Hatiku rasanya seperti di hujam belati, darah seolah berhenti mengalir, air mata yang sedari tadi aku tahan mati matian, kini sudah menderas. Pengakuan mbak Renata membuat hatiku remuk redam, jantung rasanya enggan untuk berdetak, dan kepala terasa berputar, hingga tak lagi mendengar apapun, gelap dan hening.
"Ra!" terlihat Intan nampak cemas, dia kini tengah berada di sampingku dengan Abian di pangkuannya. Sedangkan mbak Renata yang tadinya duduk di sofa kini beranjak mendekati ranjang dimana aku berbaring.
"Kamu sudah sadar, Ra?
Alhamdulillah, syukurlah!
Minum dulu teh hangatnya, biar kamu agak enakan ya!" Mbak Renata menyodorkan gelas yang berisi teh hangat padaku, wajahnya nampak cemas. Akupun mengambil gelas dari tangannya dan meneguknya sedikit. Ingin sekali aku banyak bertanya tentang hubungannya dengan mas Albin, suamiku yang juga suaminya. Tapi aku masih belum sanggup mengeluarkan satu patah katapun. Kini justru air mataku kembali meleleh tanpa bisa aku tahan.
"Kamu ada masalah, Ra?
Ada apa?
Sepertinya, kamu begitu tertekan!
Maaf bukan maksud mencampuri, tapi saat kita bisa mengeluarkan beban itu, setidaknya rasa sesak itu bisa berkurang!" mbak Renata kembali mengeluarkan suaranya, tangannya menggenggam lembut jemari ini.
"Ah seandainya kamu tau, mbak!
Jika suami kita adalah orang yang sama, masih bisakah kamu berkata demikian padaku?" lirihku di dalam hati, bahkan bibir ini tak lagi sanggup mengucapakan kata barang satu kalimat pun.
"Gak papa, mbak!
Gak tau kenapa, aku kok tiba tiba rapuh begini.
Mungkin terlalu kecapean!" sahutku terbata, berusaha menyembunyikan luka hati ini.
Terlihat Intan juga ikut meneteskan air mata, namun buru buru dia sembunyikan dengan pura pura memeluk Abian.
"Sebaiknya kamu istirahat dulu disini, Ra!
Sampai keadaan kamu tenang, dan membaik!" sahut mbak Renata dengan ramahnya.
"Aku gak mau ngerepotin mbak Renata. Biar nanti aku pulang saja sama Intan. Takut suami dirumah nungguin." sahutku mencari alasan. Sambil terus berusaha untuk menguasai diri agar bisa bersikap biasa saja. Agar saat bertanya tentang mas Albin, Mbak Renata gak curiga.
"Tapi setidaknya kamu istirahat dulu sebentar, biar agak enakan dulu." sahut mbak Renata yang tetap memaksaku untuk tinggal sebentar saja.
"Maafin saya, mbak!
Sudah bikin acara berantakan." jawabku merasa tidak enak, acara yang harusnya disambut dengan suka cita, justru disuguhkan dengan drama pingsan ku yang tiba-tiba.
"Gak papa, insyaallah semua pada paham.
Lagian kan, uang nya arisan juga sudah pada kumpul, dan yang narik juga sudah pasti, ya tinggal transfer saja sih, sama makan makan.
Sekarang giliran kamu yang makan ya?
Biar aku ambilin dulu, tadi aku bikin bubur buat kamu!" sahutnya ramah dengan senyuman hangat.
saat mbak Renata sudah pergi keluar dari kamar, Intan menatapku sayu, terlihat kalau sahabatku itu juga memahami seperti apa yang kini kurasakan.
"Ra, sabar ya!
Kita cari tau dulu, seperti apa kebenarannya.
Baru pikirkan langkah selanjutnya." Intan bertahan menenangkan hati ini, namun entah kenapa, hatiku malah semakin sakit. Mengingat, mas Albin punya perempuan lain.
"Ini buburnya, yuk dimakan dulu. Atau mau aku siapin?" mbak Renata datang dengan membawa mangkok ditangannya yang berisi bubur ayam buatannya.
Aku menerimanya dengan setengah hati.
karena bagaimanapun, mbak Renata juga belum tau apa yang sebenarnya terjadi.
Saat aku yang mati matian berjuang untuk menguasai hati ini, memaksa agar bubur masuk ke mulut. Terdengar Intan menanyakan sesuatu yang mewakili otak ini., pada mbak Renata.
"Anak anak mbak pada kemana, kok dari tadi tidak ada kelihatan?" Intan menggenggam jemariku erat.
"Anak anak lagi nginap di rumah neneknya. Biasanya minggu sore baru diantar lagi kesini!" sahutnya jujur apa adanya.
"Umur nya sudah berapa saja mereka, sudah besar besar ya?" sahut intan yang mulai berani bertanya banyak hal pada mbak Renata.
"Bintang tujuh tahun dan Bulan baru lima tahun!" sahut mbak Renata dengan senyuman hangat terukir di wajah cantiknya.
Sedangkan aku dan Intan, saling melempar pandang, mungkin apa yang kami pikirkan tidak beda jauh. Kalau Anak sulungnya usia tujuh tahun, berarti ada dua kemungkinan, mas Albin menikahi mbak Renata yang sudah janda anak satu, atau mereka nikahnya lebih dulu. Kalau memang begitu, aku bisa dituduh perebut suami orang. Aaargh memikirkannya pun kepalaku sampai mau pecah.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Ternyata Aku Yang Kedua
Novel on going :
#Wanita sebatang kara
#Ganti Istri
Novel Tamat :
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Hanipah Fitri
masih nyimak
2023-08-16
2