Dari kejauhan Zana memandangi Amir yang sedang sibuk membenarkan satu satunya alat penangkap ikan yang ia miliki di atas sebuah amben depan bangunan ber bilik anyaman bambu dan beratap daun rumbia. Sebuah rumah yang sudah ia huni sejak dari dalam kandungan sang ibu.
Terik nya sinar matahari siang ini tidak membuat Amir berhenti menjahit setiap terdapat robekan pada jaring itu meskipun keringat mengucur dari dahinya. Nampak sesekali ia menyeka keringat dengan tangannya.
Di saat itu pula bathin Zana berperang antara logika dan perasaan. Zana sempat berpikir untuk pergi dari rumah itu lalu mengejar mimpinya untuk berkuliah di ibu kota.Tapi, apa Zana akan setega itu meninggalkan sang ayah yang sudah membesarkan nya dengan susah payah.
"Abaikan saja keinginan ayah mu dan tinggal kan dia. Bea siswa untuk kuliah di universitas impianmu itu tidak akan datang dua kali padamu. Yakin lah setelah lulus nanti kau pasti akan menjadi orang sukses dan membanggakan nya."
"Lihat apa yang sedang ayah mu lakukan! apa kamu akan setega itu meninggalkan nya di rumah kecilmu? bagaimana nasibnya nanti jika kau nekat menolak menikah dengan pak kades?apa kau mau ayah mu menjadi seorang gelandangan di jalanan gara gara keegoisan mu."
Lagi-lagi benak Zana sibuk dengan situasi yang saling tangkis antara harus menguatkan logika atau ego. Hubungan disonan timbul karena sebenarnya Zana tahu logika yang harus di gunakan untuk berpikir, tapi sekarang ego terlalu merengek untuk diperhatikan.
Sejujurnya Zana benci situasi seperti ini. Hal yang sebenarnya telah mencoba menggiring nya untuk memilih berpikir secara dewasa, tanpa mementingkan ego.Tapi ternyata kekuatannya tak cukup mampu menahan senapan ego yang makin membombardir hati dan benak yang semakin memanas.
Zana menyeka air mata yang sudah menganak sungai. Kemudian melangkah mundur menjauhi sang ayah yang belum menyadari kehadiran nya lalu ia berlari secepat kilat.
Zana berlari dan terus berlari melewati pemukiman warga sehingga kelakuannya menjadi pusat perhatian penduduk setempat yang melihatnya dan memandang aneh padanya.
"Hei, Zana," teriak seorang wanita memanggil namanya dari arah belakang.
Seketika itu pula langkah Zana terhenti dengan nafas yang tersengal sengal.
"Kenapa kamu lari-lari? apa kamu sedang di kejar sama seekor serigala atau di kejar seorang penagih hutang?" Ledek wanita itu.
Tanpa menoleh ke arah sumber suara itu pun Zana mengetahui siapa pemilik suara cempreng itu.
Zana berbalik, nampak seorang wanita gempal memakai daster sedang menatap sinis ke arahnya."Apa Bu Suparmi bicara dengan saya?" Zana justru balik bertanya.
Suparmi mendengus kesal atas pertanyaan balik Zana padanya yang seolah olah pura-pura tidak mendengar ucapannya. Hal itu sering kali Zana lakukan ketika ia mengajak bicara gadis remaja yang ia benci dan di anggap miskin penghuni gubuk di samping kebun milik pak kades.
"Dasar orang miskin tidak tau adab. Berani sekali mempermainkan orang tua," kesal Suparmi dan menatap nyalang Zana.
"Maaf Bu, saya bukan mempermainkan ibu melainkan bertanya apa ibu bicara dengan saya?"
"Kamu benar benar ya! apa telinga mu itu tuli?" Ucap geram Suparmi.
"Maaf Bu, apa ibu ada perlu dengan saya? kalau tidak biarkan saya pergi."
Dada Suparmi naik turun menahan kekesalannya terhadap sikap Zana yang tenang namun menusuk. Sikap nya yang seperti itu justru membuatnya menjadi sangat kesal karena ia merasa Zana meledeknya dengan caranya.
"Kamu.. "
Sebelum Suparmi menyempurnakan kalimatnya Zana melengos begitu saja dan tingkah nya menambah kekesalan Suparmi pada Zana.
"Awas saja kalau aku melihatmu lewat depan rumah ku lagi," teriak nya ketika Zana melangkah pergi dengan santainya.
Setelah menjauh dari salah satu tetangga yang selalu membuat masalah dengannya, Zana memutuskan untuk melipir ke pantai. Selain merindukan pantai yang cukup lama tidak di kunjungi, ia ingin menenangkan pikirannya karena bagi nya laut merupakan satu satu nya tempat menenangkan di saat dirinya tertimpa sebuah masalah.
Zana menyusuri pantai yang nampak landai. Melangkah pelan menapaki hamparan pasir yang luas dan putih bersih. Lautan berwarna biru serta terdapat sebuah pulau kecil di tengah laut itu menambah keeksotisan pantai tersebut. Sebuah pantai yang sangat sepi pengunjung namun akan ada yang berkunjung ketika hari libur tiba.
Tanpa terasa sudah berapa jauh Zana menapaki pasir itu hingga ia menemukan dua buah tenda kemah. Dari kejauhan Zana memperhatikan tenda kemah yang nampak sepi seperti tidak tidak ada penghuninya.
"Tumben sekali ada orang berkemah saat bukan musim liburan. Apa pemilik tenda itu merupakan warga sini atau..."
Sebelum Zana menyelesaikan ucapannya, tiba tiba salah satu tenda itu keluar seorang pria dan seorang wanita yang nampak mesra. Kemudian mereka berciuman di samping tenda itu tanpa memperhatikan ke sekitar sehingga mereka tidak menyadari keberadaan Zana yang tengah berdiri dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari mereka.
Zana sangat terkejut atas apa yang sedang ia lihat tanpa sengaja. Seketika itu pula kedua pupil matanya membulat sempurna melihat aksi ciuman sepasang kekasih yang tidak tau malu dan tidak tau tempat. Namun yang membuat Zana sangat terkejut adalah ia sangat mengenal siapa sosok wanita itu yang tak lain adalah anak pertama kepala desa dari istri pertama yang sedang berkuliah di kota.
"Kenapa mba Rani ada di sini? bukan kah seharusnya dia sedang kuliah di kota? apa yang sedang dia lakukan di tempat seperti ini bersama pria kota itu?"
Zana yang tidak pernah berciuman dan tidak pernah memiliki seorang pacar merasa geram melihat pemandangan yang menurutnya menjijikan. Bukan karena Zana cemburu atau iri melihat Rani berkencan dengan pria kota melainkan perbuatan mesum mereka telah menodai matanya.
Seketika niat jahil untuk mengerjai mereka pun melintas di otaknya. Ekor mata Zana melirik ke sana kemari mencari sesuatu yang mungkin akan dapat menghentikan perbuatan mesum mereka. Dan di saat itu pula sorot matanya tertuju pada sebuah botol kaleng minuman yang tergeletak di atas pasir. Zana mengambilnya lalu memasuki butiran pasir kedalam kaleng itu hingga penuh agar berat dan jika di lempar tidak akan melayang. Setelah kaleng itu terisi penuh, Zana buru buru melempar ke arah dua orang yang sedang berbuat asusila itu dan lemparan nya pun melayang dengan sempurna.
Bughhh
Namun tiba tiba kaleng itu mendarat tepat di punggung si pria. Tautan bibir mereka pun seketika terlepas lalu terdengar pekikan kesakitan.
"Aaaaaaaakk."
Zana tercengang melihat kaleng yang ia lempar tepat mengenai punggung si pria padahal jarak mereka tidak terlalu dekat. Apakah lemparan nya merupakan suatu hal yang hebat dan di anggap sebuah prestasi karena ia melempar tepat sasaran? Tapi, Zana tidak bermaksud menyakiti pria itu dan apa yang sudah ia lakukan di luar dugaannya.
Rani terkejut melihat pria yang baru saja menyentuh bibirnya tiba tiba memekik dan memegang punggungnya." Kamu kenapa, Rain?"
Pria yang bernama Rain itu tidak langsung menjawab melainkan meringis menahan sakit.
"Rain, kamu kenapa?" Ulang Rani sembari mengguncang lengan Rain.
"Seseorang melempar punggungku," kata Rain lalu menunduk. Ia menyipitkan kedua matanya ketika melihat sebuah kaleng tergeletak di samping kaki kirinya. Bekas kaleng minuman miliknya yang telah ia buang ke sembarang arah.
Rain berjongkok mengambil kaleng itu lalu berdiri kembali."Lihat ini, Ran. Seseorang telah melempar ku dengan ini." Rain memperlihatkan kaleng itu pada Rani.
Rani sedikit membesarkan bola matanya melihat sebuah kaleng minuman yang ada di tangan Rain."Kaleng! seseorang telah melempar mu dengan kaleng ini. Tapi bukan nya kaleng ini bekas minuman kamu?"
"Ya, tapi aku sudah membuang nya jauh tapi kenapa kembali lagi kesini. Benar-benar sialan sekali. Awas saja kalau ku temukan orangnya aku tidak akan memberinya ampun." Rain menggerutu kesal lalu melirik ke kiri dan ke kanan namun tidak menemukan siapa pun.
"Tapi kamu tidak apa apa kan. Emm, sudah lah lebih baik kita lanjutkan lagi saja di dalam tenda. Aku sudah tidak tahan ingin cepat di sentuh oleh mu," kata Rani sembari bergelayut manja berusaha menggoda pria kaya yang telah di kenal kan oleh ayahnya untuk menemaninya selama berada di kampungnya.
Rain tidak menghiraukan perkataan Rani melainkan ekor matanya mengitari sekitar dengan detail, mencari sosok yang telah berani melemparnya dengan kaleng isi pasir. Tak selang lama, sorot matanya tertuju pada seseorang yang sedang bersembunyi di balik pohon kelapa yang hanya nampak lengan nya saja.
Rain menyeringai melihatnya.
"Apa kau pikir aku tidak tau siapa yang sudah berani melempar ku dengan kaleng sialan ini?" Teriak Rain.
Zana yang sedang bersembunyi di balik pohon terkejut mendengar teriakan pria mesum itu.
"Ya Tuhan, apa...apa pria itu melihatku?"
"Keluar kamu. Kalau tidak aku akan melempar mu ke dalam laut untuk menjadi santapan Ikan hiu. Apa kau tau jika di laut ini banyak Ikan hiu?"
Zana meringis ngeri mendengar ancaman pria itu.
"Ku hitung mundur kalau tidak keluar maka aku akan menyeret mu paksa dan melempar mu detik ini juga."
Pupil mata Zana berubah membulat sempurna mendengar ancaman yang ketiga kalinya.
"Lima...empat...tiga...dua...sat.."
Mau tidak mau akhirnya Zana menyerah lalu menampak kan dirinya pada dua orang itu. Zana menunduk kan wajahnya tidak memiliki keberanian menatap dua orang yang sedang marah padanya.
Rain tercengang melihat sosok yang telah melemparnya. Ternyata hanya seorang bocah ingusan memakai seragam putih abu abu dan rambut di kepang dua.
Begitu pula dengan Rani ia pun sama halnya dengan Rain, ia cukup terkejut melihat nya. Siapa yang tidak mengenal sosok Zanara? seorang gadis yang terlahir dari sepasang suami istri miskin di kampung nya yang tinggal menumpang di tanah milik orang tuanya serta selalu berpenampilan jadul dan big size.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Dul...😇
✌️✌️✌️✌️✌️✌️✌️✌️✌️✌️ peace Thor 😁
2023-07-06
2
Dul...😇
ini mah asli dari author nya yang nyuruh zanara berbuat nggak baik, sama kaya nyuruh aq deketin tetangga ku yang lagi di tinggal pergi suami nya 🤭😁😁😁😁😁
2023-07-06
0