"Nyonya, saya ingin mandi. Badan saya tidak enak rasanya, gatal-gatal!" ucap bocah itu yang tentu saja membuat Hua Tian dan Yan Qiu terkejut. Karena baru pertama kalinya mereka mendengar suara bocah perempuan itu.
"Oh, baiklah. Panggil saja ibu ya nak! sebentar ibu merebus air dulu buat mandi kamu." ucap Yan Qiu dengan lemah lembut dan mengulas senyumnya.
Kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dapur, sementara Hua Tian mendudukkan bocah perempuan itu di atas tempat duduk yang terbuat dari bambu di ruang tamunya.
Setelah itu Hua Tian menyimpan alat pancingnya dan memeriksa kecapi yang selalu bersama bocah perempuan itu.
"Kalau boleh ibu tahu, siapa nama kamu nak?" tanya Yan Qiu yang menghampiri Hua Tian dan bocah perempuan itu, seraya membawa minuman teh hijau yang hangat buat mereka bertiga.
Gadis itu menggelengkan kepalanya, dia tak mengingat lagi siapa namanya.
"Kamu tak ingat siapa nama kamu nak?" tanya Hua Tian yang penasaran.
"Suamiku, anak ini sudah kita angkat menjadi bagian dari kita. Jadi dia adalah putri kita, bagaimana kalau suamiku yang memberikan nama untuknya?"'ucap Yan Qiu yang memberikan solusi.
"Baiklah kalau aku akan memberikan kamu sebuah nama, bagaimana kalau nama kamu sekarang Hua Li?" ucap dan tanya Hua Tian seraya mengusap kepala bocah permpuan itu.
"Hua Li?" ucap Yan Qiu dan bocah perempuan itu yang secara bersamaan.
"Hua Li, bagus juga nama itu. Mengingatkanku pada pendekar Azuya, Xiao Li!" ucap Yan Qiu yang mengingat kembali dengan sesosok gadis yang sempat menjadi pahlawan diantara mereka.
"Memang itu maksudku Istriku, apakah kamu tak melihat anak ini sedikit ada kemiripan dengan Xiao Li?" tanya Hua Tian yang menatap bocah perempuan yang sibuk meniup teh hijau buatan Yan Qiu.
"Iya, aku juga melihatnya. Semoga saja kelak dia bisa sehebat Li'er!" ucap Yan Qiu yang menatap bocah perempuan yang mereka beri nama Hua Li itu dengan berkaca-kaca.
Sejak itu Hua Li hidup bertiga dengan sepasang suami istri itu dan menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari Hua Tian yang gagah perkasa dan ilmu pengobatan dari Yan Qiu yang merupakan putri tabib di istana kerajaan Ming.
Namun disaat Hua Li berusia sepuluh tahun Yan Qiu telah lebih dahulu dipanggil yang maha Kuasa. Jadi sekarang ini mereka hanya tinggal berdua bersama ayah angkatnya.
Hua Tian bukan saja ahli ilmu silat, tapi juga ilmu dalam air, sehingga bukan saja ia dapat berenang cepat sekali bagaikan seekor ular air, tapi juga kuat sekali bertahan dalam air seperti seekor ikan.
Sementara Hua Li si gadis cilik itu pun ternyata suka sekali akan permainan dalam air, sehingga setiap hari tentu terjun ke air yang dalam dan berenang gembira ria bersama ayah angkatnya.
"Hua Li kali ini apakah kamu sanggup menggunakan kepandaianmu sendiri membawa biduk kita melintasi tikungan sempit di hutan Koai-siong-lim itu?" tanya Hua Tian pada putri angkatnya.
Hua Li pun tersenyum memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan putih bersih.
"Kenapa tidak sanggup, ayah? Ketika kita lewat dahulu, kau hanya membantu sedikit dan telah memberi petunjuk kepadaku. Dan seandainya aku masih belum dapat, aku tidak percaya kau akan tinggal berpeluk tangan saja dan membiarkan biduk kita terbalik sehingga pakaian kita akan basah kuyup!" ucap Hua Tian dengan polos tapi cerdik.
"Ha...ha...ha....!" Hua Tian tertawa geli mendengar ucapan dari putri angkatnya yang cerdik itu.
"Kalau sekali ini kau tidak dapat, biarlah kita basah kuyup bersama, aku tidak mau membantumu, tentu kau tidak akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan mengharapkan bantuanku belaka!" ucap Hua Tian.
Ayah dan anak itu lalu tertawa geli bersama-sama sehingga di atas Sungai Huang-ho yang memanjang itu bergemalah suara tertawa yang kecil nyaring dan bercampur dengan suara tertawa besar parau. Tikungan yang disebutkan oleh Hua Tian itu memang sangat berbahaya.
Ketika sampai di tempat itu, sungai menjadi kecil dan sempit dan air mengalir sepanjang tikungan yang menurun itu dengan cepat sekali! Ini saja sudah berbahaya, belum ditambah dengan batu-batu besar menonjol di permukaan air, besar dan tajam berwarna hitam menakutkan karena batu-batu itu berbentuk aneh sebagai binatang-binatang buas. Dan semua ini masih ditambah lagi pusaran-pusaran air yang berputar cepat merupakan sumur-sumur air yang berbahaya sekali, yang terjadi karena aliran air terpukul kembali oleh air yang tiba-tiba menikung sehingga terjadi aliran bertentangan.
Tempat ini telah sangat terkenal bagi para nelayan dan penduduk di sekitar tempat itu, sebagai tempat yang banyak mendatangkan korban. Kebanyakan yang menjadi korban adalah tukang-tukang perahu yang datang dari tempat jauh dan belum tahu akan berbahayanya tempat itu.
Memang bagi yang tidak tahu, tadinya air bergerak maju biasa saja karena memang sangat dalam sehingga lajunya tidak kentara. Tapi setelah mendekati tikungan itu, air melaju cepat dan jika perahu sudah terbawa hanyut oleh aliran yang cepat itu, maka sukarlah untuk melepaskan diri.
Apalagi setelah tiba di tempat yang penuh batu-batu, tak mungkin lagi untuk mendayungnya ke tepi. Dan celakalah mereka yang berada di dalam perahu yang telah hanyut sampai ke tempat itu.
Oleh karena ini, maka tempat itu disebut Tikungan Maut oleh para nelayan dan bilamana melalui tempat itu, mereka naik ke darat bersama perahu mereka dan menyeret perahu itu sampai melewati tikungan. Tentu hal ini membikin repot sekali, terutama sekali mereka yang membawa barang-barang banyak dan berat.
Maka bermunculanlah buruh-buruh pengangkut barang-barang itu dan keadaan di situ menjadi lebih makmur bagi penduduk di dekat tikungan, yakni di sekitar hutan Koai-siong-lim.
Ketika biduk yang didayung Hua Tian telah kena terpegang oleh aliran sungai yang mulai melaju, Hua Li berseru dengan girangnya.
"Huoo....ho....ho....!"
Bibirnya yang kecil merah tersenyum-senyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan ditujukan ke air di depan biduknya, sedangkan sepasang tangannya erat-erat memegang sepasang dayung di kanan kiri perahu kecil yang runcing depan belakangnya itu.
Hua Tian benar-benar mulai memeluk tangannya dan memandang putrinya dengan tersenyum senang. Karena aliran air sangat cepat, Hua Li tidak mendayung, hanya menggunakan dayung-dayungnya untuk menahan imbangan biduk dan mencari jalan di pusat aliran terbesar, yakni di tengah-tengah.
Biduknya maju kencang bagaikan anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, melayang cepat. Angin dingin membelai-belai rambutnya sehingga rambut itu, berkibar melambai di belakangnya.
...~¥~...
...Mohon dukungannya dan terima kasih telah memberikan Like/komentar/rate 5/gift maupun votenya untuk novel Petualangan Pendekar Kecapi ini....
...Semoga sehat selalu dan dalam Lindungan Allah Subhana wa Ta'alla....
...Aamiin Ya Robbal Alaamiin....
...Terima kasih...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
Arie Chaniago70
mantap Thor,,,semangat lagi,,,
supaya cerita nya makin seru,,,
dan ilmu nya makin tambah dan beragam
sukses Thor,,,,
2023-09-24
1
Dzikir Ari
Cerita yg bagus ... lain dari pada yang lain...✍️✍️👍👍
2023-06-09
2
Fenti
aku mampir... jika berkenan mampir kak dikaryaku
2023-05-13
1