SENJA TAMAN KOTA

Rina menompang dagu sambil menguatkan matanya untuk terbuka. Hembusan angin sore di dukung dengan cahaya matahari yang hangat, membuat tubuh ingin bermanja di kasur.

"Hei, lo tidur? " Sentak ardi mengagetkan rina. "Lo dengerin gue nggak sih? "

"Iya.. Iya gue denger. " Ucap rina masih dengan mata sayup-sayup.

Ardi menatap rina dengan kesal, dirinya yakin jika rina tidak mendengarkan penjelasannya sejak tadi. Lihat saja, setelah mengatakan 'iya' mata itu tertutup kembali.

"Dasar cewek nggak jelas. " Ardi mengambil botol minum yang selalu ada di dalam ranselnya. Tanpa berpikir panjang, ia menuangkan sedikit air dalam tutup botol kemudian menyiramkan tepat di hidung rina. Sedetik kemudian gadis itu bangun di iringi dengan suara bersin yang sangat keras.

"Eh, apa-apaan lo? " Rina melotot kearah ardi ketika menyadari seragamnya basah sebab air yang ardi pegang. "Gue tau lo nggak suka gue, tapi jangan seenak jidat nyiram gue donk. " Sergah rina terlihat begitu kesal.

"Lo tadi tidur dan-"

"Bisa kan banguninnya pelan-pelan? Nggak usah nyiram air juga" Srobot rina nyolot.

"Diem! Dengerin gue, dari tadi gue udah bangunin lo 3 kali. Dan lo bisa lihat sendiri tanpa air lo nggak akan bangun. " Ardi menekankan setiap kata-katanya. Ia berusaha mengurangi volume suaranya agar tidak terdengar oleh orang sekitar.

Melihat rina marah tidak mengurangi rasa jengkel ardi, dirinya juga ingin sekali marah, namun ia berusaha menahan, untuk apa berdebat dengan cewek keras kepala ini, lagian ini juga di tempat umum, jika itu terjadi akan sangat memalukan. Baru 15 menit mereka duduk dan membuka buku disana, dan perdebatan sudah terjadi.

Mendengar suara ardi yang terkesan tertahan membuat rina menengok kesekelilingnya. Ternyata masih banyak anak-anak sekolah yang belum pulang, jadi sedari tadi dirinya tidur di lihat orang banyak? Tidak ini memalukan.

Rina dengan cepat merogoh tasnya, mengambil barang berbentuk kotak kecil yang selalu ia bawa. Cermin. Rina memandangi wajahnya lewat cermin, seketika matanya melotot.

"What!? " Pekiknya keras. Wajah rina memanas ketika melihat air liur yang telah menempel di pipinya, rina menutup matanya.

'Sumpah gue malu banget. Ngapain harus ngiler segala sihhh. Mana nggak ada tisu lagi. ' batin rina marah kepada keadaan, diri sendiri dan air liurnya.

"Lo kenapa? Stres setelah lihat iler lo yang banyak itu." Ardi tersenyum miring tanda mengejek.

"Diem lo! " Telapak tangan rina reflek mendekat pada mulut ardi untuk membekapnya. Namun, ardi dengan cepat menahan tangan mungil itu.

"Stop. Jangan kotorin wajah gue sama iler lo yang bau itu. "

"Enak aja lo ngatain gue. " Rina masih berusaha menggapai wajah ardi. " Sini lo! " Hatinya kini sangat kesal seakan ingin mencakar wajah cowok di hadapannya ini. "Gini-gini iler gue wangi ya. " Bela rina ketika ardi berhasil mengunci pergerakannya dengan mencengkram kedua pergelangan tangannya.

"Dimana-mana yang namanya iler itu baunya nggak enak. Lo emang cewek aneh sampek iler aja di bilang wangi. "

"Lepasin gue! " Ardi melepas cengkramannya. "Dasar." Umpat rina memasang wajah bete.

"Bisa kita mulai? " tanya ardi sambil menyerahkan sebuah sapu tangan putih di hadapan rina. gadis itu tertegun melihat sikap cowok ini yang sederhana tapi manis.

"Yess sweet teacher. " Jawab rina dengan membersihkan sisa-sisa iler di pipinya, Sedangkan ardi sedikit menyinggung senyum tanpa di ketahui oleh siapapun.

Kurang dari lima menit rina dengan seksama menyimak semua yang terlontar dari mulut ardi. Semua penjelasan ardi begitu jelas hingga otak rina tidak bisa berfikir apapun. Ia lupa jika yang sedang di pelajari adalah pelajaran terkiller dari semua mata pelajaran yang ada.

Matematika yang sering rina sebut dengan pelajaran matimatian ini benar-benar akan membunuhnya. Kadang rina heran, bagaimana bisa ada orang yang sangat menyukai pelajaran ini? Contohnya cowok bernama ardi sampingnya, begitu mengerti tentang seluk beluk angka yang selalu rumit di mata rina.

Semua yang ia dengar dari mulut ardi keluar begitu saja lewat telinga sebelah kiri hingga tidak ada yang tersangkut sedikitpun di kepalanya. Jika di teruskan sepertinya otak rina akan meledak seperti kompor.

"Jelas? " Tiba-tiba ardi bertanya membuat rina tersetak kaget. Rina hanya mengangguk, ardi memandangnya datar, sepertinya rina ketahuan jika tidak mengerti apapun. "Lo paham nggak? "

"Enggak" Jawab rina begitu polos. Terlihat ardi mengembuskan nafas kasar. "Mending ganti pelajaran aja di. Bisa pusing gue kalo soal matimatian mah. "

"Fisika? " Tawar ardi.

Rina melotot. "Jangan adiknya juga donk. Yang lain asal jangan sekutunya matematika. "

Beberapa saat mereka terdiam dengan pikiran masing-masing, ardi dengan pikiran memilih mata pelajaran sedangkan rina fokus menatap seorang laki-laki yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk.

Rizal? Kenapa dia di sini? Dan dia bersama gadis itu?

Rina mengepalkan tangannya kuat, ia tidak terima jika musuhnya beberapa waktu lalu mendapatkan cinta dan perhatian rizal. Rina masih belum bisa menerima jika rizal sudah tidak mencintai dan mengharapkannya lagi, tapi dalam hatinya, rina meyakini jika rizal akan kembali padanya. Entah itu kapan.

Rina terus memandangi rizal yang sedang mengobrol asik dengan santi, mereka berdua terlihat sangat cocok. Bercanda tawa dengan di temani dua gelas es jus tape dan beberapa biji donat, Membuat kencan mereka sempurna, mereka terlihat sangat bahagia sebagai pasangan.

Rina terus memperhatikan rizal tanpa mengalihkan perhatin sedikitpun, hingga tanpa sengaja rizal menoleh. Dengan secepat kilat rina mengambil buku LKS lebar yang tergeletak di depannya. Kemudian menarik kepala ardi untuk menunduk dan menutupi wajah mereka berdua menggunakan buku, bahkan rina sampai mengikis jarak duduk mereka berdua hanya tinggal beberapa cm saja.

Tentu sikap itu membuat ardi bertanya-tanya, ada apa? Kenapa gadis ini semakin tidak jelas. Melihat dari raut wajah rina yang terlihat panik membuat ardi urung bertanya. Dari mata rina sudah terlihat jelas jika ada seseorang yang ingin rina hindari, semua itu jelas sebab mata rina sudah mulai berkaca-kaca.

Sekitar 10 menit mereka bersembunyi di balik buku tanpa suara, akhirnya rina membuka buku itu. Yang pertama kali ardi lihat adalah pemandangan biasa saja, masih sama anak sekolah yang sedang menunggu jemputan. Rina hanya diam saja, pandangannya lurus namun tampak kosong. Rizal sudah pergi.

Setetes bulir bening jatuh diatas telapak tangan ardi, rina menangis lagi. Walau tak sehisteris dulu, tetap saja akan merepotkan. Ardi menepuk bahu rina pelan, memastikan jika rina baik-baik saja. Rina tersadar lalu menoleh pada ardi dengan senyuman.

"Sorry gue nangis lagi. " Ucap rina berusaha menghapus sisa-sisa bulir bening di wajahnya. "Lo pasti bosen ya liat gue nangis mulu? "

"Lo lihat sesuatu? " Tanya ardi tanpa ingin menjawab pertanyaan rina.

Rina mengangguk. "Dia jalan sama cewek itu lagi. " Ucap rina kembali mengeluarkan kata-kata sadnya. Apalagi jika dirinya sudah menangis, semua pasti akan repot. "Padahal gue udah berusaha minta penjelasan, tapi kenapa dia milih yang lain. "

"Ya gitu emang konsep hidup. " Jawab ardi. "Lo harus ngerti kalo people itu come and go. Semua akan pergi pada waktunya, dan hal-hal lain akan datang. Begitu juga dengan pertemuan ini, semua akan berakhir nanti."

"Apa gara-gara dia pergi terus lo dateng ar? " Tanya rina masih dengan sisa sesenggukan nya.

Ardi mendongakkan kepalanya untuk menatap langit yang sore itu terlihat sangat indah dan hangat. "Gue nggak tau, yang jelas dan yang selalu gue percaya, di dunia ini nggak ada yang kebetulan. Semua sudah di atur. "

"Gue harap dia hanya pergi sebentar. " Rina ikut menatap langit senja sore itu. Hari itu langit terlihat begitu indah, andai yang bersama dengan dirinya adalah rizal, mungkin semua akan terasa berbeda, dia tidak akan menikamati senja dengan tangisan melainkan dengan suara tawa bahagia berdua.

Ardi menoleh ke arah rina. "Lo boleh berharap, asal itu nggak berlebih dan nyiksa diri lo sendiri. "

Setelah kalimat terakhir tidak ada perbincangan lain. Semua terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing, mereka menikmati senja di taman kota dengan hening dan sangat damai. Para murid yang tadi berada di sana kini telah berjejer rapi menaiki bis. Sekarang hanya ada rina dan ardi yang menikmati senja begitu damai, tanpa ada pertanyaan, pernyataan, jawaban dan debat. Memang kadang kita perlu menutup mulut untuk mensyukuri semua yang ada di sekitar kita secara sederhana.

"Gue harap pertemuan kita juga nggak akan berakhir ar.... "

🤟🤟🤟

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!