Interrupt

Percintaan mereka yang disembunyikan. Membuat Baskara merasakan cintanya  menjadi sangat menggebu-gebu.

Mereka tidak bisa bebas mengekspresikan cinta mereka. Memicu adrenalin karena takut ketahuan. Terutama saat kedua orang tua Baskara di rumah.

Keindahan cinta mereka terusik.  Saat  ayahnya ingin ditemani tidur oleh Sekar. Baskara tidak dapat menyentuh Sekar  dan membuat nyaris seperti orang gila. Kerinduannya menggila. Jiwanya menggema memanggil Sekar.

Keinginan ayahnya seperti petir yang menggelegar saat hujan deras. Memporak-porandakan yang ada. Bagai angin ****** beliung yang menyapu semua yang ada di hadapannya. Menggulung habis semuanya.

Ayahnya mengangkat suaranya ketika mereka sarapan pagi bersama.

“Aku ingin nanti malam Sekar menemaniku tidur. Aku merindukannya.” Ujar Ayahnya.

Sekar menahan laju sendoknya. Tertahan di udara. Baskara terhenyak kaget mendengar perkataan ayahnya.

“Tapi Sekar tidak dapat istirahat. Kalau terus berada di samping ayah.” Ujarnya.

“Aku tidak akan mengganggunya tidur. Hanya memeluknya. Masak aku tidak boleh memeluk istriku sendiri?”

“Kapan giliran ibu. Kalau Sekar dua puluh empat jam bersama ayah.”

“Ibumu lebih suka tidur sendiri. Kau tanya saja ibumu. Tidak suka kupeluk.”

“Kita sudah tidak muda lagi. Gerah dipeluk olehmu.”Sahut ibunya, “Sudah tidak ada madu di antara kita.”

“Tetap saja suami istri harus menyempatkan diri tidur bersama. Seranjang.” Ujar Baskara.

“Tidak perlu setiap hari. Sesekali saja.” Ujar ayahnya. Ada nada enggan di dalam suaranya.

“Yeah.” Sahut ibunya, “Sekali setahun mungkin. Aku merindukan tempat tidurku.”

“Sekali setahun? Bu! Kau tidak boleh seperti itu kepada ayah.”

“Baiklah, sekali sebulan.”

“Dua hari sekali biar adil.”Tukas Baskara.

“No! Sekali atau dua bulan sekali.” Tukas ibunya.

“Tidak usah sama sekali!” Sahut ayahnya tersinggung, “Sekar bisa menemaniku setiap saat. Aku berjanji tidak akan mengganggu tidur malamnya.”

“Tapi yah....”

“End of discussion.” Ujar ayahnya tak mau didebat.

Baskara memandang kedua orang tuanya frustasi. Dirinya memutar otak menemukan cara  merebut Sekar dari ayahnya. Tetapi nihil. Justru Sekar yang direnggut ayahnya dari sisinya.

Hari-hari berlalu. Baskara menatap Sekar nelangsa. Ayahnya tidak mau melepaskan Sekar dari sisinya.

Baskara berusaha membujuk dengan beragam cara dan ayahnya tetap berkeras. Ibunya sendiri lebih suka berada di kamarnya di lantai atas.

Merasa lebih bebas. Kamar tersebut terasa lebih nyaman. Ibunya juga melengkapi kamar tersebut dengan televisi dan berbagai alat hiburan lain yang disukainya. Membuatnya makin merasa nyaman di kamarnya.

Baskara disiksa rindu. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menumpahkan perasaannya. Pada helai demi helai surat cinta yang dibuatnya untuk Sekar.

Wahai kekasih hatiku

Pujaan hatiku

Hatiku merindu

Tubuhku mencandu

Akan kehadiranmu

Ingin kucumbu dirimu

Tapi apa dayaku

 

Kau seperti Sinta

Yang ditawan Rahwana

Walaupun raksasa

Angkara murka

Adalah ayah

Ku sendiri yang durjana

Memisahkan cinta

Kita dengan sengaja

Setiap malam dia menuliskan perasaannya di dalam selembar kertas yang diberikan kepada Sekar secara sembunyi-sembunyi.

Ayahnya juga kerap menolak pergi bersama ibunya. Memilih di rumah bersama istri keduanya yang muda belia.

Baskara semakin frustasi. Dirinya benar-benar didera rindu. Membuat dirinya kerap tak mampu menahan nafsu.

Matanya menatap nyalang dan liar melihat Sekar berjalan ke sana kemari. Hatinya didera cemburu. Melihat Sekar selalu berada bersama ayahnya yang notabene suaminya.

Jiwanya ibarat bara yang dihembus rasa amarah. Menyaksikan kekasihnya dikuasai begitu saja. Tanpa dia mampu menyentuhnya walaupun sesaat.

Baskara menyergap Sekar yang sedang menaruh piring bekas makan ayahnya.

Menarik tangannya. Membawanya keluar pintu belakang dapur ke halaman rumah.

“Kau mau apa?”

“Sssttt... Ikut aku.”

Baskara membawa Sekar ke kamar Bik Inah yang terletak di halaman belakang.

Bik Inah yang sedang beristirahat di kamarnya. Diusir Baskara keluar.

“Bik, aku pinjam kamarnya. Bibik tolong bilang sama ayah. Aku membawa Sekar belanja makanan buat di rumah.”

“Tapi den....”

“Udah bibik keluar dan kalau ayah menanyakan Sekar. Bilang aku membawanya berbelanja makanan buat di rumah. Ini untuk bibik. Awas kalau ngadu sama ayah.” Baskara menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan berwarna merah.

Bik Inah yang ketakutan keluar dari kamarnya. Meminjamkan kamarnya dengan terpaksa.

Baskara merebahkan Sekar. Melucuti semua pakaiannya.

“Kau mau apa?”

“Ssttt, memangnya kau tidak merindukanku?”

“Bagaimana kalau ayahmu tahu?”

“Tidak akan tahu. Kalau kau atau bik Inah tidak mengadu.”

“Aku takut....”

“Kau jangan banyak bicara. Kita tidak punya banyak waktu. Ayahku akan mencari mu.”

Baskara menumpahkan kerinduannya. Sekar pun menyambutnya. Mereka seperti memainkan musik yang berirama.

Seperti pianis yang memainkan tuts ebony dan ivory.  Menciptakan nada yang indah.

“Aku merindukanmu.” Sahut Baskara di tengah deru nafasnya.

Sekar tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dirinya terlalu malu untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya. Bagaimana pun, dia seorang wanita. Tabu mengungkap segala sesuatu yang berhubungan dengan perasaan apalagi nafsu.

Baskara seperti ombak yang mengamuk menyapu pantai. Menghempas karang dan bebatuan.

Pasang surut seperti tarian ombak di tepi pantai. Menyerupai lambaian angin yang menggoyang pohon nyiur di tepi pantai.

Peluhnya berjatuhan. Seperti dedaunan kering yang ditiup air. Bunga atau buah yang terjatuh dari pohonnya.

Terdengar suara ayahnya memanggil Sekar. Wajah Sekar memucat. Dia berusaha menghentikan pergulatan mereka. Tetapi ditahan Baskara.

“Tenanglah! Kau tidak usah panik. Bik Inah akan menenangkan ayah.”

Beberapa saat kemudian tidak terdengar lagi suara ayahnya.

“Apa kubilang? Kau tenang saja. Kita selesaikan semuanya sampai tuntas.”

Sekar hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Baskara. Keduanya mencapai puncak asmara mereka secara bergantian.

Sekar mencapai orgasmenya sedangkan Bagaskara mendapatkan pelepasannya.

Baskara melepaskan penyatuan mereka setelah keduanya mencapai puncak pendakian asmara mereka berdua.

Mereka mengenakan pakaian setelah menuntaskan semuanya.

Baskara mencium mesra Sekar. Berkata lirih, “Terima kasih, sayang....”

Sekar bermaksud ingin segera memasuki rumah dan mendatangi suaminya. Tangannya kembali ditarik Baskara.

“Kau mau kemana?”

“Menemui ayahmu. Dia mencari ku.”

“Kau benar-benar bodoh dan lugu. Aku sudah minta bik Inah bilang bahwa aku membawamu berbelanja makanan.”

“Maksudmu?”

“Kita berbelanja makanan dulu di minimarket terdekat.”

“Astaga! Kau benar.”

Keduanya keluar rumah menuju minimarket terdekat. Mereka membeli roti, snack, cemilan. Aneka makanan manis, coklat, donat dan kue basah.

Masing-masing membawa dua buah tas belanja. Penuh dengan makanan.

Ayahnya menyambut keduanya dengan wajah masam.

“Bisa gak sih kalian pamit dulu sebelum pergi keluar rumah?”

“Maaf yah. Aku tadi titip pesan pada bik Inah. Menyampaikan pada ayah. Kalau aku mengajak Sekar berbelanja makanan. Bik Inah tidak menyampaikan pada ayah?”

“Dia memberitahu setelah aku berulang kali memanggil Sekar.”

“Sama aja kan yah? Tidak usah membesar-besarkan masalah.”

“Kalian membeli makanan apa saja?”

“Aku membeli cemilan sehat kesukaan ayah.” Baskara merogoh tangannya ke dalam tas belanja. Mengambil cemilan gluten free. Terbuat dari oatmeal dan gandum.”

Ayahnya mengambil cemilan-cemilan tersebut dan meminta Sekar untuk membukanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!