Ketua Geng Motor Dan Gadis Tomboy

Ketua Geng Motor Dan Gadis Tomboy

Surat dari Kepala Sekolah

Di sebuah ruang kerja berdinding ekspos batu bata dikelilingi rak buku berwarna gelap, duduklah seorang pria tua. Usianya hampir delapan puluh tahun.

Tangannya yang keriput sedang memegang selembar kertas putih. Surat dari kepala sekolah SMU tempat cucu keduanya, Russel Halim bersekolah.

"Russel, apakah kakek sudah salah mendidikmu? Kenapa kamu jadi berandalan begini? Masuk geng motor dan terlibat tawuran. Oh, Tuhan!" Kakek Hidayat menghela nafas dalam-dalam. Lalu meletakkan surat yang dibawanya ke atas meja kayu yang ada di hadapannya.

Setelah berpikir sejenak dan memantapkan hati, ia mengambil sebuah amplop cokelat yang ada di atas meja dan membukanya perlahan. Mengeluarkan isi amplop dan membacanya dengan teliti.

Sebuah data tentang seorang gadis berparas cantik, beriman teguh dengan segudang prestasi. Pelajaran, seni lukis dan olahraga nilainya sempurna. Latar belakang kehidupannya juga menarik.

'Semoga gadis ini memang jodohnya Russel dan dapat merubah tabiat buruk Russel,' batin kakek.

Setelah itu kakek tua mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Menekan layar ponselnya, menelepon sekertaris pribadinya.

"Selamat siang, Tuan Hidayat."

"Ronny, tambahkan sumbangan dana pembangunan gedung C sekolah Russel. Dua miliar! Aku kira nominal itu cukup untuk membuat kepala sekolah Russel tidak terus menerorku dengan surat-surat panggilan kenakalan Russel."

"Baik, Tuan Hidayat."

"Lalu ... panggil ayah dan gadis baik multi talented yang akan menerima beasiswa itu. Minta mereka datang ke Semarang dan menemuiku di sini."

"Baik, Tuan Hidayat. Saya akan segera mengurus semua masalah Tuan Russel dan menghubungi keluarga gadis penerima beasiswa itu. Secepatnya mereka akan saya jemput kemari," ucap Pak Ronny.

"Saya mau mereka besok pagi sudah ada di sini," titah kakek Hidayat ingin segera menyelesaikan masalahnya.

"Baik, Tuan Hidayat. Akan saya usahakan."

Kakek Hidayat menutup panggilan telepon.

Dan manik mata tuanya tertuju pada sebuah foto yang diambil sebelas tahun yang lalu. Terbingkai elok walaupun sudah belasan tahun berlalu. Kakek Hidayat mengambil pigura foto itu dan mengamati isinya.

Foto seorang wanita cantik dikelilingi tiga lelaki tampan.

Nama wanita itu, Rosa Hidayat, putri semata wayang kakek Hidayat. Sedang duduk diapit dua anak laki-lakinya. Rayner Halim dan Russel Halim. Di belakang Rosa berdiri seorang pria tampan dengan senyum menawan, Erick Halim, suami Rosa, menantu kakek Hidayat.

"Seandainya Erick adalah suami yang setia pada satu wanita, pasti Rosa akan hidup berbahagia bersama keluarganya. Bukan bertengkar setiap hari dan kemudian bercerai. Meninggalkan kedua putranya yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya di rumahku ini," gumam kakek tua itu.

"Karena melihat kedua orang tuanya sering bertengkar hingga adu jotos dan babak belur, Rayner jadi anti pati pada wanita, sedangkan Russel jadi anak berandalan dengan masa depan suram, karena kurang kasih sayang orang tua." Kakek tua menghela nafas.

"Aku tidak bisa membiarkan garis keturunanku berhenti dan keluargaku menjadi berantakan," ucap kakek Hidayat dengan wajah sendu.

***

Di sebuah rumah jelek yang ada di Jawa Tengah.

"Anak gadis kok pulangnya malam-malam. Apa kamu mau jadi wanita penggoda seperti ibumu?" Nenek menjambak rambut hitam panjang Aileen yang masih basah berkeringat. Menariknya kuat-kuat lalu mendorong tubuh Aileen yang masih berbalut baju seragam basket ke lantai rumahnya.

Padahal Aileen baru saja menjejakkan kaki ke dalam rumah. Kembali dari pertandingan basket se Jawa Tengah. Tubuhnya letih dan kotor, ia membutuhkan istirahat untuk memulihkan stamina.

Bukan hinaan pada sosok ibu yang rela mempertaruhkan nyawa untuk melahirkannya ke dunia. Ibu yang telah tiada karena pendarahan hebat yang dialami saat harus melahirkan seorang diri di dalam kamar mandi.

Klontang!

Piala MVP player wanita yang sebelumnya ada di pelukan Aileen, sekarang sudah jatuh ke lantai dan terbelah menjadi dua. Aileen menghela nafas dalam-dalam, merangkak cepat menyelamatkan piala itu sebelum diinjak-injak oleh neneknya.

Duk! Duk! Plak!

Nenek membabi buta menendang dan memukuli punggung Aileen dengan keras. Membuat air mata yang sejak tadi ditahan Aileen agar tidak menyembul ke permukaan, akhirnya lolos juga dari pelupuk matanya. Rasa sakit dan nyeri di sekujur punggung Aileen terasa makin berdenyut saat luka lama kembali yang belum sembuh benar kembali terkelupas.

"Mana, mana uangnya? Buat apa membawa pulang piala? Piala itu tidak bisa untuk membeli beras, telur dan sayur mayur di pasar. Dasar gadis bodoh!" umpat Nenek marah-marah tiap Aileen pulang ke rumah tengah malam karena latihan basket atau mengikuti pertandingan basket di luar kota. Pulang tidak membawa uang pasti akan disiksa habis-habisan.

"Kau sembunyikan di mana uangnya, Aileen?" tanya Nenek sambil merayapi tubuh Aileen yang tinggi langsing itu. Menepuk-nepuk setiap inchi tubuh Aileen, memastikan ada segulungan uang yang sengaja disembunyikan Aileen dari mata tuanya.

"Tidak ada uang di tubuh Aileen, Nek. Pihak sekolah sudah mengambilnya tadi," jawab Aileen sambil memohon agar Nenek melepaskannya. Tidak memukulinya lagi karena Aileen sudah mengatakan yang sejujurnya.

"Tidak mungkin. Pasti ada sedikit uang yang pihak sekolah berikan padamu karena kau sudah mengharumkan nama sekolah. Dan kamu pasti menyembunyikannya dari Nenek, iya kan? Jawab jujur, gadis tengik!" bentak Nenek sebelum melayangkan tamparan ke pipi mulus Aileen.

Plak! Plak!

"Aileen jujur sejujurnya, Nek. Pihak sekolah akan membuka rekening bank untuk Aileen dan mentransfer uangnya ke rekening Aileen. Jika Nenek tidak percaya, Nenek bisa menelepon kepala sekolah besok pagi," ucap Aileen yang masih memegangi pipinya yang pedas karena ditampar Nenek.

"Awas kalau kamu tidak jujur! Nenek akan memukulmu sampai sekarat!" pekik Nenek sambil menghentakkan kakinya yang besar gemuk ke lantai.

Setelah Nenek gemuk yang galak itu masuk ke dalam kamarnya, Aileen segera memunguti pecahan piala miliknya. Membawanya ke dalam sebuah ruangan yang menurut manusia jaman now lebih layak disebut gudang barang tidak terpakai daripada disebut kamar tidur.

Kamar Aileen penuh dengan tumpukan kardus-kardus yang terlipat rapi, koran-koran bekas yang sudah diikat rafia, botol-botol plastik dan sampah-sampah plastik yang siap didaur ulang. Barang-barang bekas yang masih memiliki nilai jual dan dapat menjadi beberapa lembar uang untuk mengenyangkan isi perut.

Semuanya adalah barang-barang yang dikumpulkan ayah Aileen dengan susah payah.

Ya, ayah Aileen adalah seorang pemulung barang-barang bekas. Pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh orang-orang terpaksa ayah Aileen jalani setelah ia dipecat dari pekerjaannya di finance departement perusahaan batik terbesar di Indonesia. Karena ayah Aileen terbukti menggelapkan sejumlah uang perusahaan.

Setelah menyesali semua perbuatannya di dalam dinginnya penjara selama setahun, akhirnya ayah Aileen dapat menikmati kembali udara bebas. Namun sayang ayah Aileen harus kehilangan istri dan pekerjaannya sebagai karyawan kantoran selama-lamanya.

Semua perusahaan dari besar sampai yang terkecil sekali pun menolak lamaran kerja ayah Aileen karena ayah Aileen tercatat punya catatan hitam di bidang hukum. Jatuh ke dalam dosa yang merugikan perusahaan hingga ratusan juta rupiah. Mereka khawatir ayah Aileen akan kembali mengulangi perbuatan curangnya dan kembali merugikan perusahaan tempatnya bekerja.

Plak!

Aileen meletakkan pecahan pialanya di atas sebuah meja tulis tua. Mengambil lem perekat dan isolasi bening di dalam laci mejanya. Dan mulai merekatkan satu-persatu pecahan pialanya dengan berurai air mata.

"Piala ini sungguh berharga bagiku, Nek. Setidaknya dengan berhasil mendapatkan piala ini, aku merasa orang di sekelilingku menghargai keberadaanku. Tim basket dan sekolah membutuhkanku untuk meraih kemenangan," gumam Aileen sambil menyeka air matanya.

'Aku berharga di mata orang lain, Nek!' batin Aileen.

Setelah beberapa lama berkutat dengan lem dan isolasi, senyum sendu akhirnya melengkung di bibir tipis Aileen.

"Akhirnya piala ini dapat berdiri tegak kembali dan menambah deretan koleksi pialaku," gumam Aileen sambil menggeser piala itu ke ujung meja tulisnya. Bersanding di sebelah piala-piala yang lain.

"Mama, lihatlah! Ini piala ke tiga aku menjadi pemain MVP. Semoga mama melihatnya di surga dan bangga memiliki putri sepertiku," gumam Aileen sambil mendesah pelan.

"Sekarang aku harus membersihkan tubuhku yang kotor dan bau sebelum tidur." Aileen membuka kaus olah raganya secara hati-hati, menahan rintih kesakitan saat luka di punggungnya terasa perih menyayat.

"Tuhan, Aileen yakin suatu hari nanti, Tuhan akan mengutus hamba-Mu untuk menolong Aileen keluar dari penderitaan ini. Lindungi Aileen selalu, Tuhan. Sebelum utusanmu datang untuk memberikan kebahagiaan dalam hidup Aileen. Terima kasih, Tuhan. Amin," doa Aileen dengan khusuk.

Bagi Aileen, seorang gadis belia yang baru saja memasuki usia 17 tahun, berdoa kepada Tuhan adalah jalan satu-satunya yang membuat Aileen dapat menjalani hidupnya dengan tegar dan kuat. Entah apa yang akan terjadi, jika Aileen tidak mengenal Tuhan dalam hidupnya.

Mungkin saja Aileen sudah jatuh ke dalam limbah depresi. Memiliki sifat yang bertolak belakang dengan sifat yang sekarang ia miliki. Tetap ceria dan periang walaupun hidupnya sangat menyesakkan.

Dengan bersandar pada Tuhan, walaupun hidup dalam siksaan dan caci makian, Aileen tetap tumbuh menjadi gadis yang sabar, tabah dan kuat menghadapi semua cobaan hidupnya. Tumbuh menjadi pribadi yang tak kenal lelah untuk selalu berjuang dan bertahan. Karena ia percaya, Tuhan senantiasa mendengar doanya.

Dengan kesabaran dan ketekunan dalam doa dan usaha, Aileen berharap suatu saat talenta yang Tuhan berikan dapat merubah hidupnya menjadi lebih baik.

Aileen mengambil pakaian rumahnya dari lemari, handuk yang tersampir di atas kursi dan segera keluar dari kamar tidurnya untuk mandi. Membasuh tubuhnya yang kotor, kemudian mengobati luka-luka di punggungnya dengan obat merah.

Ketika hari sudah mulai beranjak subuh, Aileen menutup matanya rapat-rapat. Tidur dengan posisi telungkup di atas sebuah kasur tipis yang keras. Agar luka di punggungnya segera mengering dan sembuh.

Terpopuler

Comments

Manusia Biasa

Manusia Biasa

Mantap nih alurnya, gaya penulisnya gw suka semangat ngetiknya

2023-05-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!