SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA

Seperti biasa, ardi kini duduk di kursi taman kota dengan buku di tangan dan airphone di telinga. Dengan masih memakai seragam sekolah yang ditutupi hoodie hitam, ardi terlihat tampak tenang dan santai, layaknya introvet yang menikmati kesendiriannya.

DOORR!!!

Ardi memandang gadis konyol itu dengan tatapan tajam, terlihat rina memajukan bibirnya hingga 5 cm.

"Kenapa? " Ardi bertanya sambil melepas airphone yang terpasang di telinganya.

"Kok lo nggak kaget sih? "

"Jangan konyol. Mana soal-soal lo? "

"Yaelah. Lo lepas tanggung jawab seminggu, dateng - dateng minta tugas. Enak banget. " Rina mendudukan dirinya di samping ardi. Menghempaskan tas nya di meja taman dengan kesal. "Lo tau, gue kemarin ada ulangan harian matematika. Dan.. Nilai gue kok sama aja. "

"Berapa? "

"Janji nggak ngetawain gue? " Rina mengacungkan jari kelingkingnya.

"Oke."

"Janji kelingking dulu! " Rina memaksa.

"Kayak bocil aja. " Ardi menuruti permintaan rina dengan menautkan kedua jari kelingking mereka. Kemudian rina mengeluarkan selembar kertas kucel hasil ujiannya kemarin.

"40.. " Rina membeberkan kertasnya yang tertulis nilai merah disana. Ardi memalingkan pandangannya kemudian sedikit tertawa, rina menetralkan ekspresinya dengan sinis. "Jangan ketawa! " Teriaknya.

"Enggak, siapa yang ketawa. " Ucap ardi segera mengubah ekspresi wajahnya biasa aja. "Biar gue tebak, lo pasti nyontek. "

"Eng-engak." Jawab rina dengan wajah masam.

"Beneran? "

"Bener."

"Okey, sini gue lihat. Sesulit apa soal ini. " Ardi melihat kertas ujian rina, beberapa saat dahinya mengkerut kemudian menggelengkan kepala. "Gue yakin lo nyontek, nggak usah bohong. "

Rina menghembuskan nafas kasar. "Dikit doank ar. "

"Yang terlihat kecil itu nyatanya besar. Contohnya ini, lo nyontek dikit. Tapi yang salah 60%, padahal ini soal gampang. Perasaan gue udah ajarin lo deh. "

Rina nyngir sambil garuk-garuk kepala. Kenapa seakan ardi mengetahui semuanya, sejujurnya rina tidak mencontek sedikit, hampir semua jawabannya adalah hasil dari survei milik teman sekelasnya.

"Mungkin gue lupa. " Rina mengangkat kedua bahunya. "Lagian soalnya sulit sih. "

"Hidup lo isinya ngeluh terus ya. Kapan sih lo bisa terima hidup dengan ikhlas. "

"Oh jadi lo sekarang mau jadi ustad juga ar? Jadi gue beruntung banget donk, bisa temenan sama cowok pinter dan alim kayak lo. " Rina mengangkat kedua tangannya kemudian berkata. "Terima kasih yaallah... Terima kasih... Terima kasihh.... "

"Udah? Bisa kita mulai? " Tanya ardi ketika rina telah mengakhiri acara alaynya.

"Ayolah, lo jangan terlalu serius ar. Gue juga butuh yang namanya becanda, coba-coba....senyum dikit aja." Rina menarik bibirnya hingga melengkung sempurna kemudian memperlihatkan gigi putihnya. "Seperti ini.. "

Ardi tidak merespon, ia sibuk melihat soal-soal ujian rina dengan teliti.

"Hais.. Nggak ada gunanya gue begini. Emang lo sesulit itu buat ketawa ya ar? "

Ardi masih fokus dengan soal-soal, tapi telinganya juga tidak melewatkan semua kata-kata gadis cerewet itu.

"Gue penasaran, apa waktu lo kecil juga se-datar ini? Atau ada waktu ajaib yang tiba-tiba ngerubah ardi yang ceria menjadi ardi yang datar dan pendiam. "

Kali ini ardi terdiam, pandangannya kosong. Kertas soal yang sedari tadi ia pegang, terlepas begitu saja dari genggamannya. Tiba-tiba Pikirannya melayang menghampiri kenangan pahit yang terjadi 3 tahun lalu. Tepat di hadapannya, ia harus rela kehilangan cinta pertama yang tiada sebab kecelakaan beruntun. Saat itu ardi benar-benar merasa bodoh karena tidak bisa menyelamatkan gadis malang itu, semua penyesalan kini tiada gunanya.

Senyum, tawa, serta omelan gadis manis itu terekam jelas di ingatan ardi. Sayang sekali, semua takdir itu terjadi sebelum ardi berani mengungkapkan isi hatinya kepada gadis itu. Dan kini hanya tersisa penyesalan sebab sampai akhir hayatnya, gadis itu tidak mengetahui ada seseorang yang sangat mencintainya.

"Ardi... "

"Nay! "

Ardi tersentak, suara gadis yang sampai saat ini masih menempati hatinya itu terdengar jelas di telinganya. Suara yang sudah lama tidak ardi dengar, kini menyapanya kembali setelah 3 tahun lamanya. Suara itu masih sama, lembut dan menenangkan.

"Woi! Ar... Lo kenapa? " Rina mencolek-colek pipi ardi membuatnya tersadar. Ardi clingak-clinguk dengan sesekali menggelengkan kepala, rina mengernyitkan dahinya. Rasa heran dan takut bercampur aduk di pikirannya, heran dengan apa yang sedang ardi pikirkan dan takut dengan dugaannya jika ardi adalah orang stres.

"Ar... Lo nggak sinting kan? " Tanya rina kembali ketika ardi hanya diam mematung tak merespon ucapannya. "Woy ar.... " Rina memukul bahu ardi dengan keras sampai cowok itu kaget dan hampir terjungkal.

"Apa-apaan lo? " Seru ardi masih berpegangan pada meja untuk membantu menyeimbangkan tubuhnya.

"Lo tu yang apa-apaan. Ngapain coba lo habis kaget terus diem kayak orang gila gitu? Ya gue sebagai manusia yang masih waras kan takut kalo lo ternyata cowok sinting. " Ucap rina dengan mencampur banyak emosi. "Dan... Siapa nay? "

Kali ini tidak hanya terjungkal, bahkan ardi tersedak secara tiba-tiba mendengar pertanyaan rina. Jadi ucapannya tadi nyata? Bukan hanya khayalan dalam mimpi yang hanya dapat di dengar hatinya?

"Lo kenapa sih ar? Hari ini aneh banget. " Tanya rina setelah memberi ardi air. Ardi tidak menjawab, ia masih sibuk meminum air sebanyak-banyaknya. Rasa gugup dan takut yang ia rasakan 3 tahun lalu, seakan kembali menyapanya. Berulang kali ardi mengatur nafas agar dirinya kembali tenang dan rileks.

Rina terdiam, mungkin bukan saat nya ia berbicara panjang lebar seperti biasanya. Ardi sepertinya juga banyak pikiran, terlihat dari mulutnya yang membisu lama dan tidak merespon sedikit pun.

Beberapa saat mereka terdiam, ardi masih dengan pikiran kosong sedangkan rina sibuk mengamati ardi. Sungguh rina baru sadar jika ardi memiliki mata yang indah, jelas saja semua orang tersihir jika mendapat tatapannya. Ardi memiliki hidung yang mancung dan bibir yang tipis, bulu matanya tidak terlalu panjang dan tidak lentik, rambutnya kali ini dibiarkan sedikit berantakan, sungguh dia keren.

Tiba-tiba ardi memegangi dadanya, seluruh tubuhnya bergetar. Dadanya merasakan nyeri yang hebat, badannya tidak terkontrol, pikirannya kacau. Hatinya merasa takut kehilangan sesuatu, botol yang tadi ia pegang kini telah jatuh. Badannya menggigil seperti ada hembusan angin kencang, tapi nyatanya angin berhembus pelan dan segar.

"Ar... Ar.... Lo kenapa ar? " Rina menepuk-nepuk bahu ardi. Kini rina panik, tidak tau harus berbuat apa, tidak ada siapapun yang ia kenal untuk dimintai bantuan. Rina semakin panik ketika badan ardi mulai lemas dan kini bersandar di bahunya. "Ar.. Plis jangan kayak gini. Gue takut. " Ungkap rina dengan menepuk-nepuk pipi ardi dengan cemas. Ia menyesali perbuatannya, jika saja ia tidak bertanya siapa 'nay' itu semua ini tidak akan terjadi.

"Caaaa... Lo dimana? "

........ ...

"Ke taman kota sekarang, bawa mobil lo. Gue butuh bantuan, gawat ini. "

Setelah menghubungi cica, rina sedikit lega. Setidaknya ia tidak sendiri, untung cica dan desi masih nongkrong di depan sekolah, jadi jaraknya tidak terlalu jauh.

Rina masih berusaha membangunkan ardi dengan menepuk-nepuk pipinya, kadang rina juga menggosok tangan ardi. Entah apa yang membuat ardi jadi seperti ini, mungkinkah sebab nama 'nay' atau ardi memang sedang sakit. Yang rina harapkan sekarang, cica cepat datang dan membantunya.

Tenang rin, semua akan baik-baik saja.

🤟🤟🤟

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!