"Siena!" Siera berteriak histeris, saat melihat saudari kembarnya sudah tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir dari kedua lubang hidungnya.
Suara teriakannya terdengar jelas dan membuat seluruh pekerja di rumahnya itu segera menghampiri sumber suara.
"Ya ampun, Non Siena!"
"Bibi, tolong Bi! Cepat panggil ambulance!" titah Siera yang kian panik setelah memeriksa denyut nadi Siena yang mulai melemah.
Tidak berselang lama ambulan yang telah ditelepon pun datang, membawa Siena menuju salah satu rumah sakit mewah yang berada di pusat kota Jakarta.
Setelah lima belas menit lamanya akhirnya kini mereka sampai di rumah sakit tersebut. Siena yang sudah menjadi pasien VIP rumah sakit tersebut pun segera mendapatkan penanganan yang cepat, sedangkan Siera menunggu dengan resah di depan ruang IGD.
"Siera!" suara teriakan seorang wanita seketika terdengar memekikkan telinga.
Siera menolehkan kepalanya dan melihat ibu dan ayahnya sudah berjalan mendekati dirinya.
"Mami, Siena, Mih!"
Plak!
"Dasar anak kurang ajar! Kamu mau membunuh kakakmu, hah?" bentak Rani kepada putri bungsunya.
Rasa panas pada pipi sebelah kanan gadis itu membuat telinganya berdenging. Siera terdiam karena rasa sakit di hatinya berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan sakit di wajahnya.
Tetapi lagi-lagi ia hanya bisa bungkam, bahkan dirinya tak berdaya untuk sekedar mengucapkan sepatah katapun.
"Mih, sudah! Jangan buat semua semakin runyam!" seru Bram yang tak tega melihat raut wajah putri sulungnya.
"Tapi, Pih! Sudah berapa kali dia buat Siena kolaps akibat ulahnya? Kalau Dia mau pergi ya pergi saja, gak perlu membuat susah semua orang!"
Kedua tangan Siera mengepal dengan kuat, bertahun-tahun lamanya ia memimpikan sebuah kasih sayang yang seimbang tetapi hari itu semua mimpinya seakan telah musnah tak tersisa. Hanya kemarahan yang jelas tersirat dari sepasang mata sang ibu, membuatnya merasa menjadi seorang anak yang tidak berguna dan tak memiliki arti apapun di keluarga.
Caci maki terus terlontar dari bibir wanita paruh baya itu tanpa terkendali, membuat Siera langsung pergi begitu saja daripada harus semakin sakit hati.
Namun baru saja ia mau keluar dari ruang tunggu, tiba-tiba ia berpapasan dengan seorang pria yang tengah memakai snelli lengkap dengan stetoskop yang menggantung pada lehernya.
"Siera, Kamu kenapa?" tanyanya kala melihat wajah Siera yang sembab dengan sebelah pipinya yang sedikit terlihat memar.
Rasa sesak kian membesar tak tertahankan lagi, pria di hadapannya itu benar-benar semakin membuat suasana hatinya semakin memburuk. Tanpa menjawab apapun, gadis itu memilih tetap pergi, meninggalkan pria itu yang menatap Siera hingga hilang dari pandangan matanya.
Kakinya terus melangkah tak tentu arah, terlalu banyak kejadian hari itu yang telah membuat dirinya terperosok jauh ke dalam lubang luka yang dalam.
Di luar terlihat Bibi Aisyah yang tengah terduduk sendiri, sontak saja gadis itu pun segera berlari ke arah asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak ayah dan ibunya baru menikah.
"Bibi!"
"Non Siera, Non kenapa?" tanyanya yang mulai khawatir dengan keadaan Siera.
"Maafkan Siera, Bi. Siera sudah gak sanggup lagi! Lebih baik Siera pergi daripada Siera semakin menjadi anak pembangkang "
Tangis gadis itu tumpah ruah, baginya hanya Bi Aisyah sajalah yang sayang dan peduli padanya, bahkan kasih wanita paruh baya itu terasa jelas
melebihi kasih sayang seluruh anggota keluarganya.
Belaian lembut terasa di kepalanya, tetapi semua itu membuat dirinya semakin sedih dan mengingat akan kejadian lima belas tahun silam.
"Non Siera sudah dewasa. Non bisa hidup dengan mencari kebahagiaan sendiri. Pergilah, jika semua bisa melepaskan jerat yang sudah membelenggu Non Siera selama ini, Bibi yakin jika Non Siera bisa hidup dengan baik," ucap Bi Aisyah.
Setelah dirasa cukup tenang, akhirnya Siera memutuskan untuk kembali ke rumahnya terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan gadis itu membulatkan tekadnya untuk keluar dari lingkaran yang selama ini menjerat dirinya.
Walaupun berat untuk pergi meninggalkan orang tua serta kakaknya, tetapi Siera harus berani. Karena bagaimanapun akan sulit bagi dirinya untuk hidup satu atap jika Siena sudah menikah.
Akhirnya ia pun kembali ke rumah yang penuh akan kenangan buruk pada ingatannya untuk sekedar membawa kembali koper miliknya yang masih berada di sana.
Siena menaiki satu persatu anak-anak tangga, mencari koper miliknya yang ternyata sudah kembali di di dalam kamarnya.
"Mau kemana kamu, Siera?"
Suara Ricky sontak mengagetkan Siera yang baru saja melangkahkan kakinya untuk keluar dari dalam kamarnya.
Ricky mendekat ke arah adik bungsunya dengan kedua tangannya yang melipat di depan dada.
"Maafkan Kakak jika sudah keterlaluan, Kakak cuma gak mau kamu salah pergaulan," ucap Ricky seraya mengusap pucuk kepala Siera.
Siera menundukkan kepalanya, lagi dan lagi keraguan untuk pergi melanda dirinya, membuat dirinya goyah hanya karena sedikit perhatian dan kata maaf yang selama ini ia inginkan.
"Aku ...."
"Kalau kami pergi nanti Siena akan sedih. Kamu gak mau, kan jika Siena terus-menerus sedih memikirkan kamu, apalagi akhir-akhir ini kesehatannya tidak stabil," ucap Ricky tanpa memperdulikan jawaban dari adiknya.
Deg!
Senyuman getir tersemat di wajahnya. Baru saja hatinya diterbangkan tinggi kini terhempas begitu saja. Siera mengadahkan kepalanya perlahan dengan senyum yang masih terus ia paksaan.
"Maaf, Kak. Aku tetap akan pergi demi kebaikan semuanya. Siena akan baik-baik saja, toh sedikit lagi ia akan menikah dengan Nuga."
***
"Ini gak benar! Gak benar ini!" Sudah satu jam lamanya, Nikolai termenung sambil bergumam sendiri. Pria yang terkenal gila kerja itu untuk pertama kalinya tidak bisa fokus dengan pekerjaan yang ada di hadapannya.
Sosok gadis yang berhasil membuatnya berbagi ranjang semalam itu terus saja berputar di kepalanya, seolah tengah menghipnotis dirinya.
"Ha-ha-ha ... Aku bisa gila!" ucapnya kembali sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan.
Ide gila pun seketika berkelebat di dalam kepalanya, Nikolai tersenyum lalu segera meraih kunci mobilnya.
"Bos, mau kemana?" tanya Tomi yang mulai panik. Pria berkacamata itu segera mengikuti Niko, dan menuntut penjelasan dari atasannya tersebut.
"Mau keluar, ada keperluan sangat penting!" jawab Niko.
"Tapi, Bos. Dua jam lagi kita ada rapat dengan klien. Ini, kan project penting yang sudah Bos tunggu," jawab Tomi kembali dan kali ini berhasil menghentikan langkah Nikolai tepat di depan pintu lift.
Pria itu mengerutkan keningnya seakan tengah memikirkan suatu hal yang sangat sulit.
"Tom, apakah Kamu ini kompeten dan loyal?" tanya Nikolai kembali.
Dengan berbangga hati pria itu pun menjawab dengan lantang, "Tentu saja! Saya adalah asisten pribadi yang paling kompeten dan bisa diandalkan!"
Ting!
Suara lift berbunyi dan tak lama pintu lift pun mulai terbuka.
"Kalau begitu Aku bisa tenang! Karena Kau asisten pribadiku yang berkualitas dan kompeten!" ucap Nikolai sambil berjalan masuk ke dalam lift lalu segera menutup pintunya.
Perkataan yang terlontar dari Nikolai sontak saja membuat Tomi tersentak dan baru menyadari jika lagi dan lagi ia sudah dijebak oleh permainan kata-kata yang dilontarkan Nikolai.
"Yah, Bos! Yah, yah, yah! Bala ini! Udahlah, bala ini!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments