4. IBU!

"Ririn." panggil Leo membuat Ririn langsung berbalik.

"Zahra mana?" tanyanya langsung to the point.

Ririn memutar bola mata malas, lalu menghela napas kasar. "Lo kan pacarnya, kenapa nanyanya sama gue?" Ririn sengaja berkata seperti itu, agar Leo sadar.

Leo hanya menatap Ririn datar, lalu pergi dari hadapannya. Melihat Leo seperti itu, membuat Ririn mendumel kesal. Ririn heran pada Zahra yang sampai sekarang bertahan dengan Leo, apa yang dia pertahankan? Jika sikap Leo-nya saja seperti itu, Ririn benar-benar tidak habis pikir.

Ririn mengacuhkan bahunya, setelah itu kembali jalan menuju kelas.

Leo duduk di kursi kantin, ia mengaduk-aduk minumannya tidak selera. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang, ia pun bingung dengan dirinya sendiri. Yang selalu memikirkan.....

Zahra.

Leo menghela napas kasar, lalu menyederhanakan punggungnya pada kursi, ia merasa keterlaluan pada Zahra yang telah meninggalkannya di mall kemarin.

Apa Zahra marah? pikirnya.

"Leo." panggil Caca dan Leo hanya diam, lalu tangannya menyingkirkan tangan Caca di pundaknya.

Caca duduk di kursi bersebelahan dengan Leo, dan dengan terang-terangannya terus menatap Leo, sehingga membuat Leo risih di tatap seperti itu.

"Gak usah tatap gue kaya gitu!" kesalnya, lalu meminum minumannya.

Caca memutar bola mata. "Emangnya kenapa? biasanya juga kaya gitu."

Leo menghela napas. "Gue gak suka!" sambil menatap Caca lebih dekat, setelah itu kembali seperti semula.

"Iya, iya." pasrahnya.

"Hai bro." Fahmi menepuk pundak Leo singkat, lalu ikut duduk bersama dengan Gio.

"Gue mau kasih tau sama lo, hari ini Zahra gak masuk. Dia sakit." ucap Fahmi sambil memakan makanan Leo di meja.

Sedangkan Leo sama sekali tidak menunjukkan ekspresi terkejutnya, ia hanya diam.

"Ihhh, apa urusannya sama Leo?!" Caca menatap Fahmi tidak suka.

"Jelas ada, orang dia pacarnya!" kali ini Gio yang bersuara.

Fahmi dan Gio tertawa pelan saat melihat raut wajah Caca yang sepertinya sangat tidak suka ketika membahas tentang Zahra. Mereka sengaja berbicara seperti itu, agar Caca berhati mengejar-ngejar Leo.

"Ehh mau kemana lo?" tanya Fahmi saat melihat Leo berdiri dari duduknya.

Leo tidak menjawab, ia langsung pergi dari hadapan mereka. Kemudian Caca ikut berdiri, ia langsung mengejar Leo.

"Leo tunggu, aku ikut." ucapnya sambil mengejarnya.

Fahmi dan Gio tidak ikut mengejar, mereka sudah tahu Leo akan pergi kemana. Dengan perasaan senang mereka langsung menyantap makanan milik Leo.

...---o0o---...

Zahra memijit-mijit pelipisnya pusing, kepalanya terasa berat dan hidungnya tersumbat pilek. Padahal ia sudah minum obat. Namun, rasa nyerinya masih belum hilang.

Kemudian Zahra bangkit dari tempat tidurnya, lalu menuju dapur untuk mengisi gelasnya yang sudah kosong.

Saat hendak menuju dapur, ia melewati kamar ibunya. Zahra terdiam di tempat saat merasakan ada yang kosong, lalu ia mundur dan membuka lebar pintu kamar ibunya, karena tadi hanya terbuka sedikit.

Zahra menengok kesana kemari, matanya terus melihat kepenjuru arah.

"Ibu?" lalu langsung keluar dari kamar dan menuju ke arah dapur. Namun, hasilnya pun sama. Dengan segera ia langsung keluar rumah.

"IBU!" Zahra terus berteriak di sepanjang jalan, sesekali ia bertanya pada orang.

Zahra duduk di kursi panjang dekat taman, hampir satu jam ia mencari ibunya.

"Ibu dimana?" batinnya, perlahan air matanya keluar membasahi pipi. Ia sudah tidak tahu lagi harus mencarinya kemana.

Zahra memegang kepalanya yang kembali terasa pusing, rasanya seperti berputar-putar. Sekuat tenaga ia tahan, ia harus kuat. Zahra bangkit dari duduknya, ia kembali melanjutkan mencari ibunya, dengan hati-hati terus berjalan.

"MAS FERI JANGAN TINGGALIN AKU MAS, MAS!"

Zahra melotot terkejut saat melihat seseorang yang terlihat persis seperti ibunya, suara teriakan itu mirip sekali dengan suara ibunya dan bener apa yang ia lihat, itu ternyata.....

Rita, ibunya.

"IBU!" Zahra langsung berlari, rasa pusing di kepalanya ia tidak pedulikan dulu. Karena yang paling lebih penting yaitu ibunya, ibu tersayang.

Rita terus mengetuk-ngetuk pintu kaca mobil, ia terus berteriak memanggil nama Feri.

"MAS BUKA MAS. MAS FERI!" Rita berteriak kencang, ia tidak peduli pada orang-orang yang menontonnya. Mobil itu sudah melaju jauh, Rita terduduk di aspal, ia terus menangis memanggil nama tadi.

Dengan Zahra langsung jongkok di hadapan ibunya, ia langsung memeluk Rita, memberi ketenangan. Namun, Rita terus memberontak minta dilepas. Zahra mentulikan pendengarannya. Rasanya sakit melihat ibunya seperti itu, ia menangis sambil terus memeluk Rita erat.

"Lepaskan saya!" Rita mengamuk, hingga Zahra terpental kebelakang.

"Ibu yang tenang yah, ada Zahra di sini." Zahra menangkup wajah Rita, dengan segera kembali memeluknya.

Rita terdiam, lalu langsung kembali berteriak. "LEPASKAN SAYA!" tenaganya begitu kuat, hingga pelukannya langsung terlepas. Dengan segera Rita langsung berlari, mengejar mobil tadi yang entah sudah pergi kemana.

Brakkk!

"IBU!" teriak Zahra, ia langsung berlari ke arah ibunya. Matanya sudah berkaca-kaca, hingga ia menangis histeris.

Ibunya tertabrak mobil, mobil yang menabrak ibunya langsung melarikan diri.

"Ibu bangun bu, bangun." Zahra meletakkan kepala ibunya ke pahanya, ia terus menepuk-nepuk pipi Rita pelan, bahkan ia terus menangis sambil terus memanggil ibunya.

"TOLONG, TOLONG!" Zahra berteriak, banyak sekali darah yang terus-menerus mengalir, bahkan terkena bajunya.

"Astaghfirullah. Ayo bantu, cepat." banyak orang yang membantunya dan langsung dilarikan ke rumah sakit.

...---o0o---...

Zahra terus mundar mandir tidak karuan, ia begitu camas memikirkan ibunya yang sedang di tangani oleh dokter.

"Zahra." ucap Ririn.

Zahra berbalik, ia langsung memeluk Ririn. "Ibu Rin, ibu. Hiks....hiks...." Zahra terus menangis, jika boleh memilih, lebih baik ia yang terluka dari pada ibunya.

Ririn mengusap-usap punggung Zahra, ia pun sedih melihat ibunya Zahra seperti itu. "Tenang Ra, ibu lo lagi di tanganin sama dokter. Lo percaya sama gue, ibu lo bakal baik-baik aja." Ririn melepaskan pelukannya dan langsung menghapus air mata Zahra.

"Percaya sama gue." sambil tersenyum menyakinkan.

Zahra mengangguk pelan, ia menghapus air matanya. Lalu matanya selalu tertuju pada pintu, yang dimana ibunya masih ditangani.

"Ya Allah tolong sembuhkan ibu, Zahra gak kuat liat ibu seperti itu." batinnya.

Ceklek!

Pintu terbuka menampilkan sosok dokter muda berjas putih. Zahra langsung menghampiri dokter tersebut, ia menunggu kejelasannya.

"Maaf saya harus mengatakan. Bahwa pasien......."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!