Realita

Siang itu matahari sangat terik memancarkan sinarnya. Sepertinya posisinya sedang tepat di atas ubun-ubun kepala. Bahkan, sinar teriknya menembus jendela-jendela kaca. Untung saja pendingin udara di ruang kerja Ranum bekerja dengan baik. Ia tidak bisa membayangkan orang-orang yang harus bekerja di luaran sana. Bermandikan keringat dan berselimutkan panasnya terik mentari.

Siang ini nampak sedikit tak seperti biasanya. Teriknya matahari disambut kelengangan siang yang sunyi dan sepi. Karena diantara orang-orang yang ada, mereka sedang khusyuk dengan tugas dan kewajibannya masing-masing.

Hingga waktu menjelang makan siang yang hampir tiba, Ranum segera bergegas ke ruangan Pak Andre untuk menyerahkan sebuah berkas yang harus di tanda tangani olehnya hari itu juga.

''Aku ke ruangan Pak Andre dulu.'' pamit Ranum pada Maya.

''Hm.'' jawab Maya sambil matanya tetap fokus pada komputer di mejanya.

Ranum memilih untuk menaiki lift agar lebih cepat untuk sampai di lantai empat. Begitu tiba di lantai yang dituju dan setelah pintu lift terbuka, Ranum segera melangkahkan kakinya keluar dari lift. Dan pada saat yang bersamaan, nampak Agam dan juga Hardy, asisten pribadi Agam yang sedang menunggu pintu lift mereka terbuka. Lift yang berbeda dengan apa yang sedang Ranum gunakan tentunya. Karena lift yang Agam gunakan adalah lift yang memang khusus disediakan bagi para petinggi perusahaan.

Ranum menghembuskan nafasnya kasar. Ia pun bersikap acuh seolah-olah tidak ada siapapun di sana. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan keberadaan atasannya itu.

''Bos, apa kalian sedang bertengkar?'' tanya Hardy begitu mereka masuk ke dalam lift.

''Bukan urusanmu.'' jawab Agam ketus.

''Bukan urusanmu!'' beo Hardy dengan sangat lirih dan nyaris tak bersuara.

''Padahal kan ini akan menjadi urusanku juga. Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan membantunya.'' ucap Hardy dalam hatinya.

''Kenapa melihatku seperti itu!'' ucap Agam ketus menyadari apa yang sedang asistennya lakukan di belakangnya.

''Tidak bos.'' jawab Hardy dengan senyumnya yang lebar.

Agam pergi meninggalkan kantor bersama dengan Hardy. Mereka menuju sebuah tempat yang letaknya tak begitu jauh dari perusahannya.

''Bos, sebenarnya sudah jelas bukan terkait bukti yang saya berikan kemarin?'' ucap Hardy dari balik kemudinya.

''Ya, kamu benar. Tapi aku membutuhkan bukti yang lebih valid lagi.'' jawab Agam.

''Baiklah..''

Dua puluh menit telah berlalu. Agam dan juga Hardy telah sampai di sekolah Elzein. Setelah meminta izin pada kepala sekolah untuk menemui Elzein, Agam segera membawa Elzein ke luar dari kelasnya.

''Papa!'' seru Elzein begitu melihat Agam.

''Hai, jagoan.''

''Om Hardy juga ikut ke sini?'' tanya Elzein.

''Tentu saja, om juga ingin bertemu denganmu.'' jawab Hardy.

''Apa kalian berdua merindukanku?'' tanya Elzein.

''Tentu saja!'' jawab Agam dan Hardy kompak.

''Kalian sangat kompak!'' ucap Elzein dengan terkekeh.

''Papa, papa kenapa pulang begitu saja kemarin?'' tanya Elzein.

''Trus setelah papa pergi kenapa mama menangis? Apa mama tidak senang jika El bermain bersama papa?'' tanya Elzein sendu. Ia memeluk lelaki di hadapannya itu dengan erat.

''Maafkan papa, nak. Sepertinya papa datang terlalu pagi kemarin, mungkin mama kamu malu karena kedatangan papa yang tiba-tiba. Kan mama kamu belum mandi dan berdandan.'' jawab Agam dengan terkekeh.

''Benar juga.'' sahut Elzein manggut-manggut.

''Lihatlah, papa bawa ini untuk kamu.'' Agam memberi kode pada Hardy untuk menyerahkan sebuah paper bag pada Elzein.

''Wah, ini kan lego keluaran terbaru!''

''Terima kasih papa. El sangat senang.'' seru Elzein.

...----------------...

Di sudut lain di kota itu, Ranum dan Maya baru saja menghabiskan makan siang mereka di kantin kantor. Mereka berjalan beriringan menuju ruang kerja mereka dengan diselingi candaan-candaan yang menurut mereka terasa sangat lucu yang mampu menghasilkan tawa.

Namun, tiba-tiba saja ponsel Ranum pun berdering dari balik saku celananya.

Kring! Kring!

''Hallo? Ya dengan saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?'' jawab Ranum.

''Apa! Baiklah, saya akan segera ke sana.'' Ranum mengakhiri panggilan itu.

''Ada apa?'' tanya Maya ikut cemas.

''El jatuh saat bermain di sekolah. Aku harus segera ke rumah sakit untuk melihat keadaannya.'' jawab Ranum cemas.

''Aku ingin ikut dengan mu, tapi sepuluh menit lagi aku harus pergi meeting.'' ucap Maya menyesal.

''Tak apa. Jangan mencemaskan El, semoga semua baik-baik saja. Dan maaf aku tidak bisa menemanimu meeting setelah ini.'' kata Ranum.

''Hm, pergilah. Hati-hati.'' jawab Maya.

Ranum melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Kebetulan siang itu jalanan kota memang sedikit lengang. Ranum segera berlari menuju IGD rumah sakit.

Saat ia tiba di sana, Ranum tidak menyangka jika ada Agam yang juga sedang berdiri di depan pintu ruang gawat darurat.

''Ngapain kamu di sini?'' tanya Ranum penuh selidik.

Belum sempat Agam menjawab pertanyaan Ranum, Hardy muncul dari balik pintu.

''Dia banyak kehilangan darah bos dan harus segera dilakukan tindakan secepat mungkin. Tapi dokter bilang stok darah di rumah sakit saat ini sedang kosong.'' ucap Hardy begitu keluar dari IGD.

Sontak saja begitu mendengar apa yang Hardy katakan semakin membuat perasaan Ranum menjadi makin tak karuan memikirkan keadaan putranya itu.

''Ambil saja darahku.'' sahut Agam.

''Baik, bos.''

''Jangan!'' seru Ranum.

''Kenapa? Aku hanya ingin mendonorkan darahku. Apa salahnya?'' ucap Agam.

''Tidak, tidak boleh!'' seru Ranum lagi.

''Hardy antar aku menemui dokter. Lakukan pemeriksaan secepat mungkin agar dokter bisa segera mengambil darahku.'' kata Agam.

''Baik, bos.''

Agam berjalan meninggalkan Ranum, sementara Hardy mengikutinya di belakang.

''Tunggu!''

Agam menghentikan langkah kakinya.

''Apa lagi?'' ucap Agam dingin.

''Kamu tidak boleh mendonorkan darah untuk El!''

''Ayah kandung tidak boleh mendonorkan darah untuknya!'' ucap Ranum dengan sudut matanya yang mulai memerah.

Suasana mendadak sunyi. Hanya suara isak tangis yang nampak tertahan dari bibir Ranum yang kini mulai terdengar.

Kring! Kring! Kringg!

Pertanda sebuah panggilan telepon masuk pada ponsel Ranum.

''Bu Alice?'' gumam Ranum mengeja nama orang yang menelponnya.

Ranum pun segera menggeser tombol hijau pada layar ponselnya itu.

''Ya, hallo?'' jawab Ranum sambil menyeka air matanya.

''Maaf bu Ranum, Elzein tadi terjatuh saat bermain bersama temannya di sekolah. Kami sudah membawanya ke rumah sakit. Dokter sudah memeriksa dan memberikan plester pada luka di lutut Elzein. Bu Ranum tenang saja, kata dokter Elzein baik-baik saja kok hanya luka kecil dan akan segera sembuh.'' ucap bu Alice dengan lembut.

''Oh ya bu Ranum, sekali lagi saya mewakili pihak sekolah memohon maaf pada bu Ranum karena sudah lalai menjaga Elzein. Ibu Ranum tidak perlu cemas.'' ucap bu Alice dari balik telepon.

''Ya, terima kasih.'' jawab Ranum lirih.

Ranum pun terdiam untuk sesaat setelah mendengarkan penjelasan bu Alice, guru kelas Elzein. Setelah itu, ia berganti menatap ke arah Agam dengan raut kemarahan di wajahnya.

Terpopuler

Comments

Ersa

Ersa

hehe koq bener sih🤭

2023-08-13

1

satblu gaming

satblu gaming

omg 😆😆😆

2023-05-17

2

Kanjeng ayu

Kanjeng ayu

tuh kan. bener... udah ku duga, agam pasti papanya El

2023-05-13

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!