*
*
"Cih, benar-benar keterlaluan."
"Baru kemarin aku memujinya, tapi ternyata malah tidak peduli pad sesama."
"Aiya, Kasian sekali Rendra di sana, hidup kesulitan. Tapi adiknya disini hidup dengan senang."
"Benar, tidakkah kalian berpikir jika dia tertular sifat bajingan suaminya?"
"Eiii, bukankah itu gawat?!"
"HEI BIBI-BIBI TIDAK ADA KERJAAN! HEBAT YA, VOLUME BISIKAN KALIAN MENGALAHKAN SUARA DI SPEAKER!" Teriak Siska kesal, tertawa sinis menatap ketiga ibu-ibu yang berada tepat di rumah tetangganya.
Siska sedang membantu Ayahnya mengangkat Rosela yang dijemur, yang kemarin dibawanya bersama-sama. Butuh waktu sekitar satu mingguan agar Rosela benar-benar menjadi kering dan dapat dijual.
Tapi apa ini, sejak dirinya keluar dan mulai menata Rosela untuk diangkat, para ibu-ibu ini terus berbisik dengan volume yang sengaja dibesarkan. Untung saja Ayahnya tidak keluar bersamaan dengan dirinya.
"Kemari, bicara didepanku! Apa yang kalian bertiga keluhkan? Keluhkan semuanya di hadapanku!" Pekik Siska dengan berani.
"Memangnya kami sedang membicarakan mu?!" Tanya satu dari ketiga bibi, Saswi.
"Jangan terlalu percaya diri, nak!" Desis bibi Darmi jengkel, ya, dia, biang dari segala gosip.
"Benar, benar, kami tidak membicarakan mu!" Dukung bibi lainnya, Resti.
"Dasar bodoh! Memangnya aku tidak punya telinga, ya? Jelas-jelas kalian menyebut nama kakak pertamaku tadi!" Pekik Siska masih dalam batas sabar.
"Cih! Lalu kenapa? Memang benar, kan, Kakakmu hidup susah di sana, dan disini kalian enak-enakan. Tidak punya hati!" Cibir Bibi Darmi dengan wajah menyebalkan.
"LALU APA URUSANNYA DENGANMU ORANG LUAR INI, HAH?!" Teriak Siska mulai terpancing.
Membuat Ayah, Ibu, dan Adiknya keluar dengan tergesa. Teriakan Siska lebih besar dari yang pertama tadi. Bahkan beberapa tetangga yang mendengar langsung menonton dari jarak yang agak jauh.
"Siska, ada apa, nak?" Tanya Ayahnya khawatir. Diikutin Ibu dan Adiknya yang mengangguk menatap Siska yang sudah memasang wajah kesal.
"Aku kan hanya mengingatkanmu! Dasar tidak tahu diuntung." Bela bibi Darmi.
"Kau bilang mengingatkan aku? Dengan cara membicarakannya dengan orang lain di belakangku? Tidakkah kau merasa dirimu terlihat bodoh?" Tanya Siska sinis.
"K-KAU!" Pekik Bibi Darmi seraya menahan emosi.
"Kau apa ha? Jangan berpura-pura baik, bibi Darmi. Wajahmu tidak terlihat seperti itu, tapi terlihat busuk!" Desis Siska pedas.
"Benar, bibi Darmi ini sukanya menyebar aib orang lain. Fitanah sana sini. Wajar saja jika Siska berkata seperti itu."
"Ya, ya, Bantu aku beri pelajaran padanya, Siska!"
"Benar, teruskanlah, sampai dia jera."
"Biar tidak bergosip terus dari pagi sampai sore!"
"Benar, benar, Saswi dan Resti ini juga sama, saja."
"Aku tahu, betul. Kau melakukan ini, karena kau iri pada keluarga kami. Kami harmonis meski kami banyak menghadapi masalah. Lalu kini, kami hidup berkecukupan lagi. Memangnya aku tidak tahu? Keluargamu bahkan tidak mempedulikan mu, kan?!" Tanya Siska tepat mengenai jantung bibi Darmi.
"K-kalian keterlaluan!" Pekik bibi Darmi seraya pergi dengan emosi dari sana. Meninggalkan Saswi dan Resti yang masih berdiri tak berani mengangkat kepala.
"Siska, nak, tidak baik seperti itu. Sudah, ya, jangan sama-sama begitu." Ucap Ibunya terkejut mendengar penuturan Siska.
"Benar, nak, jangan ladeni lagi. Diamkan saja bibi-bibi itu." Sela Ayahnya ikut menenangkan Siska.
"Ma, Pak, jika aku tidak seperti ini hari ini, ketiga bibi itu akan terus berani. Apalagi bibi Darmi, dia akan terus menyebar berita yang tidak betul adanya pada semua orang." Ucap Siska dengan nada lembut, memegang tangan Ayah dan Ibunya.
"Bibi Saswi, Bibi Resti, jika ke depannya aku mendengar kalian berbicara yang tidak-tidak lagi tentang aku, dan keluargaku. Maka jangan salahkan aku bertindak kejam!" Peringat Siska setelah berbalik memunggungi Ayah dan Ibunya yang hanya bisa menghela nafas pasrah.
Memang benar, tindakan Siska kali ini bisa membuat jera kedua bibi di depannya. Tapi Bibi Darmi? Bibi yang satu itu tidak akan jera sebelum dia merasakan akibatnya.
"Sudah, sudah pukul 6 sore. Angkat dulu Roselanya, setelahnya kita makan. Ibu akan menghangatkan makanan yang tadi kalian bawa dulu." Ucap Ibunya seraya berlalu meninggalkan ketiga orang yang langsung dengan cepat membereskan Rosela.
"Kakak, kau keren!" Bisik Ergan seraya mengacungkan jempolnya pada Siska. Membuat Siska tertawa kecil.
"Kau ingat kejadian hari ini, ke depannya jangan sungkan menegur orang yang menindas keluarga kita. Jika tidak dapat ditegur, langsung beri pelajaran." Ucap Siska seraya menepuk bahu adiknya.
"Siska, jangan mengajari adikmu begitu, Ergan masih sekolah. Siapa yang tahu nanti pelajaran yang diberikannya malah tinjuan?" Ucap Ayahnya ngeri.
"Hahaha, kenapa Bapak tahu piliranku, sih?" Tanya Ergan merasa lucu sendiri.
"Aiya, adikku. Jangan tinju mentah yang kau beri, tapi pakai otak. Oke? Kita orang yang terpelajar, susun rencana untuk membuat mereka jera." Ucap Siska lagi, seraya membawa wadah yang terdapat Rosela di tangannya Kemudian berlalu pergi ke dalam untuk menyimpannya.
"Baik! Aku ingat!" Ucap Ergan semangat. Membuat Ayahnya hanya pasrah, tapi diam-diam setuju dan mendukung sikap anak-anaknya.
Sudah lama sejak mereka ditindas. Mereka semua perlu diberi pelajaran.
10 menit kemudian.
"Apa sudah selesai semua, Ma?" Tanya Siska seraya menata mangkuk dan piring di ruang tengah. Seperti biasa, makan di atas tikar yang digelar di lantai.
"Sudah, ini mangkuk terakhir." Ucap Ibunya seraya menyimpan mangkuk yang dibawanya, kemudian duduk di samping Ayahnya yang sudah terlihat ngiler dengan semua makanannya.
"Aiya, alangkah baiknya jika makan ini setiap hari!" Bisik Ergan pada dirinya sendiri, tapi tentu saja di dengar oleh Siska.
"Jika makan ini setiap hari, maka tubuhmu akan berlemak banyak!" Balas Siska seraya tertawa, membuat Ergan terkejut.
"Kau tahu isi hatiku!" Pekik Ergan.
"Kau melafalkannya begitu besar, bodoh! Bukan hanya kakakmu, aku dan Bapakmu juga bisa mendengarnya." Ucap Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ergan menjadi malu setelahnya, dirinya malah tidak sengaja melafalkannya.
"Uqi, Uni, apakah enak mie nya?" Tanya Siska tersenyum manis, penuh sayang.
"Ya, Bu! Mie nya tidak seperti mie instan. Ini lebih enak, juga ada banyak toppingnya!" Ucap Uqi mengangguk senang.
"Ada daging, mbuu!" Seru Uni lucu, membuat semuanya gemas.
"Kalau enak, harus dihabiskan yaa cucu-cucu kakek!" Ucap Ayah Siska menepuk kepala Uqi dan Uni bergantian.
Semuanya makan dengan senang, sesekali mengobrol dan bercanda.
Setelah selesai, Siska mengingatkan Ergan perihal surat.
"Sudah aku kirim tadi siang, kak. Katanya akan sampai dalam dua hari." Ucap Ergan.
"Baiklah, sekarang bantu Mama siapkan keperluan besok, sana. Besok kita akan jalan-jalan!" Ucap Siska seraya berlalu menuju kamarnya tanpa mendengar jawaban Ergan yang sudah pasti senang.
"Eum jalan-jalan? Uni mauu jalan mbuu!" Seru Uni gemas.
"Baik, baik, besok kita jalan-jalan dengan semuanya! Sekarang Uni tidur dulu, oke?" Bujuk Siska membuat Uni menganggukkan kepalanya.
Hari ini, Siska menginap di rumah ibunya. Ia tidur di kamarnya yang dulu bersama kedua anaknya. Uqi masih ingin bersama kakek dan neneknya, tapi Uni tidak bisa, sudah jam tidurnya.
Siska berbaring di samping Uni. Menatap Uni dengan penuh sayang. Lagi, lagi, perasaan sesal dari kehidupan pertamanya muncul lagi. Apalagi ketika melihat Uni tertidur dengan mata tertutup.
Siska akan menjadi gugup, tapi begitu melihat bibir anaknya tidak membiru seperti kehidupan pertamanya, itu berangsur-angsur membaik.
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Marlialeeya
beri pelajaran sm tetangga julid biar kapok
2024-02-26
0
Ajusani Dei Yanti
semangat thorrrr kuh
2023-06-27
1
Evi Ariani
aku suka cerita novel ini luar biasa
2023-05-22
4