Dan sedang menonton film kartun kesukaannya ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Dia mengambil ponselnya yang terletak dimeja, lalu memeriksa siapa yang datang.
Melihat wajah kakak laki-lakinya, dia mengganti channel dan langsung berdiri untuk membukakan pintu.
"Kamu belum siap? Apa aku harus menyeretmu dengan pakaian seperti ini?"
Dan tidak menjawab, dia langsung masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti baju. Tatapan matanya sangat dingin saat melihat pantulan dirinya sendiri di kaca. Namun ketika dia berjalan kembali ke ruang tamu, sorot matanya kembali seperti biasa. Canggung dan terkesan kaku dihadapan kakaknya.
"Tunangan bodohmu akan hadir, aku harap dia tidak membuat masalah dihadapan ayah." kata Kenzie setengah mengejek.
Kenzie sengaja datang menjemput Dan bukan karena keinginannya. Melainkan permintaan ayah mereka. Karena anggapan orang tua mereka, hanya Kenzie yang bisa membujuknya.
Ini adalah acara makan malam yang diadakan atas perintah ayah mereka. Sejak semuanya tinggal terpisah dengan alasan ingin mandiri, sesekali mereka akan berkumpul seperti ini setiap bulannya.
Rumah megah dengan tanah yang luas, dikelilingin berbagai fasilitas termasuk landasan untuk jet pribadi. Pada dasarnya, Dan menyukai rumah ini. Namun dia tidak menyukai orang-orangnya. Karena itu, ketika dia mulai bekerja, dia memutuskan untuk tinggal terpisah dengan alasan itu.
"Kalian sudah datang? Dan, apa kabarmu akhir-akhir ini baik?"
Ayahnya langsung berdiri dari kursinya ketika mereka masuk. Langsung memeluk Dan, lalu mengusap punggungnya dan membawa Dan untuk duduk di sampingnya. Sesuatu yang tidak ia lakukan pada anak-anaknya yang lain.
Hal yang sudah biasa mereka lihat sehari-hari. Semua hanya akan diam dan duduk ditempatnya masing-masing.
"Aku dengar kamu sedang melakukan proyek besar. Apa kamu butuh bantuan tenaga dari pusat?" tanya ayahnya.
"Mungkin, saya belum tahu."
"Ken, segera siapkan orang. Jangan sampai proyek itu terganggu hanya karena kekurangan orang."
"Baik, Ayah."
Meski Kenzie tersenyum dan terlihat tenang, tangan yang berada di atas lulutnya mengepal dengan kuat.
"Jenny, bagaimana dengan butikmu? Aku dengar kamu mengalami kerugian karena tertipu."
Jenny adalah kakak perempuan Dan, dia ccenderung cuek dan tidak peduli pada apapun yang terjadi dalam keluarganya.
"Ya, masih bisa diatasi." jawab Jenny.
"Kamu ditipu?" kaget ibunya.
"Bukan masalah besar..."
"Meski begitu harusnya kamu meminta bantuan jika kesulitan, Jenny. Kamu sudah mengambil langkah hukum?" akhirnya ayah mereka memberikan atensi pada yang lain.
"Saya akan segera melakukannya, Ayah." jawab Jenny.
"Permisi... Maaf saya terlambat. Tadi ada sesuatu yang terjadi ditengah perjalanan."
Kedatangan Aurel mengganggu pembicaraan itu. Wanita itu datang dengan pakaian sangat mahal dan dandanan seperti akan ke pesta.
Kenzie memberikan pandangan menghina seperti biasa, dia memang tidak menyukai Aurel. Jenny tidak merespon apapun, melihatpun tidak.
"Tidak apa-apa Nak Aurel, ayo duduk disamping tante."
Nora tersenyum lebar dan langsung menyambut Aurel.
"Selamat malam, Om. Sekali lagi Aurel minta maaf."
"Duduklah, kami juga belum mulai makan." jawab ayah Dan seadanya. "Nah, karena semua telah berkumpul, ayo mulai makan." lanjutnya.
Hanya percakapan-percakapan ringan yang terdengar. Seluruhnya didominasi oleh pembicaraan tentang bisnis. Terkadang, ibu Dan memancing Aurel berbicara agar atensi suami dan Dan sendiri tertuju padanya.
"Aku dengar ayahmu maju dalam pemilihan Gubernur kali ini. Kalau butuh bantuan katakan saja. Kamu akan bertunangan dengan Dan sebentar lagi, jadi jangan sungkan." ujar ibu Dan.
"Ibu, kita harus berhati-hati untuk tidak menonjol dalam politik. Kita tidak harus menceburkan diri pada hal yang belum pasti. Masih ada kemungkinan partai itu tidak memilih Pak Surya." sela Kenzie.
Ibu Dan langsung menatapnya tidak suka. Kesal karena Kenzie lagi-lagi mengacaukan rencananya.
"Saya sudah selesai. Ayah, saya akan pergi terlebih dahulu."
Dan berdiri dengan cepat, tapi dengan cepat pula ayahnya menahannya.
"Tunggu sebentar, Dan. Ada yang ingin Ayah bicarakan. Bisakah kita pergi ke perpustakaan kesukaanmu?"
Dan mengangguk, lalu pergi duluan bersama ayahnya. Meninggalkan meja makan yang langsung berubah jadi suram.
"Lihatlah apa yang kamu lakukan. Kamu menyakiti tunangan Dan hingga dia marah." tuduh Nora pada Kenzie.
"Menyakiti apanya, itu fakta. Lagi pula dia pergi bukan karena marah. Ibu tahu sendiri dia tidak pernah marah padaku. Apalagi demi wanita yang bahkan tidak pernah ia sebut sekalipun dari mulutnya."
"Saya juga selesai, saya akan pergi duluan. Selamat malam Ibu." kata Jenny.
Menghentikan ocehan yang akan terlontar dari mulut ibunya. Kenzie menyeringai menyadari bahwa Jenny tidak ingin mendengar pertengkaran.
"Saya juga selesai, sampai jumpa, Ibu."
Kenzie ikut berdiri. Fakta bahwa keduanya mengabaikan keberadaan Aurel disana lebih membuat Nora frustasi.
"Maaf ya, Aurel. Kamu bisa pulang sekarang kan? Sepertinya Dan juga akan lama berbicara dengan ayahnya. Tolong pahami anak-anak Tante, mereka memang begitu."
"Tidak apa-apa, Tante. Aurel juga datang bersama supir jadi tidak masalah."
Basa basi untuk menghindari tidak enak hati. Padahal keduanya tahu bahwa kakak-kakak Dan tidak menyukai Aurel. Begitu juga tentang perkataan Nora tentang Dan akan lama dengan kakeknya. Bukan karena Dan akan lama, tapi karena mereka tahu Dan tidak akan peduli pada Aurel. Pria itu akan mengabaikannya bahkan jika ibunya sendiri yang meminta untuk mengantarkan Aurel pulang. Dia tidak akan melakukannya.
Sementara itu, di dalam perpustakaan. Dan berdiri di depan jendela ketika ayahnya masuk.
"Sebenarnya hal ini telah lama ingin Ayah bicarakan. Ini tentang calon tunanganmu. Apa kamu tidak menyukainya?"
Seperti biasa, Dan tidak menjawab dengan mulutnya untuk pertanyaan seperti itu. Dia hanya mengangguk sekali.
"Sudahku duga, ibumu berteman dengan ibunya. Sampai-sampai merencanakan hal konyol seperti ini. Tapi, dari segi latar belakang Aurel tidak begitu buruk. Atau kamu punya gadis lain yang kamu sukai? Ayah dengar kamu punya pacar baru."
Dan tidak menjawab, dia hanya menatap ayahnya. Ekspresi yang menunjukkan ketidak sukaan atas pernyataan barusan. Padahal Dan tahu ayahnya yang paling memahami arti sebenarnya perilakunya yang memiliki banyak pacar dengan kepribadiannya yang seperti ini.
"Bukan juga, ya. Lalu apa yang akan kamu lakukan? Tetap menikah dengannya atau tidak? Kamu tahu kan, Ayah tidak akan mencampuri hal-hal seperti ini. Kamu bisa menggagalkannya sendiri. Meski ibumu mungkin akan sangat kecewa."
.
Dan mengetuk-ngetukkan jarinya dimeja. Heri yang melihat tingkah tidak biasanya bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi pada bos nya itu.
Pintu terbuka setelah diketuk dua kali. Sakura masuk dengan membawa nampan. Tas ransel kecil tergantung dibelakang punggungnya seperti biasa. Dia terlambat datang seperti karena harus mengantri untuk pesanan Dan.
Namun kali ini bukan hanya Heri, Sakura juga merasakan hal aneh ketika melihat perilaku Dan pagi ini. Dia terus saja menatap Sakura yang baru saja tiba.
.
Ada apa dengannya pagi ini?
"Apa ada yang Anda inginkan lagi, Pak?"
Lihatlah, dia hanya menatapku tampa menjawab. Apa ada yang aneh pada penampilanku?
Tidak tahulah, diam saja dan menunggu seperti biasanya. Toh pekerjaan utamaku adalah mengusir serangga. Karena serangganya belum datang jadi saatnya main game.
"Ehem! Sakura."
"Kenapa?"
Ini kenapa lagi dengan pria ini, kenapa mereka tidak mulai bekerja dan malah menatapku juga?
.
Heri memintanya berdiri lagi ketika dia duduk di ujung sofa. Dia menoleh pada Dan yang sama sekali belum menyentuh sarapannya.
"Ada sesuatu yang kamu janjikan padaku."
Sakura lagi-lagi ternganga sesaat ketika mendengar suara Dan yang rendah. Pria itu berbicara dengan nada rendah seolah dia sedang berbicara pada dirinya sendiri.
"Janji?"
Sakura langsung berdiri, berjalan ke depan meja Dan lalu berdiri dengan posisi siap.
"Janji." ulang Dan.
Begitu Sakura mengingat perkataannya kemarin, matanya langsung melebar. Keringat dingin langsung keluar begitu saja.
"Oh... I-Iya, Janji itu."
Dan menarik sudut bibirnya, Heri yang sedari tadi memperhatikannya merasakan hal yang tak enak. Ekspresi itu, Heri sangat ingat ketika melihatnya pertama kali saat ia dipecat jadi dosen. Ekspresi licik yang selama ini tersembunyi dari wajah Dan yang datar dan sifatnya yang aneh.
"Sekretaris?"
"Ya, Pak!"
"Minta orang memindahkan barang-barangnya ke apartemen yang satu lantai denganku."
"Ya? Ta-Tapi kita perlu menyewa..."
"Aku sudah beli kemarin."
"Tunggu, apa maksud Anda, Pak Dan?" potong Sakura.
"Pindah, itu permintaanku. Setiap hari masak untukku dan jadi asistenku juga dirumah."
Heri hanya ternganga, berbeda dengan Sakura yang langsung mengeryitkan keningnya, dia hendak protes.
Tapi begitu Dan mengalihkan atensi pada pekerjaan, Sakura tahu tidak ada gunanya dia bicara lagi. Dan sudah pasti akan mengabaikannya.
'Sialan! Harusnya aku tidak membuat janji bodoh seperti itu untuk membujuknya kemarin.'
Sakura hanya bisa mengumpat dalam hati lalu kembali duduk, dia tidak bisa menarin kata-katanya kemarin dan terpaksa mengabulkan permintaan Dan.
Dan lagi-lagi menarik sudut bibirnya. Terlihat senang rencananya berjalan mulus. Heri yang melihatnya hanya berdoa untuk kebaikan Sakura. Sudah pasti dia akan direpotkan lebih jauh lagi.
'Pasti ada rencana licik yang sedang ia pikirkan.' kata Heri dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments