Tidak lama kemudian nama kakek dipanggil kembali. Rahma langsung berdiri dan menghampiri karyawan apotik. Karyawan apotik memberikan sejumlah obat kepada Rahma. Rahma membawa obat tersebut dan kembali ke tempat duduk.
Rahma berdiri di depan kakek. “Saya obati dulu kaki kakek.” Rahma jongkok di depan kakek lalu mengoleskan salep di kaki kakek yang memar. Setelah kaki kakek diobati Rahma kembali duduk di kursi.
“Nanti di rumah dikasih salep lagi biar cepat sembuh!” ujar Rahma. Rahma memberikan plastik obat ke kakek.
“Rumah Kakek dimana?” tanya Rahma.
“Di jalan Nyland,” jawab kakek.
“Kakek ke sini naik apa?” tanya Rahma.
“Jalan kaki sendiri,” jawab kakek.
Jalan Nyland lumayan jauh dari jalan Padjadjaran, apalagi kakek ini jalan sendirian. Sungguh ceroboh keluarga kakek ini, pikir Rahma.
“Lain kali jangan pergi sendiri, harus ada yang menemani! Nanti keluarga kakek tidak ada yang tahu kalau terjadi sesuatu pada Kakek,” ujar Rahma.
“Iya, nanti Kakek akan minta di antar,” kata kakek.
“Sekarang kita pulang,” ujar Rahma.
Rahma langsung berdiri dari tempat duduk dan membantu kakek untuk berdiri. Ia memapah kakek keluar dari rumah sakit. Tiba-tiba terdengar perut kakek berbunyi. Kakek menjadi malu karena suara perutnya terdengar oleh Rahma. Rahma tersenyum mendengar suara perut kakek.
“Kakek lapar, ya?” tanya Rahma.
“Iya. Kakek belum sarapan,” jawab kakek.
“Kakek suka bubur ayam, nggak?” tanya Rahma.
“Suka,” jawab kakek.
“Di depan ada bubur ayam enak. Kita sarapan di sana. Rahma juga belum sarapan,” ujar Rahma.
Rahma memapah kakek menuju ke penjual bubur ayam. Kakek jalan dengan perlahan dan hati-hati. Kakek tidak ingin kejadian tadi terulang kembali. Mereka sampai di penjual bubur. Rahma membantu kakek duduk di kursi.
“Mang, bubur ayam dua!” kata Rahma.
Penjual bubur menoleh ke arah Rahma. Ia langsung tersenyum ketika melihat Rahma.
“Eh, Neng Rahma. Tumben belum berangkat ke kantor. Biasanya pagi-pagi sudah ke kantor,” ujar penjual bubur ayam.
“Tadi saya ke rumah sakit dulu, Mang. Antar kakek ke rumah sakit,” kata Rahma.
Kakek memperhatikan pembicaraan Rahma dengan penjual bubur. Gadis itu selalu ramah pada setiap orang.
“Oh, kakek Neng Rahma sedang sakit?” tanya penjual bubur.
“Iya, Mang,” jawab Rahma.
“Seperti biasa buburnya, Neng?” tanya penjual bubur.
“Iya, Mang,” jawab Rahma.
Rahma menoleh ke kakek itu. “Kakek, buburnya mau pakai apa? Telor atau ati ampela? Atau mau pake dua-duanya?” tanya Rahma.
“Pakai telur saja. Jangan pakai kacang,” jawab kakek.
“Mang! Yang satu pakai telur, jangan pakai kacang!” kata Rahma kepada penjual bubur.
“Siap, Neng,” jawab penjual bubur. Mereka menunggu pesanan mereka dibuat.
“Rahma.” Kakek memanggil Rahma.
“Iya, Kek?” tanya Rahma.
“Boleh Kakek pinjam ponselnya?” tanya kakek.
“Tentu saja boleh.” Rahma mengambil ponselnya yang berada di dalam tas lalu diberikan kepada kakek.
Kakek menekan nomor telepon rumah lalu menghubungi nomor tersebut. Kakek berbicara dengan seseorang melalui telepon. Beberapa menit kemudian kakek mengakhiri pembicaraannya. Ia mengembalikan ponselnya kepada Rahma.
“Terima kasih sudah dipinjamkan ponsel,” ucap kakek.
“Sama-sama, Kek,” jawab Rahma.
Bubur pesanan mereka sudah siap, penjual bubur menghidangkan di atas meja. Rahma dan kakek menyantap bubur mereka. Tiba-tiba sebuah sebuah mobil sedan mewah berhenti di depan lapak penjual bubur. Seorang laki-laki sekitar berusia empat puluh tahunan turun dari mobil sambil membawa sebuah pounch yang terbuat dari kulit. Laki-laki itu menghampiri kakek.
“Ini Pak dompetnya.” Laki-laki itu memberikan pounch kepada kakek.
“Terima kasih,” ucap kakek.
“Pak Lilih sudah makan, belum?” tanya kakek sambil memakan bubur.
“Sudah, Pak. Tadi dikasih nasi goreng sama Bi Wiwiek,” jawab Pak Lilih.
“Hampir setiap hari kamu makan nasi goreng. Nanti saya suruh Bi Wiwiek ganti menu, jangan nasi goreng terus!” ujar kakek.
“Tidak apa-apa, Pak. Nasi goreng Bi Wiwiek enak,” kata Pak Lilih sambil tersenyum. Kakek menoleh ke Pak Lilih lalu matanya melotot.
“Awas, jangan macam-macam! Ingat sama anak dan istri di rumah!” seru kakek.
“Nggak berani saya, Pak. Nanti saya dikunciin di luar,” kata Pak Lilih.
“Bagus!” ujar kakek.
“Kamu tunggu di mobil. Saya mau habiskan dulu makanan saya,” kata kakek.
“Baik, Pak,” jawab Pak Lilih. Pak Lilih kembali ke mobil.
“Itu siapa, Kek?” tanya Rahma.
“Oh, itu supir Kakek. Namanya Pak Lilih,” jawab kakek.
Mereka melanjutkan makan hingga bubur mereka habis. Kakek meminum air teh sampai habis.
“Terima kasih atas semua bantuan Rahma. Kalau tidak ada Rahma, entah apa yang akan terjadi kepada Kakek. Sebab Kakek tidak membawa uang dan ponsel,” ucap kakek.
“Sama-sama, Kek. Kebetulan saja Rahma sedang lewat sini,” kata Rahma.
“Mang!” Kakek memanggil penjual bubur.
Penjual bubur menoleh ke kakek. “Iya, Pak?” tanya penjual bubur.
“Semuanya berapa?” tanya kakek.
“Jangan, Kek! Biar Rahma saja yang bayar. Kan Rahma yang mengajak Kakek makan di sini,” kata Rahma.
“Tidak apa-apa. Biar Kakek yang bayar,” ujar Kakek.
“Semuanya dua puluh dua ribu, Pak,” jawab penjual bubur.
Kakek membuka pounch lalu mengambil selembar uang pecahan seratus ribu. Ia memberikan uang itu kepada penjual bubur.
“Kembaliannya ambil saja!” kata kakek.
“Hatur nuhun,” ucap penjual bubur sambil membungkukkan badannya.
Kakek mengeluarkan uang pecahan seratus ribu rupiah sebanyak sepuluh lembar lalu diberikan kepada Rahma.
“Ini sebagai ganti uang biaya rumah sakit dan membeli obat,” ujar kakek.
“Tidak usah diganti! Rahma ikhlas menolong kakek.” Rahma menolak menerima uang pemberian kakek.
“Kakek mohon, terimalah! Nanti uangmu kurang karena sudah membayar rumah sakit dan membelikan obat untuk Kakek,” ujar kakek.
“Tidak akan kurang. Rahma masih punya uang.” Rahma tetap tidak mau menerima uang tersebut.
“Kalau begitu kakek minta nomor teleponmu. Kapan-kapan kita janjian sarapan bubur bersama-sama,” ujar kakek.
“Tentu saja. Dengan senang hati Rahma menerima ajakan Kakek,” kata Rahma.
Kakek mengeluarkan ponselnya dari dalam pounch lalu diberikan kepada Rahma.
“Tolong kamu simpan nomor ponselmu di ponsel Kakek!” kata kakek.
Rahma mengambil ponsel kakek lalu mengetik nomor ponsel miliknya di ponsel kakek. Ia menyimpan nomor ponselnya dengan nama Rahma setelah itu ia mengembalikan ponsel tersebut kepada kakek.
“Kamu pasti sudah kesiangan ke kantor. Pasti gaji kamu dipotong,” ujar kakek.
“Tidak, kok. Rahma masih bisa menggantinya dengan lembur. Lagipula kos-kosan Rahma dekat sini, jadi tak masalah kalau pulang telat,” kata Rahma.
“Hati-hati kalau pulang malam, banyak orang ja*hat berkeliaran! Belum lagi trotoarnya banyak yang bolong, membuat kamu tidak nyaman jalan malam-malam,” ujar kakek.
“Baik, Kek. Rahma akan hati-hati,” jawab Rahma.
“Kakek pulang dulu, ya. Terima kasih sudah membantu Kakek,” ucap Kakek.
“Sama-sama, Kek,” jawab Rahma.
Rahma membantu kakek berdiri lalu memapah kakek menuju ke mobil. Pak Lilih cepat-cepat membuka pintu mobil. Dengan hati-hati kakek masuk ke dalam mobil karena kakinya masih terasa sakit.
“Sampai ketemu lagi, ya. Assalamualaikum,” ucap Kakek.
“Waalaikumsalam,” jawab Rahma.
Pak Lilih menutup pintu mobil lalu masuk ke dalam mobil bagian kemudi. Dari balik kaca kakek melambaikan tangan, Rahma membalas lambaian tangan kakek. mobil kakek pun meluncur meninggalkan tempat itu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Yani
Oh... ternyata karya ka Deche 👍👍
2023-07-15
1
reni rili
nyakan sesultan orangnya
2023-05-09
1
Rahma Inayah
lanjut thor
2023-05-05
1