Rumah sederhana terletak di gang kecil, di pijak empat orang anak berseragam sekolah. Tangis memilukan menusuk ke dalam hati terdalam, seorang ibu-ibu dengan daster abu-abu kejer menangisi sesosok gadis remaja baru keluar dari ambulans, yang menjadi tanda jika gadis cantik itu telah tiada dengan cara keji sangat menautkan kejanggalan mendalam.
Pelayat di gang padat datang satu persatu membungkus rumah kecil itu dengan kerumunan manusia, mereka melakukan itu atas dasar kemanusiaan tinggi, sifat tenggang rasa dan simbiosis mutualisme mengental di darah yang hingga saat ini mereka pegang erat-erat. Juga, sikap mencerminkan nilai bhineka tunggal Ika lengkap dengan norma-norma Pancasila yang masih di gunakan di kehidupan sehari-hari. Sikap untuk tolong menolong atas sesama umat manusia masih ada di dalam lubuk hati.
Tak ada cahaya terang yang terlihat di wajah-wajah lesu tersebut. Terpapar genangan air mata yang menetes satu demi satu, tatkala anak di kenal dengan kutu buku, jarang berbicara, serta sibuk belajar meninggal dengan ironis, muncul banyak pertanyaan yang menghantui di kepala.
Clara Ayuda Pratama sebagai sosok teman sekaligus sahabat terbaik hanya melihat dengan punggung bergetar di sertai tangisan mengeras. Mayat gadis berambut pendek itu terbaring dengan tubuh kaku dan mata terpejam kuat.
Erangan keras luput dari bibir ibu paruh baya yang di kenal dengan ibu Rahma, selaku ibu mendiang almarhumah Jia yang seperti orang kesetanan saat mendengar kabar kurang sedap menyangkut buah hati.
Sejak masih belia, Jia hidup dan tinggal bersama kakek dan neneknya. Di umur 8 tahun Jia mendapat kenyataan buruk di mana sang kakek harus Tuhan ambil karena faktor penyakit paru-paru yang telah menghentikan pergerakan mata untuk terbuka. Kehidupan Jia tak semanis yang di kira, ia jauh dari kedua orang tua, mereka menjadi TKW di Malaysia. Namun sejak 3 tahun belakangan ini, mereka sudah kembali di dalam dekapan tapi tetap saja senyum manis di bibir Jia pudar hampir seluruhnya, tercatat itu terjadi beberapa tahun belakangan, sejak menduduki bangku sekolah menengah atas.
"JIAAAA!"
"JIAAA ANAK KU. KAMU KENAPA NAK!" Di iringi tangis yang menyayat hati, ibu mana yang kuat melihat anak satu-satunya telah di kabarkan pulang dalam keadaan tubuh bersimbah darah, beberapa bagian tubuh, tepatnya di dada sebelah kiri di temukan lubang dalam yang menebus ke jantung. Cairan berwarna merah turun merembes ke baju putih berlapis almamater hitam sekolah yang Jia kenakan.
Dengan sekuat tenaga, berserta tambahan luka di padu air mata, Bu Rahma menggoyangkan tubuh telah kaku dan dingin seperti es di kutub Utara. Masih tidak terbayang di benak, anak yang di besarkan dengan susah payah di dalam ekonomi sulit menyergap, mati tanpa alasan jelas yang menimbulkan asumsi-asumsi dari pihak-pihak keluarga dan kerabat serta publik.
Deraian air mata mengalir di tiap orang yang hadir di rumah duka dengan bendera kuning terpasang di depan gang.
Detik-detik jam dinding telah berlalu, tangisan air mata itu kembali menjadi-jadi, saat tubuh gadis yang masuk peringkat 10 besar setiap tahunnya di bungkus peti mati dan di gotong menuju pemakaman umum.
Saat-saat yang menegangkan sekaligus menakutkan terjadi. Ketika sosok bernama lengkap Maria Sheljia telah masuk ke liang lahat, sebuah papan berbentuk salip menjadi batu nisan gadis yang tewas di lapangan sekolah pagi hari ini.
Berbagai bunga mengisi gundukan tanah masih baru, di sertai tangis yang tak pernah terhenti. Sosok Clara Ayuda Pratama menatap sendu makam mendiang sahabat yang kini tubuhnya tak bisa di peluk lagi.
Detik-detik saat peti mati berisikan Jia di bawa pergi, Bu Rahma jatuh pingsan dan tak sadarkan diri. Syok masih menikam dada sampai jiwa tak bisa di kontrol dengan sempurna.
Satu demi satu berangsur-angsur pergi para pelayat dengan busana hitam khas duka. Tersisa empat orang anak SMA Gloriacastra masih tertangkap berada di pemakaman umum.
Clara berjongkok, menatap kosong ke arah tubuh yang sudah mati tapi jiwa masih di sebut hidup karena menari dan teringkas dalam sebuah kenangan."Jia, kenapa secepat ini lo ninggalin gue. Kenapa lo ninggalin gue sendirian, kenapa lo gak ngomong kalau lo punya masalah. Kenapa lo simpen semua masalah lo sendiri, lo nganggep gue apa? Kenapa gue merasa gak ada gunanya di sini. Lo sakit, dan lo gak ngomong sama gue. Kenapa Jia? Kenapa lo seolah-olah bersikap menghadapi semua masalah lo dan berkeyakinan lo akan menang. Sekarang apa? Lo kalah, karena dia terlalu berbahaya."
Di sudut pohon rindang, setetes air mata jatuh, tuturan kata membekas dalam di jiwa. Saat semua masalah terpendam sempurna, rasanya sangat menyakitkan, ketika di sakiti tapi tak pernah mati. Saat ingin mengutarakan, banyak rintangan yang membuat diri kembali memendam. Hingga pada akhirnya semuanya berakhir pedih, tapi imbasnya tetap menyebar luas.
Pancaran mata sayu di kedua netra hitam sosok berwajah pucat pasi lengkap dengan seragam sekolah terpatok sempurna ke arah gadis yang tak berhenti mengeluarkan lelehan kristal.
"Maafin gue Clara. Gue gak bisa, maaf gue gak bisa menyampaikan semuanya sama lo. Karena di sini, lo gak terlibat, dan semua yang terjadi sama gue saat ini, terjadi atas kesalahan gue sendiri." Ucap Jia yang telah menjadi arwah, hanya bisa memandang tanpa bisa kembali tersenyum bersama sahabat terbaik.
Isak tangis keluar tak ada hentinya dari bibir mungil Clara. Gadis bermata hazel itu tak mampu berkata-kata saat dunia menghadirkan duka di kehidupan nyata yang menggerogoti rasa.
Usapan lembut di lakukan pemuda berambut cutrain cut, dengan hidung mancung dan tubuh tinggi putih yang di beritakan juga ada di tengah persahabatan terbentuk beberapa tahun dengan total personil 3 orang. Pandangan kosong itu menandakan jika luka dahsyat telah terpendam hebat, menahan dengan sekuat tenaga, menjadikan luka itu bukan awal mula kehancuran.
Dia Steven Kenzuela Nagaswara. Pemuda di sapa Steven yang berkawan baik dengan Jia dan juga Clara. Sekelas bersama membuat mereka terlihat selalu bersama dengan banyak candaan yang di lakukan bersama-sama pula. Tapi hari ini, tinggalah mereka berdua yang hanya bisa melihat makam Jia tanpa kehadiran sosoknya.
"Lo tega, lo jahat. Kenapa lo ninggalin kita. Kenapa lo sampai kayak gini, apa yang udah terjadi sama lo." Terpukul kuat oleh kenyataan dunia mengenai sahabat terbaik. Kala manik mata hazel menatap tanpa berbuat apa-apa, itulah saat-saat diri sendiri seperti orang yang tidak berguna lagi.
Angkasa, pemuda itu menatap dan melihat jelas dari empat pasang mata dua sejoli yang memiliki hubungan pertemanan kuat dengan korban meninggal tak wajar. Terdeteksi ketulusan tiada tara mereka keluarkan demi satu sosok yang telah merenggang nyawa.
"Lo beruntung Jia. Gue katakan hidup lo beruntung karena di saat lo gak ada, masih ada yang gak rela lo pergi. Teman-teman lo baik, lo bersama dengan orang yang tepat selama ini. Dan itu sangat sulit di temukan, karena banyak yang mengaku teman tapi aslinya musuh bebuyutan paling menakutkan. Gue harap lo tenang di alam sana." Batin Angkasa hanya bisa menyaksikan dengan sekumpul luka menganga di dada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 311 Episodes
Comments
Yeyet Faranova
seru lanjutkan
2024-02-20
0