Hukuman potong rumput sudah selesai. Jam sekolah pun telah berakhir. Kebanyakan murid sudah pulang. Hanya ada segelintir siswa-siswi yang masih berada di gedung tak terawat tersebut.
Tristan meneguk minuman bersodanya dengan pandangan lurus keluar jendela. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore tapi ia dan teman-temannya masih setia di dalam warung makan kecil bersebelahan dengan gedung sekolah mereka.
Hampir tiap hari mereka nongkrong di situ. Bolos pun mereka bakalan ke situ. Warung ini jauh lebih tenang dari kantin sekolah mereka yang padat. Jarang sekali murid yang datang ke sini. Mungkin karena warung tersebut tidak begitu enak di pandang. Namun, warung makan ini sudah jadi tempat kumpul Tristan dan kawan-kawannya semenjak sekolah di sekolah kumuh ini.
Sekolah kumuh?
Bagi cowok-cowok sekelas Tristan dan teman-temannya, sekolah itu memang sudah tidak layak dibilang sekolah lagi kalau dilihat dari penampakan gedungnya yang sangat amat kumuh dan jelek. Bagaimana dengan murid-muridnya? Kebanyakan dari para murid nggak selevel sama mereka. Sekolah boleh sama, tapi latar belakang mereka sangat berbeda. Keempat cowok itu berasal dari latarbelakang keluarga kaya, dan di sekolah ini banyak yang takut berbuat macam-macam sama mereka.
Kebanyakan murid di sekolah itu memang berasal dari masyarakat kelas bawah. Kalaupun ada murid kaya, pasti karena mereka murid pindahan yang punya segudang masalah dari sekolah lama mereka. Itulah kenapa sekolah itu pun terkenal sebagai sekolah buangan yang di dalamnya terdapat beberapa murid-murid dari anak orang kaya yang nakal dan sangat susah diatur.
Pandangan Tristan berhenti pada sosok gadis yang tengah duduk di halte depan warung. Dahinya berkerut samar, ia kenal gadis itu. Kalau tidak salah ingat namanya Fair. Gadis yang sudah dua hari berturut-turut ini selalu dia lihat.
Pandangannya tetap tidak beralih dari gadis itu.
Ngapain tuh cewek masih berkeliaran di sekitaran sekolah jam segini? Sendirian lagi. Rasa penasaran menghinggapi kepalanya.
Kali ini gadis yang bernama Fair itu menatap ke kanan kiri sambil sesekali menunduk menatap kertas ditangannya dengan wajah kebingungan dan mengerucutkan bibir. Tristan terus mengamati gerak-gerik gadis itu. Sesekali bibirnya terangkat karena merasa lucu dengan tingkah bodoh yang dilakukan gadis itu.
Sekarang gadis itu berdiri. Matanya menatap lurus kedepan ke arah warung yang sedang mereka tempati. Gadis itu keliatan seperti memantapkan hatinya menyeberang jalan dan melangkah memasuki warung yang saat ini di dalamnya ada mereka. Tristan sangat yakin tuh cewek akan masuk warung ini.
1 menit ...
2 menit ...
3 menit ...
4 menit ...
Gadis bernama Fair itu akhirnya muncul didepan pintu warung. Yang tersisa di dalam hanyalah kelompok Tristan dan sang pemilik warung tersebut. Empat cowok itu sama-sama menatap kedatangan gadis itu. Dan Fair yang tadinya bersemangat berubah ciut begitu menyadari keberadaan kelompok menakutkan yang kebetulan adalah kakak kelasnya berada dalam warung tersebut.
Gimana nggak ciut coba kalau tatapan mereka semua nakutin begitu. Kayak mau memangsanya saja.
"Lah, tuh bocah belom pulang?"
seru Kiffly ke teman-temannya tapi pandangannya lurus ke depan menatap Fair.
Gadis itu berusaha menutupi ketakutannya. Ia teringat maksudnya datang ke warung itu. Pandangannya berpindah ke seorang bapak tua yang berdiri tak jauh dari situ. Kakinya dengan cepat melangkah mendekati bapak itu. Tak menghiraukan tatapan-tatapan tajam para cowok beringas.
"Pak, boleh nanya nggak?" tanyanya ke sih bapak pemilik warung. Namanya pak Toni.
"Nanya apaan neng?"
Fair lalu menunjukkan kertas ditangannya ke pak Toni.
"Bapak tahu arah jalan rumah ini nggak?"
pak Toni melihat kertas yang ditunjukkan Fair dengan kerutan di dahinya. Kertas itu berisi garis-garis beserta gambar rumah asal-asalan yang tidak jelas. Kalau menurut pak Toni sih itu hanya coretan-coretan yang nggak jelas. Nggak bisa dijadiin acuan buat cari arah jalan rumah kayak yang dimaksud oleh gadis didepannya ini.
"Aduh neng, bapak nggak ngerti kalo gambarnya nggak jelas begini," jawab pak Toni sambil menggaruk kepala, membuat Fair menunduk pasrah.
"Emang neng mau ke rumah ini?" tanya bapak berkepala botak itu lagi. Fair mengangguk lemah. Sesaat ia lupa kalau di dalam warung kecil itu masih ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya sejak tadi. Bodoh ah, yang penting ia bisa pulang. Tapi gimana caranya pulang kalo tempat tinggalnya saja dia lupa. Gadis itu kembali berpikir keras sambil menatap lurus ke kertas ditangannya.
"Ini rumahnya siapa emang? Temannya?" pak Toni bertanya lagi. Fair mengangkat wajahnya menatap pak tua itu
"Aku. Hehe, jadi aku lupa di mana alamat tempat tinggal aku." jawabnya cengengesan.
LOL
Pak Toni garuk-garuk kepala menatap Fair heran. Ternyata tampang secantik ini nggak selalu pinter. Pikirnya kasian. Tuhan memang adil.
"Puffttt."
Gino dan Kiffly tertawa dari tempat duduk mereka, sedang Tristan dan Kellen hanya tersenyum tipis. Sejak tadi mereka mendengar pembicaraan pak Toni dan Fair. Mereka menertawai kebodohan gadis itu. Nggak masuk akal banget. Masa ia lupa jalan ke rumahnya sendiri sih. Amnesia?
Tanpa aba-aba Kiffly berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Fair dan pak Toni. Kasian juga tuh cewek lama-lama menurutnya. Cewek kayak adek kelas mereka ini perlu dibantu menurutnya. Dari awal mereka bertemu, otaknya memang di bawah rata-rata.
"Sini gue liat kertas lo," katanya merampas kertas dari tangan Fair tanpa ijin.
Lumayan lama cowok itu mengamati kertas itu sampai akhirnya terdengar tawa keras dari mulutnya.
"Ini yang gambar siapa?" tanyanya dengan tawa tertahan menatap gadis itu.
"Aku." jawab gadis itu polos. Ia heran apa yang lucu sampai kakak kelasnya itu tertawa.
Kali ini Kiffly menganga lebar menatap gadis itu. Ini pertama kalinya ada cewek yang membuatnya tertawa ngakak seperti sekarang. Gara-gara masalah gambar doang.
"Lo gambar arah jalan rumah lo sendiri?"
Lagi-lagi Fair mengangguk polos.
"Kakak beneran nggak bisa ngerti gambar itu dan jelasin arahnya ke aku gitu?" tanyanya polos dengan ekspresi penuh harap. Kiffly tertawa pelan menatap gadis itu. Sungguh bodoh. Gumamnya dalam hati.
Ia terus menatap Fair. Tampangnya kasian juga sih. Ini juga udah mau malam tapi adik kelasnya ini masih sibuk nyari-nyari alamat rumahnya sendiri. Lucu tapi kasian.
"Ikut gue," cowok itu tiba-tiba menarik tangan Fair dan membawanya ke tempat sahabat-sahabatnya yang sedang duduk.
Fair hanya pasrah dan menunduk takut-takut pada Tristan, Kellen dan Gino yang terus menatapnya.
"Lo bertiga ada yang bisa ngerti nih gambar gak? Katanya sih ini alamat rumahnya dia." Kiffly menyodorkan kertas Fair ke arah tiga cowok itu. Gambar itu berhasil membuat Gino dan Kellen tertawa sedang Tristan tetap memasang wajah datarnya meski sebenarnya dalam hati ia tertawa juga. Sok cool banget tuh cowok bener-bener deh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
αℓҽყα🦋
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣 astagaaa kak maejer emnk GK prnh gagal buat cerita 🤣🤣🤣🤣🤣
2024-11-16
0
🔵🎀🆃🅸🅰🆁🅰❀∂я 👥️
perutku rasanya kram ngakak mulu 🤣🤣🤣
2024-10-27
0
Ari Nuryanti
lha piye tow fair kok bisa lupa
2024-09-12
0