Bel pulang sekolah telah berbunyi, seperti biasanya semua murid bergegas untuk pulang. Begitu dengan rina yang hari ini tampak terburu-buru berbeda dari biasanya. Kedua sahabatnya yang menyadari sikap berbeda dari rina pun terheran, pasalnya rina selalu lelet dalam hal apapun.
"Rin.. Yuk jalan! " Ajak desi menghampiri rina.
"Iya, pumpung tu matahari masih bisa menghandle mendung. " Tambah cica terlihat bersemangat.
"Emm.. Sorry guys, tapi gue hari ini nggak bisa. " Tolak rina sudah siap menggendong tas nya.
" Gue perhatiin lo sibuk bener deh. Mau kemana? " Tanya desi berterus terang.
"Gue mau belajar. "
"WHAT? " pekik kedua sahabatnya terkaget-kaget. Rina menutup kedua telinganya, semua ini sudah ia prediksi jauh-jauh detik sebelumnya.
"Lo? Pfftttt! " Tiba-tiba desi tertawa.
"Kenapa lo, kesurupan apa gimane? " Rina terlihat bete, ia tau jika desi sedang menertawakannya.
"Bentar-bentar... Hahahah... Lo? Belajar? Nggak salah? " Desi masih terus melanjutkan tawa jahatnya sambil memegangi perutnya yang sakit sebab terlalu berlebihan.
"Lah des, belajar kan nggak salah. " Bela cica tidak terima.
"Hem.. Tu denger besti kita yang paling alim, belajar tu nggak salah. Gimana sih? " Rina menyedekapkan tangannya sambil memasang wajah cool.
"Belajar emang nggak salah sih, tapi kalo seorang rina yang belajar tu kayak nggak wajar aja. Kecuali kalo belajar loncat pager, itu baru bener. " Ucap desi masih dengan sisa-sisa tawanya.
"Kalo lompat pager mah nggak usah belajar gue. Dari lahir ceprot gue udah bisa lompat pager, bahkan gue ni suhu. " Jawab rina sekenanya membuat desi semakin terbahak dan begitu juga dengan cica yang kini ikut tertawa kecil. "Lo nggak usah ngikut ca. "
"Habisnya lo lucu sih rin. " Cica meneruskan tawanya. Rina semakin kesal dengan kedua sahabatnya ini, jika mereka mengejek, terkesan rina seperti orang asing yang sedang dibohongi.
"Dasar gila, gue pergi. " Pamit rina beranjak menuju pintu kelas. Namun langkahnya tertahan, siapa lagi kalo bukan sahabatnya itu yang menarik tangannya.
"Lo beneran mau belajar? " Tanya desi sambil memegangi dahi rina yang memiliki suhu biasa aja atau normal. "Lo nggak sakit, tapi kenapa belajar?"
"Des, orang sakit mana bisa belajar. " Protes cica, kini desi dan rina sibuk dengan geleng-gelemg kepala.
"Diem aja lu ca. Lo masih polos, nggak boleh. " Omongan desi kini di angguki dengan mantap oleh rina. Terlihat cica tengah ngambek dan cemberut.
"Kenapa sih kalian cepet dewasa banget. Sedangkan gue masih kayak bocil bau bawang."
"Gitu aja ca.. Udah kembali ke topik introgasi kita. Lo mau kemana? "
"Belajar."
"Dimana? "
"Taman kota. "
"Pelajaran apa? "
" Gurunya siapa? "
Deg!
Rina teringat perbicangan panas kemarin.
Flasback on
"APA!? "
"Enggak tan, rina cukup belajar di bimbel aja. " Tolak rina ketika diminta bekerja sama dengan ardi dalam hal belajar.
"Iya tan nggak perlu, saya juga nggak bisa kok. Kita sama-sama belajar di bimbel juga. Itu sudah cukup. " Tolak ardi penjang lebar, seketika rina melongo. Cowok itu... Mengoceh lagi.
"Mungkin buat kamu nggak penting ar, tapi bagi rina penting. Sebab dia harus bisa keluar dari peringkat 20,di ujian terakhirnya "
"Tan...? "
"Rin...? " Tante diah melotot membuat mulut rina terkatup rapat.
"Tolong ya ardi. " Tante diah terlihat memohon, sementara rina terus mengirimkan kode pada ardi agar tidak menyetujuinya.
"Ardi, memang rina sudah masuk ke kelas bimbel yang sama seperti kamu. Tapi kalo yang ngajar itu nggak private, biasanya dia akan tidur di kelas dan nggak inget apa-apa. Jadi om dan tante minta tolong, untuk kamu bantuin rina belajar. Boleh? " Kini om fadli yang berbicara. Mendengar ocehan om fadli membuat rina tambah pusing, walau pun semua itu benar rina tetap tidak terima.
Rina menatap ardi tajam, begitu juga sebaliknya. Beberapa saat bertatapan, pandangan rina yang tadinya tajam seperti orang marah, kini berubah menjadi wajah memelas seperti orang belum makan 3 minggu.
"Bisa kan di? " Tante diah kembali memohon.
"Em... Maaf tante, tapi.. Saya nggak bisa. "
Yesss! Rina tersenyum penuh kemenangan, dalam hati dirinya sudah tertawa jahat dan berpesta pora.
"Kenapa? Kamu sibuk apa? Kapanpun waktu luang kamu, rina pasti dateng. "
"Apa? " Rina mendelik. "Enggak- enggak gue nggak bisa. Tan? " Rina berusaha protes namun tidak di gubris oleh tantenya.
"Emm... " Ardi melirik rina.
"Deal kan? " Tante diah memelototi ardi.
"E... Tegantung rinanya tan. " Jawab ardi kemudian.
"Deal. " Tante diah menyalami ardi tanda kesepakatan telah mencapai mufakat. Rina melongo, bagaimana bisa tantenya mengatakan deal tanpa bertanya dulu padanya. Rina tidak terima, dirinya merasa seperti barang yang dengan mudahnya di jual kepada orang lain.
"No, no, no rina nggak setuju, titik. " Rina berdiri dengan raut wajah marah. "Tante sama om sama aja kayak bunda dan ayah. Kenapa selalu mutusin kehidupan rina tanpa tanya dulu, dengan alasan ini yang terbaik? Kalian berfikir nggak sih, rina tu pengen nya apa? Kenapa selalu mutusin semua, ini kehidupan rina, yang jalani rina. Jadi nggak akan ada yang boleh mutusin atau ngatur hidup rina. " Ucap rina dengan keras. Dirinya meluapkan semua hal yang selama ini terdampar di hatinya. Sebenarnya rina ingin mengungkapkan nya pada sang bunda, tapi dirinya sudah tidak mampu untuk menahan itu semua.
"Rina.. " Panggil tante diah lirih. "Tante ngambil keputusan ini menurut kamu biar apa? Biar kamu berhasil memenangkan kesepakatan dengan bundamu, biar kamu bisa bebas milih apapun, bebas menentukan masa depan kamu rin. " Tante diah menjelaskan alasannya panjang lebar. "Sudahlah, kamu nggak akan ngerti dengan apa yang tante dan om perjuangin buat kamu. Keputusan tante sudah bulat, kamu harus belajar sama ardi sampai lulus. "
Flassback off
"Rin.. " Panggil desi membuyarkan lamunan rina. "Lo kok nglamun sih? "
"Lama lagi nglamunnya, kayak orang kesambet tau. " Sambung cica.
"Em... Kalian tadi nanya apa? "
"Astaga rina... Kebiasaan kan. Kita tanya lo belajar sama siapa? " Desi menanyakan ulang.
"Masih kurang jelas? " Kini cica yang bertanya saat melihat rina tak kunjung menjawab.
"Lo kok jadi ngang-ngong gitu sih rini? "
"Lo tega banget ngatain gue gitu des. " Protes rina tak terima. " Udah deh gue pergi, udah telat nih. Bye" Setelah pamit rina bergegas pergi.
"Kok gue penasaran ya des.. " Pandangan cica tak teralihkan dari punggung sahabatnya yang perlahan menghilang.
"Gue juga. " Ucap desi. Sedetik kemudian mereka bertatapan, kemudian tersenyum penuh arti. Hanya mereka sendiri yang mengerti bahasa isyarat perbestian itu.
...***...
Dari kejauhan terlihat seorang remaja tengah duduk di bangku taman. Dirinya terlihat celingak-celinguk mencari seseorang. Keadaan taman sore ini cukup ramai, banyak remaja yang tengah menunggu bis sekolah datang. Tidak memungkinkan baginya untuk berkeliling mencari orang yang ingin ia temui. Ardi memilih duduk di salah satu bangku taman yang kosong, kemudian mulai memainkan ponsel.
"Udah lama? " Pertanyaan itu membuat ardi mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Orang yang dari 15 menit yang lalu ia tunggu akhirnya muncul juga.
"Lo buang waktu gue 15 menit. " Ucap ardi memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Oh, jadi waktu lo habis. Yaudah, nggak jadi aja nggak papa. " Ucap rina dengan senyuman.
Ardi menatap rina datar. "Fine." Setelah mengucapkan satu kata itu ardi melangkahkan kaki dari hadapan rina.
Whatt? Dia beneran pergi? Terus gue gimana? Eitss, tapi bagus donk kalo dia pergi, gue bisa cabut.
tapi...
'Kamu harus menang rina ' ucapan tante diah kala itu. Seketika rina tersadar jika dia memilih membiarkan ardi pergi, sama saja dia membuang sia-sia kemenangannya. Ini nggak boleh terjadi.
"Tunggu! " Ardi berhenti ketika teriakan rina menyapa telinganya. Terdengar langkah kaki gadis itu mendekat dengan tergesa.
"Sorry, maksud gue bukan gitu. " Rina terlihat bersalah. "Plis, tolongin gue lagi ar. Gue mohon, bantu gue belajar. Gue juga pengen pinter kayak lo ar, gue pengen ngerti semua mata pelajaran. Gue pengen membuat perubahan di hidup gue ar, dan... Gue pengen bebas milih masa depan gue sendiri. " Sepanjang ocehan rina, remaja bernama ardi itu hanya menatap datar. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut cowok itu, bagaimana akan paham jika dia sangan minim ngomong? Batin rina bingung sendiri.
"please help me sweet teacher. " Rina mengatupkan kedua tanganya di depan ardi tanda memohon. Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut rina membuat ardi mendelik.
"don't call me like that. you naughty girl, that's really bad you know." balas ardi dengan santai.
Rina mengrenyitkan kening tanda dia tidak mengerti apa yang sedang ardi katakan. "Kok lo jadi sok inggris sih? " Rina mengurai tangan permohonannya. "Gue nggak ngerti yang lo omongin. "
"Terus kenapa tadi pakek bahasa inggris? "
"Terserah gue donk. Gue bisanya kalimat itu doang, lagian kalimat itu hasil gue translate juga. " Ungkap rina jujur, memang dirinya tidak pernah paham dnegan bahasa orang-orang bule itu.
"Jangan panggil gue kayak gitu. " Larang ardi.
"Yang mana? "
"Tadi.. "
"APA? Please help me? " Ardi menggeleng. "Gue tau pasti yang cowok sombong. " Ardi kembali menggeleng. "Sweet teacher? " Tidak ada jawaban dari ardi, pertanda kata itu yang dimaksud. "Kenapa? Itu panggilan yang cocok buat lo. Me sweet teacher. " Rina kembali mengatakan kalimat itu dengan jahil, inilah rina semakin di larang akan samakin di lakukan.
"Do no like that. " Ardi kembali bersuara.
"Jadi lo lebih suka gue panggil cowok sombong, sweet teacher? "
"Tidak keduanya. "
"Lalu? "
"Panggil seperti biasa. Ayo cepat, sebelum magrib gue harus balik. " Ucap ardi mengangkat jam yang terpasang gagah di tanganya.
"Yes, my sweet teacher. " Jawab rina kamudian mengikuti langkah kemana ardi pergi.
...***...
Kedua remaja perempuan berhenti tepat di bawah pohon besar yang berada di taman kota. Mereka mengusap keringat yang sudah bercucuran di dahi juga mengambil minum yang terdapat di samping ransel mereka. Masih dengan seragam putih abu-abunya, kedua gadis itu memandang sipit dua orang yang tengah duduk membelakangi mereka.
Tampak dua orang itu menyita perhatian desi dan cica. Mereka tampak tak asing dengan sosok gadis yang kini sedang duduk berdampingan dengan seorang cowok dengan jarak yang begitu dekat. Dan anehnya kedua orang itu menjadikan buku pelajaran sebagai tutup wajah.
"Ca... Pikiran lo sama nggak kayak gue? " Desi begumam.
"Kayaknya iya deh des. " Cica membenarkan. "Itu beneran rina des? " Tanya cica menoleh pada desi yang dengan fokus memastikan.
"Dilihat dari pawakannya itu rina, tapi siapa tu cowok. Beda sekolah lagi. "
"Jangan-jangan.... " Cica menggantung kata-katanya, desi menoleh padanya.
"Pacar barunya rina! " Mereka memekik keras, tapi segera membekap mulut masing-masing.
"Huusttt." Desi mengacungkan jari telunjukanya.
"Lo tadi juga teriak des. " Ucap cica sambil mencubit desi. " Kyakk... Rina cepet banget dapat pacarnya. Mana keren lagi, akurasi ganteng 99,9999%"
"Aduh cica.. Yang dipikir cuma ganteng mulu. Sono cepet cari pacar. " Desi menepuk bahu cica dengan keras hingga sang empu mengaduh. "Alay lo ca. "
"Kita samperin aja kali des? " Desi menggeleng. "Kalo gitu foto aja des, kita tanyain tu kupret. Masak punya pacar baru nggak bilang-bilang. " Dengan segera desi mengambil foto kedua orang itu kemudian segera menarik cica dari sana.
"Eh-eh gue mau liat dulu des. " Cica mendumel ketika desi menyeretnya tanpa persetujuan, untung dirinya tidak terjungngkal.
"Lo jangan kepo mulu ca.. Ayo cabut. "
🤟🤟🤟
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments