mereka berdua pun bergegas pamit meninggalkan Belinda yang sama sekali tidak melepaskan tatapannya pada sang putri sedikit pun.
...**********...
Ryan dan Anna tiba di sebuah taman bermain yang terletak cukup jauh dari rumah mereka. Anna semula sempat bingung dengan ajakan sang kakak, sebab dia hanya ingin pergi ke taman bermain terdekat. Namun, gadis itu tidak mempermasalahkannya dan memilih menikmati suasana di sini.
Lagi pula taman bermain yang kini mereka kunjungi cukup besar. Jauh lebih besar dari taman bermain yang biasa dia kunjungi.
Anna dengan hati gembira menghabiskan waktu di taman bermain tersebut sampai melewatkan jam makan malam.
"Terima kasih ya, Kak?" ujar Anna setelah menelan makanannya. Mereka kini berada di salah satu kedai makanan pinggir jalan. Letaknya berada tak jauh dari parkiran mobil mereka.
"Ya." Ryan hanya menjawab singkat sambil terus memainkan ponselnya.
"Kakak sudah tidak marah padaku, kan?" tanya Anna penasaran.
"Tidak! Sudah teruskan saja makanmu!" jawab Ryan tanpa pernah menyentuh makanannya sedikit pun.
Anna tersenyum bahagia. Gadis itu mengangguk patuh dan melanjutkan kembali acara makannya. Tanpa sepengetahuan Anna, Ryan kini sedang memandangnya dingin tanpa ekspresi.
"Kamu tunggu di sini dulu. Biar Kakak yang bawa mobil ke sini," titah Ryan ketika mereka sudah berada di luar kedai.
"Iya, Kak." Anna mengangguk.
Ryan berjalan menjauhi tempat itu menuju mobilnya. Pria itu terdiam cukup lama di dalam mobil, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Sementara Anna tetap setia menunggu di depan kedai. Dia sengaja memeluk dirinya sendiri guna menghalau rasa dingin yang mulai menusuk.
Gadis itu menatap sekeliling tempat ini sudah mulai sepi. Hanya ada segelintir orang yang berlalu lalang untuk pulang, dan beberapa kedai yang masih terlihat buka. Maklum saja, taman bermain memang ditutup pukul enam sore.
Matanya kemudian menatap kerumunan kecil orang-orang yang berada persis di seberang jalan tempatnya berdiri.
Rupanya ada atraksi pesulap jalanan yang dimainkan oleh seorang pria paruh baya dan seorang anak laki-laki berusia lebih besar darinya.
Anna tampak sumringah dan langsung menghampiri kerumunan kecil tersebut. Gadis itu memposisikan dirinya sedemikian rupa agar tetap bisa melihat mobil Ryan saat datang nanti.
Beberapa saat kemudian Ryan tiba di sana. Dia bisa melihat Anna yang tampak begitu gembira menikmati atraksi para pesulap jalanan.
Ryan kembali tampak memikirkan sesuatu. Genggaman tangannya pada kemudi tiba-tiba mengerat.
Entah apa yang merasuki pikirkan Ryan, tiba-tiba saja pria muda itu menginjak pedal gas dan pergi meninggalkan Anna begitu di sana.
Anna sontak menoleh ke arah jalan dan menemukan mobil mereka bergerak menjauh. Gadis kecil itu membelalakan matanya.
"KAKAAAAAAK!" Seketika, Anna berteriak dan berlari sekuat tenaga mengejar mobil Ryan. Orang-orang yang juga berada di sana sontak mengalihkan perhatiannya pada Anna.
Ryan bisa melihat Anna dari kaca spion mobilnya. Anna sedang berusaha berlari mengejar dirinya. Wajah gadis kecil tampak sangat putus asa.
"KAKAK JANGAN TINGGALKAN AKU!" teriak Anna, tatkala menyadari bahwa mobil Ryan semakin lama semakin menjauh.
Anna menghentikan larinya tepat di tengah-tengah jalan. Wajahnya sangat syok, tidak percaya pada apa yang baru saja dilakukan sang kakak. Ryan begitu tega meninggalkan dirinya sendirian di tempat asing seperti ini.
Tangisnya seketika turun deras. Hatinya terasa sangat sakit. Dalam hati dia membodohi dirinya sendiri karena sudah menaruh rasa percaya pada kebaikan Ryan yang tiba-tiba saja muncul setelah bertahun-tahun membenci dirinya. Anna sama sekali tidak menyadari bahwa semua itu hanyalah sandiwara belaka.
"De, awaaass!"
"Awaaass!"
Anna yang masih tetap terpaku di tempat, tidak sedikit pun mendengar teriakan orang-orang. Hingga pada akhirnya, sependar cahaya lampu yang sangat menyilaukan tiba-tiba muncul di depan matanya.
Suara hantaman terdengar detik itu juga.
Anna tertabrak mobil box pengantar makanan dan terpental hingga beberapa meter.
...**********...
"Anna!" Belinda yang tidak sengaja tertidur di ruang kerjanya tiba-tiba terbangun. Wajahnya tampak gusar. Detak jantung wanita itu berdegup sangat keras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments