Di sebuah kamar yang tak begitu luas, Vania masih tertidur pulas. Matahari sudah meninggi dan sudah waktunya untuk makan siang. Bi Arum masuk dan melihat sang keponakan, ia sebenarnya tidak tega untuk membangunkannya tapi, harus melakukannya. Sejak datang tadi Vania belum memakan apapun.
"Van–vania, bangun nak.Ayo makan siang dulu!" Menyentuh pundak sang keponakan.
"Eum, Bibi.maaf, aku kelamaan tidurnya ya bi?" Vania mengucek matanya, masih mengumpulkan nyawanya karena baru saja terbangun.
Bi Arum tersenyum melihat keponakan cantiknya yang sudah dianggap seperti putri kandungnya sendiri.
'Iya, tidak apa-apa. Bibi juga maklum kok pasti kamu sangat lelah kan sampai kesasar segala. Tapi, kamu benar tidak apa-apa kan?"
"I‐iya bi, Aku baik-baik saja.Jadi, apa aku boleh makan sekarang? Cacing-cacing di perutku sudah berdemo nih, bi minta di beri makan." Vania menyengir kuda.
"Iya iya, tentu saja boleh dong cantik. Ayo, kita ke dapur Yang lain sudah pada makan semua."
"Siap, boss!" Vania melakukan gerakan menghormat pada sang bibi.
"Ada-ada aja kamu, Van." Bi Arum menggelengkan kepalanya melihat tingkah menggemaskan sang keponakan.
Sesampainya di dapur tempat dimana para pelayan berkumpul untuk makan, Bi Arum langsung memperkenalkan Vania pada para rekan kerjanya sesama pelayan dan ada juga supir dan tukang kebun.
"Bi Arum, dia siapa?"
Salah seorang pelayan bertanya sambil melihat kearah Vania yang berdiri di samping bi Arum.
"Oh, iya sampai lupa. Ini kenalkan keponakanku yang baru saja datang dari kampung, namanya Vania Hasna dan dia juga akan bekerja di mansion ini."
Vania mengulurkan tangannya dan menyalami mereka satu persatu.
"Vania–"
"Hai, aku Murni."
"Aku Erna." Murni dan Erna merupakan pelayan yang juga masih berumur muda, hanya selisih 2 tahun diatas Vania. Mereka memindai tubuh Vania dari bawah sampai atas. Sampai Murni melihat ada suatu tanda yang ada ditubuh Vania. Keduanya pun saling berbisik sambil menatap sinis Vania.
"Pstt–Er, coba lo lihat lehernya deh!" Menunjuk dengan kode lirikan mata pada temannya.
Erna yang diberitahu pun mengangguk ketika melihat dan memastikannya. Ternyata Vania belum menyadari akan jejak-jejak kebiadapan yang ditinggalkan oleh pria yang telah merudapaksanya.
"Kalau begitu bibi tinggal sebentar ya Vin, mau bicara sama nyonya soal pekerjaan kamu. Murni, Erna...tolong temani Vania ya."
Selepas kepergian bi Arum, kedua gadis itupun langsung mendekati Vania."Hei, umurmu berapa?"
"Delapan belas tahun, mbak. Saya baru saja lulus SMA." Jawab Vania.
"O begitu.Pacarmu apa tidak sedih kau tinggal pergi. Eh tapi, kayaknya sih pasti sudah di tinggalin full jatah ya, kan?" Erna mengedipkan matanya pada Murni sambil melirik Vania yang terdiam tak mengerti apa maksud dari perkataan Erna.
"Maksud kalian apa sih? Aku sama sekali ngak ngerti." Vania pun menatap keduanya penuh tanya.
"Ekhem, sok polos banget sih lo. Makannya kalau main itu harus cantik. Kayaknya pacarmu itu agresif banget ya sampai meninggalkan c*****an sebanyak itu di tempat yang strategis pula. Kasihan ya bi Arum, kira-kira dia tahu ngak ya kelakuan memalukan keponakannya."
"Pacar? Maaf, mbak...aku ini tidak punya pacar. Bahkan.teman laki-laki pun tak ada. Dan tandaapa tadi mbak bilang, cu*****n?itu apa sih?" Vania yang polos memang tak mengerti.
Murni dan Erna pun gemas dengan tingkah sok polos Vania. Dengan kasar Murni menarik kaos yang dikenakan Vania lalu, menunjukkan beberapa bercak keunguan di bagian leher dan bahunya. Sontak saja hal itu membuat Vania terkejut bukan main.
"Tuh lihatlah, pake sok polos lagi. Wow...gue bisa ngebayangin gimana panasnya pertempuran mereka." Erna mencebik dan menatap sinis Vania.
Tak terima diperlakukan sekasar itu, Vania pun mendorong keduanya dengan sekuat tenaga sampai mereka jatuh terjerembab di lantai. Vania sebenarnya juga begitu syok ketika di perlihatkan tanda tersebut.
Gadis itu jadi teringat akan kejadian malam kelam yang menimpanya. Pengalaman terburuk didalam hidupnya, bahkan telah menghancurkan masa depannya.
"Hei–berani sekali ya mendorong kami. Jangan-jangan sebenarnya lo itu cewek panggilan ya dan datang ke sini dengan maksud dan tujuan yang lain. Menjadi pelayan hanya sebagai kedokmu saja. Bener kan?"
"Mbak mbak jangan menuduhku sekeji itu ya. Aku datang ke kota ini memang berniat untuk bekerja dengan baik. Kalian jangan mencermarkan nama baik orang lain. Kalian tidak tahu apa yang telah terjadi pada diriku."
Suara perseteruan ketiganya terdengar sampai ketelinga bi Arum yang baru saja muncul di hadapan mereka. Bi Arum menatap penuh selidik pada ketiga gadis muda tersebut.
"Apa maksud perkataanmu itu, Murni? Lancang sekali kamu menjelek-jelekkan dan menuduh Vania seperti itu. Apa kamu bilang tadi, Vania kau tuduh sebagai perempuan panggilan?"
"Maaf bi, kami berkata seperti itu bukan tanpa bukti. Lihatlah leher dan bahunya terdapat beberapa tanda bekas ...pasti bi Arum mengertilah apa yang kami maksud. Jangan-jangan bibi tidak tahu ya kelakuan keponakan bibi sendiri."
Bi Arum melihat dengan teliti leher dan bahu Vania dan benar apa yang dikatakan oleh Murni dan Erna jika banyak tanda cinta di sana.
"Vania–ini apa maksudnya? Ayo, kita kekamar."
"Ayo, sekarang ceritakan dan katakan yang sejujurnya pada bibi!"
Gadis itu tertunduk malu.Ya, ia sangat malu sekali dengan bekas tanda kekejaman yang dilakukan pria yang telah memperkosanya malam lalu. Ia jadi teringat kembali rasa sakit yang di torehkan pria itu pada dirinya. Tak kuat lagi menahan beban dihatinya, Vania pun labgsung berhambur memeluk sang bibik sambil menangis.
"Vania–ada apa nak, apa yang terjadi pada dirimu. Katakan pada bibi. Apa ada yang telah berbuat jahat kepadamu?" Bi Arum benar-benar tak tega melihat isak tangis pilu keponakannya itu.
"S–sebenarnya, kemarin malam aku diperkosa bi dan aku sama sekali tak mengenal pria itu. Aku sangat takut bi, laki-laki itu begitu menakutkan dan dia melakukannya–" Vania tak mampu lagi melanjutkan perkataannya. Gadis yang biasanya ceria itu kini berubah menjadi serapuh itu.
Wanita paruh baya itu pun mendekap erat tubuh sang keponakan yang bergetar hebat. Trauma psikis yang dialami Vania begitu dalam. Bi Arum turut merasa hancur melihat keadaan Vania.
"Sayang, dengarkan bibi ya nak. Kamu tidak sendirian, bibi akan selalu ada bersamamu apapun yang terjadi. Jika, sesuatu yang tak diharapkan terjadi. Bibi akan selalu ada untukmu, nak."
"Maksud bibi apa?"
"Sudah, tidak usah di pikirkan. belum tentu juga akan terjadi."
Vania penasaran dan semakin tak tenang, satu kata yang kini berputar di bebaknya. Apa jangan-jangan ia bisa saja hamil akibat dari kejadian itu.
"Bi–bagaimana kalau nanti aku hamil, apa yang harus aku lakukan?"
DEG
Bi Arum tersentak mendengar Vania yang ternyata mengerti dan sadar akan hal yang bisa saja terjadi pada gadis itu.
"Tenangkan pikiranmu Van, kita berdo'a saja semoga itu tidak akan pernah terjadi. Sekarang kamu diam disini saja. Bibi akan ambilkan makan malam untukmu. Besok pagi kamu harus bertemu dengan nyonya Helen."
"Baik bi. Bi...maafkan aku ya yang tidak bisa menjaga diri."
"Sudahlah, semua sudah terjadi dan kamu harus tabah menerimanya. Ingat, ada bibi yang akan selalu bersamamu."
Keesokkan paginya, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh bi Arum semalam. Vania akan bertemu dengan nyonya Helen, sang majikan.
"Maaf nyonya, ini Vania keponakan saya yang datang dari kampung."
"Ah iya, jadi ini keponakan bi Arum. Masih muda ya.Berapa umurmu, nak?" Tanya nyonya Helen ramah.
"Vania, nyonya. Nama saya Vania Hasna umur saya 18 tahun." Jawabnya tersenyum.
Nyonya Helen tampak suka melihat gadis manis yang sangat sopan dan satun di setiap perkatannya. Senyumnya pun begitu menghipnotis, sangat manis.
"Cantik sekali keponakanmu ini bi Arum. Semoga kamu betah ya bekerja disini. Oh ya bi, tolong kamu jelaskan ya tugas-tugasnya."
"Baik nyonya, terima kasih nyonya."
"Van, tolong kamu kekamar tuan muda dan ambil pakaian kotornya yang ada dikeranjang ya. Sebentar lagi beliau pulang dari kantor."
"Iya bi,
Bukannya cepat melakukan apa yang diperintahkan oleh sang bibi. Gadis itu malah tengah asik mengagumi kamar mewah sang tuan muda.
"Wah, kamarnya besar sekali dan semua perabotannya juga sangat mewah. Harum lagi, pasti tuan muda orangnya sangat perfect. Ah, aku mikirin apaan sih?"
Vania tersadar dari lamunannya dan teringat akan tugasnya. Ia lalu mengambil pakaian kotor sang majikan dan segera beranjak dari kamar tersebut. Dan baru saja ia mau membuka pintu tiba-tiba saja ada yang lebih dulu membukanya dari luar.
Bola mata Vania membulat sempurna ketika melihat sosok pria tampan yang begitu dikenalnya dan juga sorot mata tajam miliknya. Tubuh Vania seketika menegang dan gemetaran tak menyangka akan bertemu kembali dengan laki-laki biadab tersebut.
"Ka–kamu?!"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Nora♡~
Yaa.., Tuhan... Ketemu lagi Vania, sama si beringsit... yang tak punya hati... jangan... layan dia Vania... buat bodoh saja... pasti si penjahat terkejut kan... kuatkan semangat Vania jangan pula Fitnah terjadi... semoga si berigsit tidak melakukan perkara bejat lagi... lanjuutt.
2023-05-14
1