Memeluk Rindu
Bab. 4
“Ceraikan Danny.” Mayang berkata pada suatu hari setelah kecelakaan menimpa Danny, sampai membuat Danny terbaring koma.
Sara terkejut. Mengapa bukan Danny yang meminta hal itu darinya. Malah Mayang, ibu mertuanya sendiri. Memang Danny tidak mencintainya, tapi setidaknya Danny sendirilah yang harus mengatakan hal itu.
“Juga, Tante mohon, kembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Danny. Kami sekeluarga sudah berbaik hati menampung kamu, membesarkan kamu, menyekolahkan kamu. Tidak cukupkah semua itu? Kenapa kamu juga harus merebut apa yang seharusnya menjadi milik Danny?” Teramat menohok kalimat yang diucapkan Mayang. Membuat Sara menelan ludahnya kelat.
Jika ditanya, Sara juga tidak menginginkan hal itu terjadi. Mengapa juga seluruh aset keluarga Dharmendra harus dialihkan atas namanya. Yang membuat Danny justru membencinya.
Jayadi Dharmendra, pria baik hati yang menolongnya, membawanya keluar dari kemalangan itu bahkan tidak meminta persetujuannya terlebih dahulu terkait pengalihan hak kepemilikan.
“Baik, Tante.” Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut. Demi Danny juga ia melakukan semua ini.
“Satu lagi Tante minta darimu.”
Sara menghela napas dalam-dalam. Ia menunduk, menunggu apa yang hendak diminta oleh Mayang. Padahal bukan salahnya jika mendiang Jayadi malah memberikan kekayaan keluarga Dharmendra kepadanya. Bukan memberikan sebetulnya, tetapi menitipkan.
Danny, putra tunggal yang akan mewarisi kekayaan itu malah tak peduli. Hari-hari Danny dihabiskan hanya untuk bersenang-senang ketimbang membantu mengelola usaha keluarganya. Danny bahkan terkesan tak peduli. Kesehariannya hanya untuk berfoya-foya dan bermain wanita.
Kesal, serta untuk memberi efek jera kepada Danny, Jayadi pun mengalihkan seluruh kepemilikan Venus Hotel atas nama Sara. Jika Danny ingin mendapatkan kembali Venus Hotel, maka ia harus menuruti permintaan mendiang ayahnya itu. Yaitu dijodohkan dan menikah dengan Sara.
Danny menolak keras kala itu. Namun Mayang, terus membujuknya, mempengaruhi pikirannya sampai timbullah kebencian Danny terhadap Sara. Mayang yang tak rela gadis pungut itu mewarisi kekayaan Dharmendra, berusaha mencari cara untuk bisa mengambil kembali apa yang menjadi miliknya itu dari tangan Sara.
“Tinggalkan rumah kami.”
Sara menghembuskan napasnya panjang sembari memegangi dadanya yang terasa nyeri saat teringat kembali perbincangannya dengan Mayang.
Beruntung Mayang masih sedikit berbelas kasih kepadanya dengan memberinya sedikit uang untuk biaya hidupnya seorang diri di kota ini.
Dengan uang itu ia menyewa sebuah kontrakan kecil yang ia huni bersama seorang wanita tua yang ia temui terlunta-lunta di jalanan. Lantas ia tolong dan ia beri tumpangan. Dengan upah kerjanya, ia juga bisa memberi makan wanita tua tersebut.
Sara tersenyum kecut mengingat hal itu. Terasa perih hatinya kini.
Namun entah mengapa tak semudah itu ia bisa melupakan dan menghapus perasaannya untuk Danny. Menyukainya sejak lama, bahkan mencintainya dalam diam tak lantas membuat perjalanan cintanya mulus walau hatinya tulus.
Keberuntungan berpihak kepadanya ketika mendiang Jayadi menjodohkannya dengan Danny. Tetapi keberuntungan itu tidak bertahan lama. Nyatanya kini ia harus mengubur dalam-dalam perasaannya terhadap Danny. Melupakannya, lalu pergi menghilang. Toh, perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan.
“Semangat Sara. Nasibmu ternyata tidak seberuntung itu.” Sara hanya bisa menyemangati dirinya sendiri. Lambat laun, seiring bergulirnya waktu, ia yakin semua akan baik-baik saja.
***
Sore harinya Sara menukar tugasnya mendistribusikan makanan ke pasien VIP dengan salah seorang rekan kerjanya. Hal itu ia lakukan demi menghindari bertemu Danny. Karena Danny sangat benci melihat wajahnya.
Bukan sekali, selama Danny masih dirawat Sara sangat menghindari bertemu dengan pria itu. Ia cukup sadar diri bahwa kehadirannya tidak diinginkan. Baik dalam keluarga itu maupun dalam kehidupan Danny sendiri. Maka menjauh adalah jalan terbaik yang harus ditempuhnya.
Biarlah Danny menjalankan kehidupan barunya tanpa kehadirannya di sisi pria itu. Ia akan merelakan cintanya, mengubur perasaannya sedalam mungkin.
“Aku pulang.” Ia berujar sembari mendorong daun pintu sebuah rumah kecil yang hanya memiliki satu kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur yang menyatu dengan ruang makan. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya sore itu, lalu pulang dengan berjalan kaki. Karena kebetulan jarak rumah kontrakannya dengan rumah sakit tidak terlalu jauh.
“Oma? Oma lagi masak apa?” tanyanya memasuki dapur. Menaruh tas selempangnya lantas menghampiri Oma Widya. Wanita tua yang ia beri pertolongan, menampungnya serta memperlakukannya seperti keluarga sendiri.
“Oma bikin sup buat kamu. Kamu pasti belum makan kan?” Oma Widya tersenyum sembari mengaduk sup yang mulai menguarkan aroma khas wangi sup. Setelah matang, Oma Widya menuangkan sup itu ke dalam mangkuk. Kemudian membawanya ke meja makan yang berjarak cukup dekat.
Disusul oleh Sara. Mengambil duduk di sebelah Oma Widya. Meja makan itu hanya memiliki dua kursi.
“Supnya pasti enak. Aromanya saja sudah menggugah selera,” ujar Sara semringah.
“Ayo, makan. Kamu sudah lapar kan?” Oma Widya menyendok nasi, mengisi piring kosong Sara. Lantas menaruh piring tersebut di depan Sara.
“Loh, Oma tidak ikut makan?”
Oma Widya tersenyum, menatap Sara dengan berbinar. Ada perasaan haru menyeruak setiap kali melihat Sara. Gadis muda yang hidup sebatang kara. Padahal ia bukan siapa-siapa, tapi Sara dengan tulus hati menolongnya. Menampungnya, merawatnya, memberinya makan, bahkan memperlakukannya seperti keluarga sendiri. Beribu-ribu terima kasih terucap dalam hatinya karena Tuhan telah mempertemukannya dengan gadis seperti Sara.
“Oma sudah kenyang, Nak. Melihat kamu senang saja, Oma sudah cukup kenyang,” ujar Oma Widya.
“Oma ...” Sembari tersenyum Sara mengulurkan tangan. Meraih jemari Oma Widya ke dalam genggamannya. Menggenggam jemari keriput itu dengan kehangatan.
“Walaupun Oma sudah kenyang, Oma harus tetap makan. Aku tidak mau kalau sampai Oma sakit. Di dunia ini, hanya Oma yang aku miliki. Aku tidak punya siapapun lagi selain Oma. Jadi, Oma ikut makan bersamaku ya?” ujarnya penuh kasih.
Oma Widya pun mengangguk pelan. Lalu mengambil satu piring, mengisi piring tersebut dengan nasi dan sup buatannya. Dengan lahapnya mereka menyantap makanan itu ditemani obrolan santai sore itu.
Ada rasa syukur di hati Sara ketika Tuhan mempertemukannya dengan Oma Widya yang kala itu terlunta-lunta di jalanan, tak punya arah dan tujuan. Hatinya tergerak, merasa iba dengan wanita tua tersebut. Walaupun tidak mengenalnya, tetapi ia yakin jika Oma Widya adalah orang yang baik. Dan kini hanya Oma Widya lah yang menjadi teman dikala senang maupun sedihnya. Oma Widya menjadi temannya berbagi suka maupun dukanya.
Sementara di lain tempat.
Duduk bersandar punggung di kepala tempat tidur, pikiran Danny mengelana. Antara mimpi yang dialaminya dan realita kehidupan rumah tangganya dengan Sara.
Ada kelegaan karena akhirnya pernikahan yang tak pernah diinginkannya itu berakhir.
Namun entah mengapa malah ada perasaan lain yang menelusup diam-diam ke dalam hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa kehilangan jika mengingat kembali kenangan saat bersama Sara dahulu, sebelum pernikahan itu terjadi. Ketika mereka masih duduk di bangku sekolah.
Sara selalu ada untuknya, membantunya melayaninya, ikut ke manapun ia berjalan. Sara itu seperti bayangannya. Walau terkadang ia muak saat itu, tetapi tak memungkiri, ia butuh Sara di sampingnya.
Dan kini, Sara tak lagi berada di sampingnya, menghilang dari bayangannya. Diam-diam pun ia merasa kehilangan, namun memungkirinya. Sebab Sara tak seperti wanita yang diinginkannya. Yang memiliki kriteria minimal seperti Tania. Cantik, modis, anggun, cerdas. Paling tidak, wanita dengan kriteria seperti itu tidak akan membuatnya malu.
“Danny ...”
Lamunannya pun buyar seiring terdengarnya decitan pintu terbuka, disusul suara Mayang memasuki ruang rawatnya.
“Kata dokter besok kamu sudah boleh pulang,” ucap Mayang sembari mendudukkan diri di tepian tempat tidur.
“Sara sudah mengembalikan hakmu. Pengacara keluarga kita baru saja memberikan berkas ini ke Mama,” tambahnya sembari menaruh sebuah map di pangkuan Danny.
Tak ada tanggapan apa pun dari Danny. Ia masih membisu, memandangi map di pangkuan. Namun di pelupuk matanya terbayang-bayang wajah Sara.
“Benarkah kita sudah berpisah, Sara?” gumamnya lirih dengan wajah sendu.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Titik Kedua
1🌹 dan iklan untuk Sara, Kak. Sudah subs juga. Nyicil sampai sini dulu ya, Kak. Ceritanya bikin greget😡😭
2024-09-26
0
Titik Kedua
Iyalah pisah. Mikir, nggak anak, ibu, sama aja.😡
2024-09-26
0
Mur Wati
cantik tp minus akhlak tidur sama suami orang mau😡😡
2024-02-15
0