Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat. Angin dingin membelai-belai rambutnya sehingga rambut itu, berkibar melambai di belakangnya.
Kemudian biduk mulai memasuki daerah batu, dan batu-batu karang besar dan tajam mulai tampak menonjol di permukaan air. Keadaan mulai berbahaya dan makin lama batu-batu itu makin banyak, malang-melintang di tengah-tengah sungai menghadang jalan air sehingga aliran air melenggak-lenggok laksana menggila.
Tapi makin berbahaya keadaannya, makin gembiralah Hua Li. Anak gadis itu menggunakan dayung di tangannya untuk menolak batu-batu di kanan kiri yang mengancam pinggir biduk, sehingga biduk itu sebentar membelok ke kanan, sebentar membelok ke kiri.
Kini tidak mungkin lagi untuk "menumpang" pusat aliran air dan menyerahkan biduk dibawa hanyut saja karena batu-batu yang ganas itu telah memecah-belah aliran sehingga menjadi aliran-aliran kecil di antara batu-batu yang tidak cukup lebar untuk dilewati badan perahu.
Karena itulah Hua Li harus memilih jalan sendiri, di antara batu-batu karang itu dan ini membutuhkan ketabahan, kecepatan, kekuatan, keberanian dan ketelitian yang luar biasa.
Sungguh mengherankan anak gadis yang sekarang berusia kurang lebih dua belas tahun itu dapat menguasai biduk sedemikian gagah dan hebatnya.
Ketika berada di tempat yang paling banyak terdapat batu, tiba-tiba Hua Li kehilangan jalan. Jalan di depannya buntu, dan tidak ada satu pun ruang yang cukup lebar untuk dilewati biduknya.
Ia teringat bahwa pada perjalanan yang lalu ia telah mendapat kegagalan tiga kali sehingga perlu dibantu oleh ayahnya, dan kegagalan pertama adalah di tempat ini.
Kemudian Hua Li mengambil keputusan cepat. Dengan mata tajam setengah dikatupkan ia bawa biduknya meluncur ke arah batu karang yang menonjol rendah dari permukaan air dan di kanan-kiri batu karang itu terdapat batu karang lain yang lebih tinggi.
Gadis itu berdiri lalu sambil berseru keras ia pentang kedua kakinya di kanan kiri badan biduk yang kecil itu, sehingga ia duduk di atas biduk bagaikan seorang yang menunggang kuda.
Setelah biduk dekat sekali sehingga akan membentur karang yang menonjol rendah, ia menggunakan kedua dayungnya menekan karang di kanan-kiri dan berteriak keras sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam yang telah mulai dilatihnya.
"Naik!" pekik Hua Li.
Dan biduk itu bagaikan terbang dapat meloncat cepat di atas karang yang menonjol rendah dan bagian paling bawah hanya setengah dim saja lewat di atas karang tajam itu.
"Bagus!" puji Hua Tian.
Tapi ia masih tetap berpeluk tangan, Ia tidak menyangka bahwa putri angkatnya itu demikian cerdiknya sehingga dapat menggunakan tenaga tekanan dayung pada batu karang untuk meloncatkan biduk yang ia kempit dengan kedua kakinya itu.
Hua Li belum puas dengan hasil pertama dan pujian dari ayahnya ini, karena di depan masih ada dua perintang yang lebih berbahaya lagi.
Bahaya kedua adalah tikungan itu sendiri. Setelah batu-batu dapat dilewati, maka aliran air itu berkumpul dan berpusat lagi menjadi aliran yang sangat kuat dan yang maju menubruk dinding karang hitam yang sangat kuat untuk kemudian membelok dengan tajamnya ke kanan.
Biduk Hua Li bagaikan disambitkan ke arah batu karang itu. Tapi dengan berseru keras gadis ini menggunakan dayungnya membuat perahunya beralih haluan sehingga menjadi melintang dan tidak bisa melaju lagi, dan dengan jalan inilah ia berhasil mematahkan tenaga bantingan hebat.
"Hiaaaaa....!"
Ketika berada dekat dengan dinding batu karang yang hitam berkilat itu, ia menggunakan tangan kiri menolak batu karang itu dan dayung kanan tetap digunakan untuk mengatur haluan biduk agar jangan menuju ke dinding itu.
Dan lewatlah biduknya dengan selamat di tikungan maut itu, dan saat ini kedua mata Hua Tian memancarkan sinar suka cita karena gerakan putrinya tadi memang sempurna yang ia sendiri juga akan melakukan hal itu.
"Awaaaaasss....!" seru Hua Tian.
Tiba-tiba badan perahu telah sampai pada sebuah ulekan atau pusaran air yang besar dan kuat sehingga sebentar saja biduk itu terputar-putar kencang yang tak dapat dikuasai oleh sepasang dayung Hua Li lagi.
Tenaga putaran itu terlampau kuat bagi gadis itu sehingga untuk sesaat ia tidak berdaya. Ketika ia melirik ke arah ayahnya, ternyata orang tua itu masih tetap memeluk tangan dengan tenangnya sambil tubuhnya ikut berputar-putar dengan biduk.
Hua Li menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia tetap tidak hendak minta tolong kepada ayahnya.
Kemudian dia melepaskan kedua dayung di dalam biduk dan tubuhnya segera meloncat ke dalam air bagaikan seekor ikan saja.
Tubuhnya segera terbawa pusaran air dan ikut berputar-putar, tapi dengan sebelah tangan memegang pinggir perahu, ia mengatur sebelah tangannya lagi dan kedua kaki perlahan-lahan melepaskan diri dari putaran air. Setelah banyak menggunakan tenaga dan perhitungan tepat, akhirnya berhasil juga ia membawa perahunya keluar dari putaran itu dan ia lalu meloncat lagi ke dalam biduk dengan pakaian basah kuyup.
Hua Li berdiri di dalam perahunya yang kini terbawa oleh aliran sungai yang masih cepat tapi tenang itu dengan bangga.
"Ayah, Li'er dapat melewati Tikungan Maut!" seru Hua Li dengan gembiranya.
"Memang kau tadi telah mengatasinya dengan baik sekali Li'er, aku ikut girang melihat hasilmu. Tapi putaran air tadi berbahaya sekali, seharusnya kau jangan membiarkan biduk kita sampai tercengkeram olehnya!" seru Hua Tian yang mengingatkan. Hua Li pun menghela napasnya.
"Memang aku tadi kurang cepat, ayah!" ucap Hua Li yang membela diri seraya melihat pakaiannya yang masih basah kuyup.
Hua Tian lalu mengambil bungkusan pakaian dan melemparkan kepada putrinya.
"Cepat ganti pakaian kamu dengan pakaian kering!" seru Hua Tian yang kemudian menggantikan cucunya mendayung dan Hua Li tanpa segan-segan lagi lalu berganti pakaian di belakang ayahnya.
Setelah kedua dayung itu berada dalam tangan Hua Tian, tiba-tiba perahu kecil itu meluncur luar biasa cepatnya sehingga sebentar saja mereka telah maju beberapa belas li jauhnya.
Di suatu tempat yang airnya tenang dan sungainya lebar sekali, Hua Tian tiba-tiba membelokkan perahunya menuju ke tepi.
"Kita berlatih di sini Li'er!" seru Hua Tian yang kemudian dia mengeluarkan empat buah papan dari dasar perahu.
Papan-papan itu panjangnya kira-kira dua kaki dan lebarnya setengah kaki, di tengah-tengah agak ke depan dipasangi kayu jepitan seperti pada terompah kayu.
Kemudian dia melepaskan sepasang papan terompah air itu di atas air dan ia lalu meloncat di atas papan-papan kayu itu sambil menjepit kayu tadi.
Papan-papan itu hanya tipis saja dan jika yang memakai orang biasa tentu dia akan tenggelam atau terguling. Tapi Hua Tian menggerak-gerakkan kedua kakinya dan papan itu tetap mengambang.
Hua Li juga meniru perbuatan ayahnya dan ia melepaskan dua buah papan terompah air lagi yang lalu dinaikinya
...~¥~...
...Mohon dukungannya dan terima kasih telah memberikan Like/komentar/rate 5/gift maupun votenya untuk novel Petualangan Pendekar Kecapi ini....
...Semoga sehat selalu dan dalam Lindungan Allah Subhana wa Ta'alla....
...Aamiin Ya Robbal Alaamiin....
...Terima kasih...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
Dzikir Ari
Keeerrreeen 👍
2023-06-09
2