KEMANA AKU HARUS PULANG?

Rina menatap es krim coklat yang hampir meleleh berada di genggamannya. Ia termenung seakan mengingat sesuatu, coklat adalah makanan yang paling ia sukai.

Beberapa waktu lalu rizal juga membelikannya satu cup es krim jumbo rasa coklat dengan topping choco chips favoritnya. Berjalan menyusuri indahnya taman kota sambil bergandeng tangan, bercengkrama, membicarakan masa depan yang indah untuk mereka berdua.

Namun kini semua hal manis itu hanya tinggal kenangan, semuanya hancur tak tersisa. Rina akui rizal adalah orang yang paling peduli dan pengertian padanya, lihai dalam menguntai kata-kata manis, tapi rizal juga sangat tenang dalam menyakiti hatinya berulang kali.

Air mata rina menetes kembali untuk ke sekian kalinya. Menangis dan terus menangis adalah salah satu usahanya untuk membebaskan beberapa masalah yang tersimpan di hatinya. Tidak peduli walau dirinya kini sedang berada di tempat umum, kini hatinya hanya ingin menangis tidak ingin lainnya.

"Lo nggak suka es krim? " Suara dingin itu kembali menyapa indra pendengarannya, pandangannya kini terfokus pada tangan yang sudah penuh lelehan es krim. Bergegas rina mengusap air matanya, dan memakan es krim yang sudah meleleh ke mana-mana.

"Kalo nggak suka nggak usah di paksa" Cowok dingin itu duduk di samping rina dengan menggenggam es krim yang sama.

"Siapa yang maksa, gue suka kok" Jawab rina menunjukkan stik es krimnya. Cowok itu melihat sekilas tanpa ingin membalas perkataan rina, hanya menikmati es krim dengan tenang.

"Btw, sorry udah ngerepotin" Ungkap rina sambil memainkan ujung jarinya. Ia sadar jika kedatangannya ke medan tawuran hanyalah beban, untung cowok ini mau menolongnya, jika tidak... Bisa di pastikan amarah orang tuanya akan lebih besar lagi.

"Lo marah? " Tanya rina karena hampir semua ucapannya di cuekin oleh cowok manis ini. Apalagi dirinya malah menangis di hadapan cowok yang tidak ia kenal, dan sepertinya cowok itu sangat tidak suka dengan sikap cengengnya itu.

Masih tidak ada jawaban, rina memberanikan diri untuk menatap cowok berhoodie hitam di sebelahnya. Cowok itu tampak biasa dengan terus memakan es krim yang dari tadi tidak habis-habis.

Merasa kesal karena tidak di anggap, rina membanting stik es krimnya hingga terjatuh di dalam selokan. "Lo budek apa gimana sih? Gue dari tadi ngajak lo ngomong dan lo cuma diem seakan gue nggak ada, kalo niat lo gitu kenapa lo ngajak gue? " Rina mulai mengeluarkan kata-kata pedasnya, kini rina yang galak dan bar-bar sudah muncul kembali.

Cowok itu menatap rina intens, masih dengan wajah yang datar ia mengeluarkan satu kalimat. "Ambil! "

"Apa!? " pekik rina terheran. "Lo nyuruh gue nyemplung got cuma buat ngambil stik es krim. Lo nggak lagi ngelawak kan? " Tanya rina sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak percaya cowok itu menyuruhnya masuk got hanya untuk mengambil stik es krim yang memang seharusnya di buang. Itu kan termasuk sampah.

Cowok itu berdiri, kemudian melempar stik es krimnya ke dalam tong sampah yang berada tepat di belakang rina. "Gimana mau bahagia, Kalo hidup lo aja jauh dari hal yang baik, kayaknya semua hal baik itu terlihat sepele di mata lo. this is real example" Secara bergantian, cowok itu menatap rina dan stik es krim yang tersangkut di antara bebatuan selokan.

Rina mengikuti arah pandang cowok itu, ia bingung dengan apa yang di maksud. Beberapa saat dirinya termenung hingga sadar jika cowok itu telah berjalan meninggalkannya.

"Apa maksudnya? " Rina masih berfikir sambil menatap stik es krim di selokan, namun sedetik kemudian otaknya mulai berfungsi dengan mengupgrade fitur-fitur baru. "Astaga rina, jadi ini yang di maksud. he is so right " Rina mengangkat kedua bahunya kemudian ia mengambil stik es krim itu dan membuangnya ke tempat sampah. Untung saja stik es krimnya tidak tenggelam begitu dalam, jadi rina masih sanggup menggapainya, walau kini tangannya bau air selokan yang sangat menyengat hati, pikiran, dan juga kehidupan.

"Btw ngapain lo ikut tawuran, sedangkan lo tau itu bahaya? " Tanya rina ketika berhasil menyamai langkah cowok tinggi berambut hitam pekat itu. Laki-laki itu terlihat menaikan salah satu alisnya.

"Lo sendiri ?"

"Hmm.. " Rina menunduk, dirinya merasa malu karena telah merepotkan orang lain. Walau dirinya memang bukan orang baik, tapi rina tetaplah manusia yang memiliki rasa bersalah seperti yang lainnya.

"Lalu? " Suara berat cowok itu kembali terdengar. Entah mengapa cowok ini sering berubah-ubah karakter, tadi diem mulu sekarang banyak ngomong.

"Apanya? "

"Cowok yang lo kejar sampek kesini"

"Gue... bakal kejar dia"

"Lagi?" Rina mengangguk. "Kayaknya dia udah mencuri sesuatu dari lo, sampek lo ngejar gitu"

Rina menunduk, dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri. Cowok itu benar, rizal memang telah mencuri sesuatu yang berharga di dalam hidupnya. Rina memang bodoh, ia akui dia sangat bodoh, hanya demi cinta dirinya rela menyerahkan sesuatu yang harus dirinya jaga.

" Lo bener banget. Gue emang bodoh, hidup gue udah kacau, dan dengan begonya gue nyerahin semua yang gue punya hanya demi dia, tapi... Kenapa dia tega ninggalin gue" Rina kembali mengucurkan air matanya, walau tidak sederas tadi namun air mata itu kembali menetes. Mengingat semua perkataan rizal hari ini benar-benar sedih. Dengan teganya rizal menyuruhnya pulang sendirian ketika tawuran akan dimulai, meninggalkannya ketika polisi datang. Menyedihkan.

Langkah cowok itu berhenti, kemudian menghadapkan tubuhnya pada rina yang tengah mengusap air mata. "Manusia memang suka mengorbankan apapun hanya demi cinta sesaat, entah itu baik atau buruk. Gue harap lo nggak ngelakuin hal konyol lagi demi siapapun dan apapun keputusan lo nanti, jangan pernah menyerah di tengah jalan." Rina mengangguk, entah dirinya akan melakukannya atau tidak, itu urusan belakangan. "Gue pergi"

"Tunggu" Langkah lebar itu terhenti ketika tangan rina menahan lengannya, cowok itu melirik kemudian rina melepaskan tangannya dengan kikuk. "Sorry gue nggak bermaksud tapi.... " Rina memberanikan diri memandang wajah datar itu.

"Gue Rina dari SMA jaya sakti. Mungkin lo udah tau dari seragam gue yang tidak lain siswi rival sekolah lo di tawuran ini. Dan....lo..? " Rina mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Apa itu penting? " Tanya cowok itu memutar bola matanya malas. Kelihatan sekali jika dia tidak suka berkenalan ataupun jabatan tangan.

"Izinkan gue mengingat lo, bukan cuma pertolongan tapi juga nama" Rina masih mengulurkan tangan, kali ini rina menjawab dengan senyuman. Kali aja es batu leleh.

"Ar... "

"Di..? " Mendengar penyambungan kata dari rina cowok itu menunduk, kemudian mengangkat kepalanya dan memakai kupluk hoodie.

"Gue pergi" Dengan sedikit berlari cowok itu menyebarang jalan di persimpangan yang hari ini cukup lenggang. Melihat ardi berlari rina melebarkan senyumnya, ia tidak habis pikir jika akan bertemu siswa keren sekolah lain yang merupakan rival dari sekolahnya, dan anehnya dia malah menolong. This is not a dream?

"Thanks Ardi" Rina berteriak dengan melambaikan tangannya ketika ardi masuk ke dalam angkot, ia menatap angkot itu pergi hingga menghilang. Ada perasaan aneh dalam diri rina ketika mengetahui nama cowok cuek tapi baik itu. Dalam lubuk hati terkecilnya, rina berharap akan dipertemukan lagi dengannya. Semoga.

Huuuhhh.... Rina meneruskan langkah kecilnya, tidak pernah ia pikirkan untuk terlibat dalam tawuran, tapi ternyata keberaniannya memang sangat besar.

Menyusuri jalanan indah nan asri, dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya, membuat rina tidak sadar dengan keadaannya saat ini.

Beberapa saat kemudian rina menyadari sesuatu.

"Lahhh, Ini kan jalan rumah gue!? " Rina tidak percaya jika langkah tanpa tujuan tadi dapat mengantarkannya pulang. Tapi... Bagaimana bisa ini bisa terjadi? Apakah ardi mengetahui rumahnya? Perasaan ardi tidak bertanya tentang tempat tinggal, atau ini hanya kebetulan?

Rina menatap rumahnya dengan nanar, pintu itu selalu tertutup. kenapa kebahagiaan tidak pernah terdapat pada bangunan yang cukup besar berwana putih itu.

Dari kecil hingga kini dirinya remaja, tidak pernah merasakan yang namanya cinta keluarga. Mungkin ini alasan dirinya yang selalu mengemis cinta kepada lawan jenis.

Tidak ada perhatian, kasih sayang maupun sapaan hangat dari orang tuanya. Mereka hanya sibuk mencari uang, uang dan uang, walau rina tau itu untuk menghidupinya, tapi rasanya ditinggal belasan tahun di luar negeri oleh orang tua itu sangat menyakitkan.

kenapa dirinya harus pulang? Ini masih jam sekolah, jika tidak ingin mendapatkan banyak pertanyaan dari tantenya, pilihan terbaik adalah pergi mengungsi dulu. Jika sampai orang tuanya tau, mereka tidak akan mengampuninya. Ini lah hidup rina, mengatasi semua masalahnya sendiri dengan caranya sendiri. Entah itu baik atau buruk, ia akan tetap melakukannya.

Huh... Sebenernya kemana gue harus pulang?

🤟🤟🤟

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!