Akibat Dilarang KB
Kedua mataku terbelalak kaget saat melihat hasil dari benda yang ada di tanganku, dua garis merah membuatku pusing. Aku mengucek mata berharap kalau hasilnya salah, bukan karena aku tidak menginginkan anak. Tapi saat ini benar-benar menundanya dulu, sebab anakku masih sangat kecil.
Ya, aku memiliki dua anak yang hanya berjarak satu tahun. Usia anak pertamaku satu tahun lima bulan, dan anak keduaku baru menginjak usia lima bulan. Aku menarik rambut merasakan frustasi, mengurus dua anak saja sudah membuatku lelah dan sekarang bertambah anggota semakin membuatku terpuruk.
Jangan tanyakan mengapa aku tak melakukan KB, ini semua larangan dari suamiku yang tidak ingin aku menghambat kehamilan. Dia pernah bercerita, mempunyai seorang teman yang istrinya ikut ber-KB. Kalian pasti tahu apa yang di maksud suamiku itu, ya … dia mengatakan kalau istri temannya itu sejak ber-KB tubuhnya menjadi gemuk.
Memang semuanya tidaklah mudah, antara perintah suami dan keinginanku untuk menghambat kehamilan memicu pertengkaran di antara kami, hingga akhirnya aku mengalah. Aku mencoba untuk melakukan KB pengaman dengan mengeluarkannya di luar, tapi suamiku tetap bersikeras melakukannya di dalam.
"Hah." Aku menarik nafas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan, melihat hasil testpack yang positif.
"Tari, apa hasilnya? Cepatlah keluar!"
Aku mendengar suara mas Angga memanggil namaku, di sertai ketukan pintu yang semakin membuat aku kesal.
Buru-buru aku keluar dari kamar mandi dan membukakan pintu, wajahku yang cemberut menatapnya di mengerti.
"Kamu hamil?"
Aku tidak menjawab dan menyerahkan hasil testpack di tangannya, mendekati bayiku yang baru berusia lima bulan tengah tengkurap.
"Yes. Kita jadi orang tua lagi, Sayang."
Mas Angga begitu senang mendengar kehamilanku yang ketiga, sangat berbanding terbalik dengan ku yang rasanya tidak sanggup mengurusnya sendiri.
"Kok cemberut gitu sih? Harusnya kamu senang di beri kepercayaan lagi untuk hamil anak ketiga kita. Banyak di luaran sana belum punya anak, masih dalam penantian mereka."
Bukan aku membenci janinku, tapi lebih tepatnya aku harus tetap waras.
"Mas, anak kita masih kecil-kecil lho. Kamu kira gampang merawat mereka, apalagi mereka rewel di saat bersamaan."
"Yah itukan tugasmu sebagai ibunya, gimana sih."
"Tapi aku belum siap Mas, aku masih trauma yang namanya sakit kontraksi juga obras luar dalam."
"Jangan menolak rezeki yang diberi Tuhan pada kita."
Lagi-lagi masa Angga tetap pada sudut pandangnya, dia tidak pernah melihat ke sudut pandang ku. "Aku bukannya menolak, dua anak saja aku kerepotan."
"Alah, baru dua anak aja kamu udah mengeluh. Lihat ke arah lain, banyak kok suami istri yang anaknya sampai di atas lima atau di atas sepuluh."
Begitulah suamiku yang pintar sekali memberikan nasehat, tapi dia lupa memahamiku sebagai seorang istri. Bagaimana tidak? Mas Angga tidak pernah mengurus anak-anak, bahkan di saat aku sedang sakit.
"Tapi aku perlu menjaga kewarasan ku Mas."
"Stop! Jangan banyak mengeluh tapi syukuri apa yang kita raih saat ini."
Aku melihat kepergian mas Angga yang menghilang di balik pintu, seketika air mataku menetes. Dia tidak pernah memahamiku dan hanya selalu mengikuti kemauannya, bahkan dalam masalah ber-KB. Jujur saja aku sangat lelah menghadapi sikapnya yang begitu seenaknya, memintaku tidak menghambat kehamilan tapi tidak pernah ikut andil dalam mengurus anak-anaknya.
Aku menyeka air mata yang membasahi kedua pipi, segera aku menimang anak bungsuku karena sekarang jadwalnya tidur siang. Menghela nafas berat saat menanggung semuanya sendiri, sedangkan suamiku sendiri lebih memilih berkumpul dengan teman-temannya setelah sepulang kerja. Mana mau dia mengurus anak-anaknya di saat aku melakukan pekerjaan rumah, kalau salah satu anakku menangis di sebelahnya dia tak peduli dan hanya memanggilku.
"Tari … Tari." Pekik mas Angga memanggil namaku.
Aku meletakkan anak bungsuku ke dalam baby box dan segera berlari menemuinya. "Iya Mas, ada apa?" tanyaku penasaran.
"Kamu masih tanya ada apa? Lihat tuh, pakaian sekeranjang penuh belum di setrika. Pakaian di lemari juga sudah tidak ada, semuanya belum di setrika." Protesnya.
"Eh, tapi aku sudah melihatnya Mas." Aku sangat heran mengapa pakaian di dalam keranjang sangat banyak, padahal aku sudah melihatnya sebagian. Aku menatap mas Angga bingung, mungkin saja dialah pelakunya. Kalau bukan suami ku, lalu siapa lagi? Itulah yang ada di pikiranku.
"Aku yang meletakkan pakaian di lemari ke dalam keranjang." Ucapnya yang paham apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.
"Tapi mengapa Mas?"
"Kamu lupa ya … aku hanya memakai pakaian yang sudah rapi di setrika."
"Masih untung sudah di lipat, tapi Mas malah menambah pekerjaanku." Rungut ku kesal.
"Mulai … mulai deh, heran. Apa susahnya setrika pakaian, toh kebersihan sebagian dari iman."
"Tapi lihat juga kondisinya gimana. Aku yang mengerjakan pekerjaan rumah, mengurusmu dan juga anak-anak. Sedangkan kamu? Bantu momong anak rewel aja gak mau, malah sibuk sama ponsel."
Ingin sekali aku berteriak di depan mas Angga, sangat susah mencuri waktu melipat pakaian di dalam keranjang dan dengan mudahnya mengeluarkan seluruh isi lemari agar aku menyetrikanya.
"Susah ngomong sama istri yang tidak tahu tugasnya."
Setelah kepergian mas Angga, aku mengelus dada berusaha untuk tetap sabar. Dia mengira kalau pekerjaan rumah sangatlah mudah, karena pasalnya itu semua pekerjaan seorang istri. Tapi aku menyebutnya pembantu, hanya aku yang selalu sibuk dari subuh hingga ke subuh. Bahkan bulan pertama si bungsu sangatlah berat aku pikul sendiri, selalu begadang sementara suamiku bermain ponsel tanpa ingin membantu.
Aku buru-buru berlari saat mendengar tangisan dari anak pertamaku, menggendongnya dan memberikan pelukan hangat untuk rasa kenyamanan juga kedamaian yang juga bisa aku nikmati.
"Aku segera menuju dapur dan mengambil makanan, setelah bangun tidur siang anakku selalu ingin makan."
Baru dua sendok aku menyuapi Raja, tiba-tiba aku mendengar suara tangisan Ratu. Aku berlari dan momong bayiku, memberikannya susu formula sambil menyuapi anak pertama. Aku menatap lurus sambil mengingat nasibku yang sudah menjadi ibu dari dua orang anak yang sebentar lagi ibu dari tiga orang anak.
Aku mengingat bagaimana awal pernikahanku dengan mas Angga, dia mengatakan akan membantuku di setiap kesulitan dan juga berjanji akan membantuku merawat anak-anak. Tapi janji hanyalah sebuah janji palsu terucap, aku yang saat itu di mabuk cinta menganggapnya pria yang hangat dan calon suami idaman.
Benar kata orang, di pernikahan lima tahun kebawah merupakan masa-masa sulit. Jika tak mampu mengendalikannya maka rusaklah rumah tangga itu dan yang menjadi korbannya adalah anak-anak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Hasian Marbun Ian ayurafanisa
kb nya sembunyi donk
2023-07-15
1
nana
loak an aja suami seperti itu..
2023-06-02
1
😘Mrs. Hen😘
baru baca ko udah dibuat gemes ya sama kelakuan angga...
2023-06-01
2