GET WELL SOON

Setelah pulang sekolah rina berencana menjenguk ardi. Ranjang yang terisi buah sudah siap ia bawa, rina berjalan dengan santai menuju parkiran. Semua terlihat baik-baik saja ketika rina mengeluarkan motornya, namun kejadian tak terduga terjadi di depan matanya. Rizal tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri.

"Rizall... " Teriak rina menghampiri, banyak siswa-siswi yang juga mengerubungi rizal. Rina menepuk-nepuk pipi rizal, laki-laki itu masih saja diam dengan mata terpejam.

"Kita bawa ke uks. " Sahut salah satu siswa yang berada di sana.

"Hati-hati."

Semua yang ada di sana bekerja sama mengangkat rizal ke uks. Rina mengikuti dari belakang, tangannya bergetar hebat. Air matanya hampir tumpah, sudah lama ia tidak berada di dekat rizal setelah beberapa kejadian yang lalu, dan sekarang mereka bertemu dengan keadaan seperti ini.

"Dia kenapa? " Tanya perawat uks yang sedang berjaga disana. Rina mengucap syukur, untung uks belum tutup setidaknya rizal bisa mendapat pertolongan pertama.

"Tiba-tiba dia pingsan bu. "

"Baiklah, kalian bisa pulang. Ibu akan mengecek keadaannya. Terima kasih sudah membawanya kesini. " Setelah mendengar ucapan perawat uks, ruangan yang tadinya di penuhi banyak siswa kini sepi. Rina masih disana, ia tidak mengikuti teman-temannya pulang. Hatinya berkata jika rizal membutuhkannya, ia tidak bisa pergi saat ini, lebih tepatnya tidak ingin pergi dari laki-laki itu.

"Hey, kamu tidak pulang? " Tanya perawat itu ketika melihat rina masih mematung di ambang pintu.

Rina menggeleng cepat. "Saya akan menemaninya bu, saya temannya. " Ada sedikit rasa sakit ketika rina mengatakan kata teman, andai semua itu tidak berakhir, kata ini tidak akan pernah muncul.

"Oh, baiklah. Kemari, tolong hubungi orang tuanya. Bisa? "

"Ya, tapi... Dia kenapa bu? "

"Sepertinya dia mengalami demam tinggi, seharusnya jika dia sakit tidak perlu datang ke sekolah. Apa dia tidak memberitahumu jika tidak enak badan? "

Rina menggeleng. Bagaimana dia bisa tau, ketemu saja masih hari ini.

Segera rina menghubungi orang tua rizal, untung mamanya rizal mengangkat telpon ngen cepat setidaknya tidak akan membuatnya repot mencari.

Rina duduk di samping ranjang rizal, tatapan takut dan khawatir bercampur aduk di matanya. Ia tidak percaya jika akan melihat kejadian ini tepat di hadapannya, laki-laki yang ia kenal kuat selama ini ternyata bisa tumbang juga.

Rina berusaha menahan air matanya yang ngotot ingin keluar. Tidak mungkin dirinya menangis di uks di hadapan perawat bukan? Itu memalukan.

Zal, kamu pasti baik-baik aja.

"Orang tuanya bisa di hubungi? Dan tolong bantu ibu, gosok telapak tangannya biar dia segera siuman"

"Iya, sudah bu. Mereka akan datang. " Rina mulai menggosok telapak tangan dan kaki rizal dengan minyak, di hatinya ia terus berdoa agar rizal segera sadar.

"Semoga cepat, ibu pikir dia harus segera di bawa kerumah sakit atau puskesmas terdekat, untuk pengobatan lebih lanjut. "

"Kalo memang kondisinya buruk, kenapa tidak sekarang bu? "

"Kita harus minta persetujuan dulu dari orang tuanya. Tenanglah, tadi ibu sudah memberinya obat. "

Tak lama kemudian, badan rizal mulai bergerak. Rina yang menyadarinya tersenyum lega, rizal selamat.

"Bagaimana kabarmu? Ada yang sakit? " Tanya perawat ketika rizal memegangi kepalanya. Rizal hanya diam, ia merasa lemas dan tidak bertenaga. "Istirahatlah, ibu akan mengambil teh hangat. Jaga dia. " Perawat itu menoleh kearah rina, kemudian pergi.

"Apa pusing? " Tanya rina sedikit ragu.

Rizal menoleh pada rina, kemudian tersenyum. "Thanks udah jagain gue. "

Rina tertegun, dirinya tidak menyangka jika akan melihat senyum itu lagi. Senyum yang berhasil membuat hatinya bergetar akan cinta, senyum yang menenangkan dan damai.

Bagaimana aku bisa melupakan mu zal?

"Aku sudah menelpon mama.. Eh.. Maksud ku tante sari, dia dalam perjalanan. " Rina menundukkan kepalanya, kebiasaan memanggil mamanya rizal dengan sebutan 'mama' membuat dirinya lupa jika sekarang dia tidak memiliki hak itu.

"Jangan rubah kebiasaan lo rin, dia memang mama gue, tapi dia juga mama lo. Entah apa yang terjadi di antara kita sekarang, itu nggak akan berpengaruh dengan hubungan lo dan mama. Kalian tetap bisa seperti dulu. "

Rina terharu, ia tidak menyangka jika rizal masih berbicara lembut padanya. Tiba-tiba air matanya menetes, semua kenangan rizal memang tidak bisa ia lupakan semudah itu.

"Hey, jangan nangis. Gue minta maaf, tapi jangan nangis rin. " Rizal ingin bangkit dari tidurnya namun rina menahannya.

"Jangan, lo harus istirahat. Gue nggak papa, hanya sedikit terharu." Rina menyeka air matanya.

Beberapa saat kemudian yang rina nanti-nantikan datang juga, Mama rizal datang dengan tergesa-gesa. Setelah berbicara dengan perawat, mama rizal memutuskan membawa rizal ke puskesmas terdekat. Sebab jika di rumah sakit pasti akan antri lama, dan mama rizal tidak ingin menunda semuanya. Jelas saja, rizal merupakan anak satu-satunya.

"Ma, rina boleh ikut? " Tanya rina lirih pada mama rizal, ada rasa takut ketika mengatakannya, sebab ia sadar sekarang ini ia bukan siapa-siapa rizal. Teman, sahabat ataupun pacar, dia hanyalah orang asing yang tetap peduli pada rizal.

"Iya, terima kasih sudah menjaganya rin. Ayo kita harus segera ke pukesmas. " Rina membantu rizal masuk ke mobil, sementara itu mama rizal dan perawat uks masih mengurus administrasi yang di butuhkan, setelah itu mereka pergi ke puskesmas.

...***...

Cahaya matahari sore menembus di sela-sela tirai ruangan sepi dan sunyi. Hembusan angin sore mengingatkan pada suatu kejadian manis di masa lalu. Ingin rasanya kembali ke masa itu ketika semua baik-baik saja, tidak ada kebohongan ataupun kemunafikan. Namun masa itu telah berlalu, kenyataan memaksa dirinya untuk berdiri di masa sekarang, masa dimana ia hidup bukan sebagai dirinya sendiri.

Ardi menatap lurus ke depan arah jendela, menerawang jauh memutar waktu. Rambutnya yang berantakan tertiup angin pelan, ia memejamkan matanya, berusaha menikmati keadaannya sekarang. Sepi dan sunyi, ruangan ini seperti hatinya. Tidak ada siapapun di dalamnya, hanya ardi dan kesepian.

Ardi turun dari ranjang pasien yang dari kemarin hingga hari ini menjadi tempat istirahatnya. Ia keluar sambil menyeret tiang infus, berniat pergi ke halaman belakang puskesmas untuk mencari udara segar. Ia berdiri sambil memegangi pagar hitam yang menjadi pembatas antara taman puskesmas dan jalanan kota, melihat orang berlalu lalang sedikit membuat hati dan pikirannya lebih baik.

"Hey!! Apa dokter nyuruh lo keluar kamar? " Ardi menoleh, gadis itu tengah berdiri sambil bersedekap dada. Ardi menatap sejenak kemudian beralih ke jalanan kota lagi.

"Gue harap dokter tidak ngelarang lo minum ini. " Rina memberikan minuman coklat jumbo pada ardi. "Ini tanpa es. "

"Kenapa harus tanpa es? " Tanya ardi sambil mencoblos sedotan.

Dahi rina mengkerut. "Ya gue kira lo nggak boleh minum es. "

"Gue nggak sakit demam, sampek nggak boleh minum es. "

"Lalu, lo sakit apa? "

"Gue sa.... " Ardi mengatupkan mulutnya. Haruskah ia mengatakan kondisinya? Ia sangat tau dengan kondisi psikologisnya yang tidak stabil saat ini. Mungkin jika ia memberitahukan pada rina ada dua kemungkinan yang terjadi, antara gadis itu akan menjauhinya atau malah akan banyak pertanyaan yang keluar dari mulut cerewet itu.

"Kebiasaan."

"Apa? " Tanya ardi heran.

"Ya, kebiasaan buruk lo. Selalu menggantung omongan yang membuat orang penasaran. Dan kalo gue tanya ulang, lo pasti nggak mau jawab. Jadi, gue nggak bakal nanya. "

"Itu terserah lo. " Jawab ardi memalingkan pandangannya.

Gue ngerti ar, lo nggak mau ngomongin kelemahan lo di hadapan gue. Nggak papa, gue udah tau tentang kondisi lo saat ini, dan sorry gue harus cari tau tentang masa lalu lo secara diam-diam.

"Kenapa lo kesini? " Tanya ardi setelah hening yang cukup lama di antara mereka.

"Nggak boleh? " Rina balik bertanya. Kadang rina suka melihat wajah bete ardi yang akan muncul ketika pertanyaannya tidak mendapat jawaban. "Gitu aja ngambek. " Rina mencolek pipi ardi.

"Siapa juga yang ngambek. "

"Alah.. Masak? " Rina masih lanjut menggoda ardi yang enggan menatapnya. Tawa kecil keluar dari mulut rina, sungguh ini sangat seru.

"Lo habis nangis? " Pertanyaan ardi membuat tawa rina berganti dengan ekspresi terkejut. "Lagi? " Kali ini ardi memandangnya.

"A-apa? " Rina mengusap matanya. "Enggak, gue nggak nangis. Lo ada-ada aja deh. " Ujar rina berbohong.

"Munafik." Ardi membuang muka. "Jadi, kali ini sebab apa? "

"Well, karena lo nanya dan entah kekuatan apa yang lo punya hingga bisa ngeliat air mata gue yang udah kering dari tadi. Gue cerita. " Rina menarik nafasnya dalam-dalam untuk mengendalikan diri, jika ia teringat hal tadi mungkin air matanya akan kembali tumpah.

"Dia sakit. " Rina mulai bercerita. " Tiba-tiba dia pingsan di hadapan gue, untung aja disekolah masih ada banyak murid. Seenggaknya gue nggak kebingungan bawa dia ke uks. Lo tau ar, tadi gue takut banget, gue rasa titik tertinggi rasa takut gue terjadi hari ini. Gue takut... Takut dia kenapa-napa, gue takut dia terluka, dan.. Gue takut kalo dia ninggalin gue untuk selamanya." Rina bercerita dengan memandang lurus ke jalanan kota yang ramai di sore ini.

"Tapi dia udah ninggalin lo. "

"Yaps! Lo bener. Tapi seenggaknya, gue bisa ngelihat dia bahagia dan sehat seperti biasanya, walau tanpa gue. Gue nggak suka lihat dia sakit dan gue nggak rela kalo ada yang nyakitin dia ar." Rina tersenyum tipis. "Apa lo pernah ngerasain ketakutan kayak gue ar? "

Deg!

Ardi tertegun, ketakutan yang teramat sangat telah ia rasakan 3 tahun lalu, dan ketakutan itu benar-benar terjadi. Setelah kejadian itu, sepertinya ia sudah tidak memiliki rasa takut lagi. Rasa takutnya telah ia habis kan saat itu, saat takdir tidak berada di pihaknya, saat tuhan tidak mendengarkan doanya, dan saat ardi kehilangan dia.

"Semua orang pasti punya rasa takut. " Jawab ardi singkat.

"Ya, semua orang pasti punya rasa takut. Lo pasti juga punya. " Ardi terdiam, kali ini ia tidak memiliki jawaban apapun. "Menurut lo ar, apakah dia akan kembali sama gue? " Ardi menoleh, tersirat kecemasan di mata rina. Sepertinya gadis ini tetap teguh dengan harapannya.

"Ya, dia akan kembali jika dia masih memiliki rasa itu, buat lo. "

"Semoga."

Hening kembali melanda, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Kadang ada saat damai dimana mereka saling diam tanpa perdebatan, itu membuat suasana tenang dan nyaman.

Hembusan angin sore semakin kencang menerpa tubuh mereka, hawa dingin membuat bulu roma mereka berdiri. Rina dan ardi tersadar dari lamunannya, mereka menoleh bersamaan membuat pandangan mereka bertemu.

"Sepertinya matahari udah capek, gue harus cabut. " Ucap rina yang hanya mendapat anggukan. "Lo juga harus balik ar, angin ini bisa buat lo sakit. "

"Ya."

"Cepatlah sembuh ar, sebentar lagi gue ujian." Ucap rina sambil nyengir, ardi hanya mengangguk datar. "Gue akan kesini lagi besok. Lo mau gue bawain sesuatu? "

"Nggak perlu, lo nggak perlu dateng buat jenguk gue. "

"Kenapa? " Tanya rina sedikit kecewa.

"Lo nggak perlu menyusahkan diri cuma buat jenguk gue. Gue udah sehat. "

Rina tersenyum simpul. "Jangan ke PD an ar. Gue kesini bukan cuma mau jenguk lo, dia juga di rawat disini. Jadi, apa lo ingin Ikut gue jenguk dia? "

Ardi menggeleng sebagai tanda menolak. "Okey, gue cabut. " Rina berbalik untuk pulang, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara ardi.

"hope he gets well soon"

Rina berbalik menatap ardi yang juga menatapnya.

"Thanks."

Rina meninggalkan puskesmas dengan senyum mengembang, tidak ia sangka jika ardi mendukung untuk masalah cintanya. Ternyata ardi tidak seburuk yang rina bayangkan, memang orang tidak bisa dinilai dengan hanya bertemu 1 atau 2 kali, perlu lebih dalam untuk kita bisa melihat kebaikan seseorang.

🤟🤟🤟

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!