Pagi yang cerah di hari minggu, seperti biasa rina bangun jam 8 lewat 15 menit. Segera dirinya melompat dari tempat tidurnya menuju kamar mandi, ia lupa jika hari ini jadwalnya padat. Menjenguk rizal dan ardi juga bertemu cica dan desi untuk membicarakan tentang misi rahasia.
Rina keluar kamar, terlihat om dan tantenya sedang sarapan, tumben sekali mereka baru sarapan, biasanya saat rina bangun mereka pasti sudah berkebun ataupun pergi jalan-jalan.
"Sudah bangun? " Tanya tante diah menyapa. Rina tidak menjawab, ia hanya mengangkat kedua bahunya.
"Mau kemana? Rapi banget. " Kini om fadli yang bertanya dengan sedikit menggoda. "Kencan? "
"Kencan sama siapa, pacar aja nggak punya. " Rina mencebikkan bibirnya.
"Oh ya? Seorang rina keponakan nya tante diah itu, jomblo? Tidak, tidak itu aneh. " Rina mengernyitkan dahi mendengar ocehan om fadli. "Belajar lah dari tantemu, dia punya 100 cara untuk mendapatkan kekasih. "
Rina tertawa kecil, om nya ini bisa aja. "Istrinya sendiri lo om. "
"Ya, begitulah tingkah om mu. Bicara semaunya dan seenaknya, dia tidak sadar jika dia juga menyandang gelar playboy waktu muda. Tapi, dia takluk dengan tante. " Tante diah tidak mau kalah.
"Hmm.. Dia benar, karena tantemu adalah cinta terakhir om. " Om fadli mulai menggombal. Tante diah terlihat malu, sedangkan rina ingin muntah.
"Bisakah kalian tidak mengumbar kemesraan di hadapanku? Dan setidaknya bukan saat makan." Gerutu rina membuat tawa om dan tantenya terdengar bahagia. Rina tersenyum, pagi yang lucu.
"Balik ke topik awal. Kenapa seorang rina bisa jomblo? Kemana pangeran rizal mu itu? "
Rina menghembuskan nafas pasrah. " Dia mengakhiri hubungan di antara kami. Entahlah apa sebabnya rina juga nggak tau, tiba-tiba dia mutusin gitu aja. Sudahlah, rina nggak mau ngomongin ini lagi. " Jelas rina mulai mengambil makanan dan memakannya.
"Hmm.. Cinta monyet memang seperti itu. " Tante diah menanggapi.
"Ya, biasa anak muda. " Om fadli ikut menimpali. Rina hanya diam fokus dengan makanan nya, ia tidak ingin membicarakan masalah ini lagi. Itu hanya akan membuat suasana hatinya mendung. "No rizal, ardi juga bisa rin. "
Uhuk! Uhuukkk!
Rina tersedak mendengar perkataan omnya, kali ini om fadli benar-benar sudah kelewatan. "Rina Nggak suka dia, om apa-apaan sih. " Omel rina merajuk.
"It's okey, sorry girl. " Om fadli menyadari kesalahannya, memang kadang keponakannya ini punya mood naik turun.
"Rina berangkat dulu. " Pamitnya menyudahi acara makan.
"Sebenernya kamu mau kemana sih rin? " Tanya tante diah ketika rina berjalan keluar.
"Puskesmas." Jawabnya singkat.
"Siapa yang sakit? " Tante diah sedikit berteriak.
"Rizal." Setelah mengatakan itu terdengar suara sepeda motor keluar rumah pertanda rina telah pergi.
"Lah? " Om fadli dan tante diah bingung.
...***...
"Selamat pagi. " Sapa rina pada rizal yang tengah bersandar di tempat tidur pasien sambil memakan buah.
"Hai." Jawab rizal sambil tersenyum. " Lo nggak sibuk? "
"Kenapa? Apa kamu nggak suka aku disini? " Rina sedikit tersinggung.
"Sorry, maksud gue. Kalo lo sibuk nggak perlu datang sepagi ini. "
"Justru karena aku sibuk, aku datang pagi. "
"Oh ya, sejak kapan lo jadi orang sibuk? "
"Sejak sekarang. " Rina nyengir. "Hm.. Aku membawakan mu roti, kamu boleh makan ini kan? "
"Tentu. Terima kasih. "
Rina mendudukkan dirinya di kursi yang ada di samping ranjang rizal. "Mamamu kemana? Aku tadi bertemu di depan. "
"Mama sedang membeli soto, gue nggak suka makanan di sini. Nggak enak. " Jawaban rizal membuat rina tergelak.
"Zal, ini puskesmas. Tidak ada pizza disini. "
"Setidaknya ada sotonya mang ujang kan. Disini semua makanan rasanya hambar. " Rizal menggelengkan kepalanya.
"Kamu masih sama aja. " Rina tertawa kecil.
"Gue emang nggak berubah. "
"Ya, baiklah. Bagaimana keadaan kamu sekarang, masih ada yang sakit? " Tanya rina memberanikan diri memandang rizal.
Rizal menggeleng. "Gue udah enakkan. "
"Syukur deh. " Ungkap rina senang. "Zal.. " Panggil rina lirih.
Rizal menoleh ke arahnya. "Ya? "
"Bisakah kita bersama lagi? "
Pertanyaan rina yang tiba-tiba membuat Rizal terdiam sebentar, kemudian tersenyum lembut. "Untuk sekarang enggak rin. Sorry. "
Rina menarik nafas dalam, penolakan terjadi lagi padanya. Dadanya sesak, tapi ia berusaha bertahan, ia tidak boleh menangis. Rina mengangguk paham.
"Gue yakin diluar sana banyak yang lebih sayang lo rin, dari pada gue. " Ucap rizal mencoba memberi pengertian kepada rina.
"But he's not you. "
"Nggak ada yang bisa jadi gue rin atau pun lo." Ucap rizal kemudian setelah tertegun lama.
"Its okey. Tapi zal, kamu jangan sakit lagi ya, aku takut. "
Rizal mengangguk dengan senyuman. "Gue akan berusaha jaga kesehatan rin, dan lo juga. Kurangi rokok lo. "
"Sama seperti kamu, aku akan berusaha. Tapi sepertinya nggak mudah. " Rina berusaha tertawa, padahal hatinya sangat sakit mendengar penolakan rizal tadi. Masihkah ada harapan dia kembali?
...***...
Rina menyusuri lorong puskesmas dengan langkah gontai. Mengingat kata-kata rizal tadi membuat keyakinannya goyah, harapan yang selama ini ia pegang seakan hilang begitu saja.
Haruskah aku melupakan mu zal? Tanyanya dalam hati.
Rina masuk ke toilet yang ia lewati, membersihkan beberapa sisa air mata yang belum mengering. Rina membasuh wajahnya dengan air, berusaha menutupi matanya yang berair. Setelah ia siap, rina menatap kaca, kemudian tersenyum.
"Gue harus kelihatan bahagia di depan ardi, atau kalo enggak dia bisa menebaknya lagi. "
Rina berjalan menuju kamar dimana ardi di rawat, matanya menyipit ketika melihat laki-laki itu tengah memasukkan beberapa barang ke dalam tas.
Apakah dia sudah boleh pulang? Batinnya heran.
Rina berniat masuk untuk bertanya, namun langkahnya terhenti ketika mendengar gelak tawa dari dalam. Niatnya untuk masuk tidak jadi ia lakukan, rina hanya melihat dari kaca kecil yang berada di pintu.
Di Sana ardi terlihat sangat bahagia dan damai, tawanya terlihat tulus tanpa paksaan. Bersama ibunya dan juga lily, ardi menjadi laki-laki manis dan humoris, berbeda saat bersamanya, ardi akan menjadi laki-laki cuek dan membosankan serta menyeramkan.
"Kayaknya lo udah sehat ar. Bener kata lo kemarin, seharusnya gue nggak perlu dateng hari ini. " Rina mengasihani dirinya sendiri, kenapa ia tidak bisa menjadi orang yang berarti bagi orang lain. Tidak rizal ataupun ardi, tidak lingkungannya ataupun keluarganya, memang ia tidak pernah di harapkan siapapun.
Rina menunduk, menatap coklat batang yang sudah ia siapkan untuk ardi. Rencananya hari ini dirinya akan menghibur ardi sebisanya, walau dengan ocehan tidak berarti darinya, setidaknya ardi banyak bicara. Itu positif kan?
Huh, sepertinya gue harus pergi. Tapi kenapa hati gue sakit, saat ngeliat ardi bisa ketawa lepas sama si cewek cebol itu?
Saat rina mengangkat kepalanya berniat pergi, tanpa sengaja ardi memandang kearah pintu. Tragedi tatap-tatapan pun terjadi, beberapa detik mereka bertatapan, hingga akhirnya rina mengangkat tangannya, memperlihatkan coklat yang ia bawa, kemudian memberi isyarat dengan tangan jika dirinya meletakkan coklat itu di bangku depan pintu kamar. Ardi hanya diam, tidak menunjukkan respon apapun hingga wajah rina tak lagi terlihat di sana.
"Ar, gue harap lo besok nggak memaksakan diri untuk masuk sekolah dulu. " Ucap lily sembari membantu ardi memasukkan barang-barang ke dalam tas.
"Kenapa? "
"Jangan lo pikir dengan dokter memperbolehkan pulang, lo langsung sekolah. Ingat! Kesehatan lo belum sepenuhnya pulih. Jadi, lo harus istirahat total. " Celoteh lily penuh perhatian.
"Gue udah sehat. " Jawab ardi bersikeras. "Dan gue besok akan masuk sekolah. Lo tau berapa banyak pelajaran yang gue tinggalin? "
"Hey! Yang benar saja, lo baru 2 hari sakit ar. Itu nggak akan buat lo nggak lulus. Ayolah, gue udah punya salinan materi buat lo. "
"Lily benar ar. Kamu harus istirahat dulu, ibu akan bicara dengan wali kelas mu. Cukup 2 sampai 3 hari saja. " Kini ibunya berada di pihak lily, sungguh dalam hal apapun mereka tetap satu tim.
"Ibu... " Ardi mulai menggerutu.
"Kak... Kau mulai merajuk lagi? " Tanya daffa sang adik yang dari tadi hanya melihat interaksi ketiganya.
"Hei bocah tengil, kau tidak usah ikut dulu. " Ardi beralih merajuk pada sang adik.
"Jangan panggil aku bocah tengil kakak... " Daffa menirukan nada serial kartun yang selalu di tontonnya, semua yang berada di sana terkekeh pelan.
"Baiklah adik ku, kau yang terkuat. " Kemudian ardi menghambur pelukan ke adiknya. Senyum merekah tergambar di wajah keduanya, ardi selalu menyayangi keluarganya lebih dari dirinya sendiri.
"Kakakkkk... Jangan memelukku, aku tidak bisa bernafas. " Teriak daffa berusaha melepaskan diri.
"Hmm.. Kali ini kau bebas, lain kali kau harus berusaha. " Ardi melepas pelukannya, kemudian daffa berlari keluar kamar. "Hey, daffa jangan keluar! "
"Daffa! " Panggilan ibunya membuat daffa berhenti di ambang pintu.
"Sebentar." Daffa keluar kemudian mengambil sesuatu dan membawanya ke dalam. "Kakak itu meninggalkannya disini. " Daffa memperlihatkan coklat yang rina bawa tadi.
"Kakak cantik itu memberikan ini untuk mu kak. " Daffa memberikan coklat itu kepada ardi. Lily dan ibunya terlihat bingung, sedangkan ardi terdiam, ternyata bukan hanya dirinya yang melihat rina, ternyata daffa diam-diam juga tau. "Ada tulisannya, G-E-T, W-E-L-L, S-O-O-N. " Daffa mengeja satu persatu huruf itu.
"Bagaimana cara membacanya? " Tanya daffa polos.
"Coba lihat! " Lily berjongkok menyamai tinggi daffa, kemudian melihat coklat itu. "Ini dibaca get well soon, yang berarti semoga lekas sembuh. " Lily membacakannya dan mendapat respon kata 'ohhh' dari daffa.
Kemudian lily berdiri dengan masih melihat coklat yang terlilit pita pink itu. "Get well soon ardi. Ouhh! Manis sekali, siapa yang mengirimnya ar? "
"Apa itu coklat istimewa? " Tanya daffa masih penasaran.
"Hmm... Bisa dibilang begitu daffa. Sepertinya coklat ini sangat istimewa, seperti orang yang memberinya. Iya kan ar? "
"Mana gue tau. " Jawab ardi berbohong. "Sini!" Ardi merebut coklat itu dari tangan lily, kemudian memasukkannya ke dalam tas.
"Hey! Apa yang lo lakuin? " Protes lily kesal.
"Coklat itu di kasih buat gue. Jadi, itu milik gue. "
"Sudah-sudah ayo kita pulang. Mungkin yang memberi coklat untuk ardi adalah orang yang baik dan sangat peduli. Jika kau tau orangnya, jangan lupa mengucapkan terima kasih ar. " Ardi hanya mengangguk untuk menjawab sang ibu. Kemudian mereka mulai berjalan ke parkiran untuk pulang.
Lily masih penasaran dengan orang yang sangat memperdulikan ardi, terlihat dari caranya memberi coklat, lily menebak orang itu adalah sosok perempuan yang sedang dekat dengan ardi. Tapi siapa?
Berbeda pikiran lily, ardi diam-diam tersenyum. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba hatinya berdersir seperti tertiup angin, sangat sejuk. Baru pertama kali ini dirinya merasakan kesejukan hati setelah 3 tahun mati rasa, mungkinkah hatinya sudah sembuh dari trauma itu?
Terima kasih, rin.
🤟🤟🤟
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments