Kemana aku harus pulang?

Kemana aku harus pulang?

MENANTANG BAHAYA

Ting!

Sebuah notifikasi pesan singkat terdengar dari ponsel bercasing biru yang terkapar di atas ranjang. Terlihat sang pemilik datang dengan handuk yang masih melilit rambut basahnya. Tak ingin membuka pesan yang baru masuk tersebut, dirinya langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Beberapa menit berselang, gadis berambut panjang sepinggang itu telah siap dengan seragam putih abu-abu nya. Bibir nya yang tipis terlihat berwarna pink sebab lip balm rasa strawberry yang digunakan. Tak lupa juga ia menggunakan skin care lengkap untuk menghilangkan jerawat yang tumbuh di kedua pipinya.

Sekarang dirinya menatap kaca, senyum lebar itu tak kunjung pudar dari kemarin malam. Ia meraba pipinya yang tiba-tiba hangat, seketika wajahnya berubah merah seperti tomat rebus karena mengingat kencannya semalam. Masih dengan senyuman, dirinya memukul pelan kepalanya dan menyadari kekonyolannya pagi ini. Tanpa berlama-lama lagi di depan cermin, gadis kecil berusia 18 tahun itu mengambil kunci motor, ponsel dan tasnya. Sebelum berangkat, ia menyempatkan diri untuk mengecek ponsel yang sedari bangun tadi ia anggurin.

'Rin, untuk saat ini hubungan kita udahan dulu ya. Maaf udah buat kamu kecewa, maaf belum bisa ngertiin kamu dengan baik. Terima kasih untuk semua yang telah kamu berikan untuk aku. Sekali lagi maaf belum bisa bahagiain kamu. aku harap kamu bisa maklumi keputusanku, bye rina.'

Deg!

Tetes demi tetes bulir bening mulai mengalir di kedua pipi rina, rasa terkejut, marah dan juga kecewa bercampur aduk menjadi satu. Apalagi saat mengetahui rizal juga memblokir nomornya. Bagaimana rizal, kekasih yang amat ia cintai bisa tega melakukan ini padanya. Tanpa ada komunikasi, tanpa ada persetujuan, rizal telah memutuskan hubungan diantara mereka, padahal kemarin semua masih baik-baik saja.

"Enggak, ini pasti bukan kemauan rizal. Ini pasti ada orang yang nyuruh dia. Gue harus minta penjelasan rizal" Tanpa ba-bi-bu lagi, rina segera menuju halaman rumahnya tanpa pamit kepada sang tante yang melihatnya dari dapur.

"Rin, nggak sarapan dulu? " Teriakan sang tante tidak mendapat jawaban bahkan tidak di hiraukan. Dalam pikirannya hanya satu tujuan, apa alasan rizal memutuskannya.

...***...

Tap tap tap

Derap langkah kaki terdengar jelas berlari menyusuri lorong kelas. Para murid menatap pemilik suara itu dengan heran, bel masuk belum terdengar, tapi kenapa dia begitu terburu-buru? Pikir mereka. Namun semua itu tak di hiraukan oleh rina, sapaan dari kedua sahabatnya yang sudah menunggu di depan kelas pun ia acuhkan. Yang ia fokuskan sekarang hanya satu, penjelasan rizal.

"Rina mau kemana? " Tanya cica kepada desi ketika melihat rina melewati mereka begitu saja. Desi menggeleng tanda tak tahu. "Tapi kelihatannya dia habis nangis deh" Ucap cica kembali dengan lirih. Sedetik kemudian mereka tersadar.

"Jangan-jangan... " Ucapan desi tertahan.

"Ayo! " Mereka berdua mengikuti arah kemana rina pergi. Mereka tau kondisi rina sekarang pasti sedang tidak baik-baik aja. Ciri-ciri khas rina ketika sedang sakit hati sudah mereka hafal, pasalnya ini bukan pertama kali rina seperti ini. Mereka takut kejadian satu tahun lalu akan terulang lagi, melakukan hal nekat yang benar-benar sangat berbahaya.

XII IPS 5 merupakan kelas yang sedang rina tuju. Ia berdiri tegak menatap pintu kelas yang sedikit terbuka, dalam hatinya ia berharap agar rizal berada di kelasnya sehingga dirinya tidak perlu melakukan hal-hal aneh seperti sebelum-sebelumnya.

"Dimana rizal? " Tanya rina dengan aura dingin yang kuat, ia menyapu seluruh isi kelas, tidak ada tanda-tanda rizal di sana. Sekali lagi dirinya bertanya dengan sedikit lebih keras. "Dimana rizal!? "

Semua murid kelas itu terbengong, mereka tau gadis itu sedang emosi berat. Karena itu tidak ada yang berani menjawab, dan sebagian juga nggak tau sih dimana rizal. Ditengah-tengah ketegangan yang ada, tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari belakang rina dengan meneriakkan sesuatu.

"Eh guys, katanya nanti bakal ada tawuran!! "

Deg!

Rizal pasti di situ.

"Dimana titik pertemuannya? " Tanya rina menatap tajam lelaki itu.

"Menurut info, mereka akan bertemu di jalan sepi deket bangunan kosong jalan sakura" Jawab lelaki itu dengan mimik wajah serius.

Tanpa mengatakan apapun, rina segera meninggalkan kelas yang senyap itu. Dirinya yakin jika rizal pasti berada di sana, bukan tanpa alasan rina yakin dengan pemikirannya, sebab rizal merupakan salah satu pemimpin tim sekolah mereka.

"Rin, lo mau kemana? " Hadang cica setelah sekian lama berjuang mencari sahabat keras kepala itu. Mulut rina terkatup, jika dirinya mengatakan pada kedua sahabatnya, kemungkinan besar rencananya akan gagal.

"Jawab rin! " Desak desi yang sudah tidak tahan akan alasan rina karena sudah sering menipunya.

"Gu-gue.... " Rina terbata. Ia bingung, sudah terlalu sering dirinya berbohong, tidak mungkin jika kedua sahabatnya akan percaya begitu saja dengan apa yang ia katakan.

"Jangan bohong lagi rin! " Desi memperingatkan. Sungguh ia sudah lelah dengan semua kebohongan rina yang membuatnya kebingungan tujuh keliling. "Untuk kali ini rin, plis jangan bohong. Gue mohon" Pinta desi berusaha membujuk rina agar jujur padanya.

Rina memejamkan matanya, sudah terlalu sering ia berbohong. Kali ini saat nya mulai berkata jujur, walau kemungkinan sahabatnya tidak akan mengizinkan dirinya pergi ke tempat berbahaya itu.

"Rizal mutusin gue"

"lagi? " Desi dan cica terkejut.

"Tanpa alasan" Ucap rina termenung.

" Rin, menurut gue ini udah nggak ngotak sih. Ini udah ke 3 kalinya lo di putusin, dan dengan mudahnya lo nerima dia balik lagi sama lo. Kalo sampek kali ini lo mau lagi, lo goblok! " Umpat desi bar-bar. Sungguh dirinya kecewa dengan sahabatnya yang terlalu bucin dengan cowok brengsek bernama rizal ini. Semenjak rina kenal rizal di bangku kelas 2, sikapnya menjadi aneh. Gampang di bohongi, sering nangis dan mudah di kontrol, terutama oleh rizal.

"Iya rin, dia udah nyakitin lo berkali-kali. Nggak capek apa harus ngalah mulu" Cica menasehati dengan lebih halus. Jujur dirinya sangat ingin menampar cowok sok kecakepan bernama rizal itu. Berulang kali cowok itu memutuskan hubungan dengan rina, dan dengan mudah kembali lagi hadir dalam kehidupan rina.

"Nggak! Sorry guys, tapi gue bakal tetep minta penjelasan ke dia. Dia mutusin gue tanpa alasan yang jelas, dan- dan gue nggak bisa terima itu. " Rina menatap kedua sahabatnya dengan mantap, ia tidak ingin niatnya gagal karena larangan sahabatnya.

"Lo gila rin!? Ini tawuran. Kalo lo sampek nyusul si rizal brengsek itu, sama aja lo nantang bahaya tau nggak. " Ujar desi berusaha menyadarkan rina. "Sekarang mending kita ke kelas, lupain rencana konyol lo itu." Desi menggapai tangan rina kemudian mengajaknya pergi ke kelas, namun langkah itu terhenti ketika rina tak mengikutinya.

"Sorry des, gue harus pergi" Rina melepas tautan tangannya. "Gue cinta sama dia" Rina mulai meneteskan air matanya, menghambur pelukan kepada desi yang dengan pengertian mengelus-elus rambutnya.

"Des... " Cica memberi desi tatapan yang susah di artikan, namun desi mengangguk mengerti dengan apa yang cica katakan walau dengan isyarat. Semua akan sulit jika rina sudah menangis, jalan satu-satunya hanya mengizinkannya pergi ke mana rina inginkan.

"Oke." Desi mengurai pelukannya. "Lo boleh pergi, tapi.... " Desi melirik cica. "Gue ikut"

"Iya rin, kita ikut" Cica menimpali.

"Enggak, gue nggak mau hidup kalian dalam bahaya" Tolak rina mentah-mentah. Dirinya tidak mungkin membuat nyawa kedua sahabatnya terancam hanya karena dirinya dan masalah cintanya yang buruk.

"Terus lo mau bahayain diri lo sendiri? Tanpa ada yang mendampingi? "

"Nggak, kalian nggak boleh ikut."

"Menurut lo, kita cuma harus nungguin, sedangkan diri lo dalam bahaya rin. Lo mikir nggak sih? " Ucap desi geram.

"Justru itu gue butuh bantuan kalian" Rina menatap kedua sahabatnya yang sedang kebingungan. "Izinin gue hari ini, kalo gue ketahuan bolos lagi... Bisa di hukum pak budi lagi gue. "

Desi menghembuskan nafas lelah, jika mereka bertiga bolos, siapa yang akan beralasan. Dan sialnya rina telah mendapat peringatan terakhir sebab seringnya ia membolos, jika tidak ingin masuk ke ruang kematian alias ruang BK lagi, mereka harus pintar mencari alasan. Pak budi merupakan guru fisik yang terkenal sangat galak, alasan rina yang selalu membolos di jam ini, karena rina tidak mengerti apapun tentang fisik dan para sekutunya.

"Okey, tapi alasan apa lagi yang harus gue buat? Kata-kata sakit udah nggak mempan kalo sama pak budi." Desi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, begitu juga dengan cica dan rina.

Mereka berpikir keras, sudah terlalu banyak alasan yang mereka gunakan untuk bolos hingga alasan itu tidak bisa di percaya lagi.

KRIIIINGGGG

Suara bel masuk telah berbunyi, para murid berbondong-bodong memasuki kelas karena jam pelajaran akan segera di mulai. Mereka bertiga terkejut, bagaimana bisa bel sudah berbunyi dan mereka masih belum memiliki alasan? Dan jika terlalu lama di sana mereka akan kepergok para guru yang akan berkeliling mengecek keadaan.

"Ah udah deh, terserah apa alasannya. Gue harus kabur sekarang. " Ucap rina tergesa-gesa, mereka panik, jika mereka ketahuan bisa-bisa mereka di hukum dan semua rencananya gagal. Desi dan cica hanya memandang dan harus mengikhlaskan rina pergi memanjat pagar belakang sekolah sendirian. Walaupun mereka ikut, rina akan tetap terancam dengan hukuman di sekolah.

Setelah memastikan rina selamat dalam misi melompat pagar, desi dan cica bergegas masuk kelas untuk memikirkan alasan izin rina, dan tentunya untuk menghindari hukuman telat masuk kelas seperti yang sering mereka lakukan.

Jangan lupa tinggalin jejak ya. 🤟🤟🤟

Terpopuler

Comments

夜空

夜空

keren semangat ta

2023-05-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!