Jasmine berteriak keras dan refleks melempar sesuatu yang dijinjingnya di dalam sebuah kantong plastik berwarna hitam. Tubuhnya terlihat gemetaran. Sebuah sepeda motor yang melaju kencang hampir saja menabraknya.
"Woooyyy!!" Seorang pemuda remaja pejalan kaki meneriaki pengendara motor itu dari sisian jalan. Yang kemudian memicu orang-orang di sekitaran untuk mendekat ke arah Jasmine.
Si pengendara menoleh sekilas ke arah remaja itu, lalu tersadar. Dia kembali dari keterkejutan setengah matinya.
Tanpa membuka helm-nya, ia turun dari motor lalu menghampiri Jasmine.
“Nona gak papa?!"
Dengan kaku dan masih gemetar, Jasmine menggeleng. "Aku gak papa," jawabnya sama gemetar. Wajahnya tertunduk untuk menghindari tatapan semua orang yang kini mengelilinginya.
"Syukurlah." Si pengendara, yang ternyata adalah Austin, terlihat menghela napas lega. “Tenang semua, saya akan bertanggung jawab.”
Mereka mengangguk lalu membubarkan diri. Karena Jasmine juga masih terlihat baik-baik saja.
Remaja lelaki berkulit hitam pejalan kaki berdiri di samping Austin. "Om, gentiin dah tu. Kesian, makanannya ancur noh!" Telunjuknya mengarah ke suatu tempat, di mana kantong plastik milik Jasmine tergeletak mengenaskan. Seluruh isi yang terdiri dari sebungkus nasi dengan sepotong kecil ikan tongkol beserta kuah kuningnya itu terhambur berantakan di tengah jalan.
Austin dan Jasmine menoleh bersamaan mengikuti telunjuk si pemberitahu.
Seketika Jasmine terhenyak, lalu menundukan kepala. Setitik air mata jatuh menggelinding melewati pipi tirusnya.
Austin menatapnya penuh rasa bersalah. "Maaf, sebentar aku beliin yang baru."
"Nggak perlu! Makasih," tolak cepat Jasmine. "Permisi!" Lalu melanting pergi meninggalkan tempat itu. Tak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi canggung yang mungkin bisa membongkar segala kelemahannya--menciptakan keprihatinan di mata pria itu dan semua orang.
"Tunggu!" Telapak tangan Austin melayang menggapai udara kosong--mencegah wanita itu untuk pergi. Namun langkahnya untuk mengejar terhenti. Suara decit klakson dari mobil di belakangnya mengusik situasi. Ia menoleh ke arah mobil, ke motornya yang menyilang, lalu ke arah wanita itu lagi. Namun sayang, tubuh itu telah menjauh lalu menghilang di telan jarak.
"Kalo Om mau genti makanannya, cewek itu tinggal di bantaran kali di bawah sana, Om," ungkap remaja tadi memberitahu. "Dia pemulung. Kasian, lagi hamil gak ada lakinya! Dia pasti kelaperan tuh, Om!" Dia berbalik, untuk kemudian berlalu dari sana meneruskan langkah yang sempat tertunda.
Informasi itu cukup mencubit titik rapuh dalam diri Austin.
🦠🦠🦠🦠
Setapak jalan berupa bebatuan yang dibuat berundak menyerupai tangga sejauh kurang lebih lima meter, ditapaki Austin dengan langkah hati-hati--menuruninya.
Setelah sebelumnya pria itu menitipkan motornya pada pemilik bengkel bubut, di bahu jalan tak jauh darinya. Dengan alas sehelai uang lima puluh ribuan sebagai ganti jasa penitipan.
Sebuah kantong berwarna putih berisi satu box nasi padang, juga beberapa makanan dan minuman lainnya, terayun riang di telapak kanan tangannya.
Setelah mencapai anak tangga terakhir, Austin mulai mengedar pandang mengamati sekitar dengan tampang bingung. Terlalu banyak bangunan-bangunan serupa yang berdiri serampangan. Keseluruhan bangunan itu terbuat dari bahan-bahan nyaris sama; seng berkarat, kardus bekas, juga kayu-kayu limbah yang ditempel asal-asalan, berjejer memadati area di sekelilingnya.
Setiap tapak kakinya teriring ringisan di wajah. Sampah-sampah berserak beragam jenis yang mungkin tak pernah dibersihkan--bertumpuk dan bertebaran di mana-mana. Ini jelas lingkungan tak biasa bagi Austin.
Ia mulai berkeliling mencari. Memutar kepalanya kiri dan kanan, depan juga belakang. "Yang mana rumahnya?" tanya Austin, lebih kepada dirinya sendiri.
"Hello, Mister!"
Austin tersentak, spontan menghela tubuhnya cepat menghadap pemilik sapaan itu.
Seorang anak remaja kurang lebih lima belas tahunan usianya, bergaya rocker jalanan, bertelanjang dada. Bagian bawah tubuhnya ia balut dengan celana jeans ketat berwarna merah terasi--mirip cacing tanah berkepala manusia.
Austin mengamatinya dari atas hingga ke bawah. Rambut bercucuk tiga berwarna-warni, tersusun dari ujung kening hingga ke kepala belakangnya. Tindikan dengan anting-anting stainless di bibir juga telinga yang berjejer lebih dari satu, serta uku lele yang digenggam sembari dimainkannya pelan tanpa lagu, berdiri di dekatnya cengengesan.
"Mister, syedang appa di syini?" Bukannya menggunakan bahasa Inggris, bocah itu malah bertanya dengan aksen nada dicadel-cadelkan, meniru bagaimana umumnya para bule ketika mengucapkan bahasa Indonesia--tak lancar.
Wajah terkejut Austin perlahan berganti senyuman geli menanggapi decitan bocah berandal di hadapannya. Ia cukup hafal tampang-tampang semacam itu di kota ini.
"Lu tau cewek bunting, mukanya manis ...." Austin mulai bertanya, sesaat nampak berpikir seraya mengingat ciri-ciri wanita yang ingin ditemuinya. ".... Ah, iya!" Mengacungkan telunjuknya ke depan wajah bocah itu. "Dia pemulung! Kata orang di jalan tadi, itu cewek tinggal di sekitar sini, sendiri. Kagak ada lakinya," jelasnya ramai lancar.
Bukan jawaban pasti terhubung pertanyaannya yang didapat Austin, kicauannya itu malah membuat remaja berandal bertubuh mungil di depannya terpelongo seperti mujair kehabisan air. Wajah kusamnya nampak seram dengan mulut menganga lebar. "Busseehh," katanya. "Bule ... mulutnye ude kek petasan korek Haji Ukat!"
Austin terlihat mengernyitkan wajah mendengar kalimat bocah itu. Sesaat ia membeku seraya menggaruk pelan pelipisnya yang tak gatal.
"Segala Haji Ukat dibawa-bawa," kata hatinya geleng-geleng. "Jadi gimana, lu tau gak, di mana 'tu perempuan tinggal?!" Lalu menegaskan pertanyaannya.
"Kalo pokalis sepenpol bisa gua ajak ngomong modelan ni bule, jadi jutawan udah gua," anak jalanan itu masih dalam modenya, kembali bergumam konyol dengan bibir kedat-kedut lucu, tatapannya kosong berimajinasi. "Bisa gua ajak ngamen di Pasar Rebo."
Austin membuang wajahnya jengah. Kini ia mengamati bocah itu memalui ekor matanya. "Ya kali gua kayak lu."
"Temenin gua ngamen ngape, Bang Bule?!"
Loh loh loh!
Sesaat dibetulkannya kacamata bulat bening bertungkai hitam yang sedari awal ia kenakan, Austin mulai merasakan perangai tak beres pada bocah jalanan itu. "Gendeng ini bocah!"
Merasa akan membuang-buang waktu meladeninya. Ia lalu membalik tubuh hendak meninggalkan bocah sengklek itu tanpa permisi, namun ....
"Gua denger, wooyy! Apaan lu kata gua gendeng?!" Bocah urakan itu meneriakinya cukup keras walau jarak mereka masih cukup dekat.
Austin hanya sekilas menoleh lalu melanjutkan kembali langkahnya--tak peduli. Ia merasa salah memilih orang untuk bertanya.
"Namenye Kak Jasmine," tiba-tiba bocah itu berseru mengungkapkan. "Dia tinggal di rumah seng paling ujung di pinggir kali sono." Wajahnya ia arahkan ke suatu arah. "Cuma dia satu-satunya cewek yang lagi bunting di mari!"
Dalam bekunya Austin menatap bocah itu. "Ngapa gak dari tadi lu bilang, Kampreet!!" geramnya jengkel. Ia merogoh sesuatu dari dalam saku jaket merah yang dikenakannya--mengambil sesuatu. "Nih, lu ambil!" Sehelai uang pecahan lima puluh ribuan ia lemparkan ke arah bocah itu.
HAP!
"Anjim! Duit!" Si bocah urakan berseru kegirangan seraya menjembreng uang yang ditangkapnya dari tangan Austin di depan wajah. "Mayan ... buat beli tahu gejrot!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Han
cewek bunting gak tuh 😭 Austin ngakak
2023-05-10
1