Setelah Kak Anta berangkat kerja, Aku melanjutkan tugas di halaman belakang rumah, menjemur pakaian. Di atas langit sana, matahari telah naik beberapa jengkal, sinarnya yang panas menerobos langsung melalui awang-awang dan membakar tubuhku. Ku sangkutkan pakaian agak cepat dan kembali menuju rumah. Pagi yang amat cerah, begitu cerahnya sampai semangatku ikut mengering bersama dengan daun ketapang yang gugur di tanah.
Aku berangkat ke warung sayur sambil menahan panas sengangar. Di kepalaku seakan ada matahari yang jaraknya hanya se-setik saja. Seluruh energiku terserap oleh daya panasnya yang dahsyat. Beruntung, aku tadi menikmati sarapan karbohidrat ekstra ditambah susu ibu hamil spesial buatan Kak Anta, dan segelas mineral.
Sampai di warung sayur, ibu-ibu menyambut ku dengan gaya mereka yang khas. "Pagi, Istri Pak Anta," nyonya Willis menyapaku dengan tangan kanan memegang kentang, Sedangkan yang kiri memegang terung, seakan dia tengah kebingungan untuk menentukan pilihan.
Nyonya Willis adalah pelanggan setia warung sayur ini. Ku dengar dia memiliki toko manisan lumayan besar. Yang apabila menjelang hari-hari besar, tokonya itu akan selalu ramai. Dia paling Rendah hati dalam komplotan Ibu-ibu Ini, tetapi di balik kerendahan hatinya itu, dia memiliki tabiat yang sangat tidak kusukai: Kalau bertemu dengannya, dia selalu mencari borok orang lain untuk digosipkan bersama. Bahkan kadang-kadang ia tak segan untuk mempermalukan langsung di depan orangnya. Tetapi, tetangga di sini tak ada yang menjauh, mungkin biar tak jadi korban mulutnya yang kelewat terampil. Cerewet.
"Pagi, bu." Kataku berusaha tetap ramah.
Aku berusaha memilih sayuran untuk bahan masakan siang ini, sambil sesekali melirik ke arah seorang gadis cantik di ujung sana yang sibuk memilih cabai keriting, Mbak Isma.
Kalau melihat dia, di waktu dan tempat seperti ini aku jadi parno. Mengingat tingkahnya yang kerap kali mengomentari apa saja yang ku beli.
"Baiklah kali ini kita lihat bagaimana reaksinya kalau aku ambil brokoli, sayuran hijau keriting ini." Pikirku dalam hati, Sambil mengangkat brokoli tinggi-tinggi agar bisa dilihat oleh Mbak Isma.
Namun dia bungkam, tetap asyik pada kegiatannya menyeleksi si merah pedas bahan utama sambal itu. Aku menatapnya lekat-lekat dengan mata menyipit. Oh, berarti brokoli mungkin disukai Kak Anta. Pikirku.
Dari kotak terjauh, Ku ambil buncis muda yang mulus. Sekali lagi sambil melirik Mbak Isma, tapi lagi-lagi dia diam. Dahi ku mengerut, ada apa dengan hari ini? tidak biasanya Mbak Isma pasif begitu soal pilihanku. Apa dia sungguh sudah menyerah? atau mungkin yang ku pilih ini memang kesenangan Kak Anta?
Baiklah sekali lagi untuk memastikan, tentang isi hati Mbak Isma ku coba untuk mengambil udang di kotak penuh balok es yang tepat bersebrangan dengannya. Aku memutar agak cepat, tanganku mulai bergerak tetapi mataku tak lepas dari curi-curi pandang padanya. Sedikit lagi sekitar satu jengkal lagi saja jemari ku ini akan bersentuhan dengan udang, seafood yang kata Mbak Isma adalah makanan yang pantang untuk Kak Anta. Ku lakukan itu untuk memastikan...
Tetapi, Astaga...
Kenapa aku jadi aneh begini?
Kenapa tiba-tiba terbesit pikiran itu?
Kenapa jadi ketularan nyonya Willis?
Akhirnya ku urungkan niat tadi, justru baguslah bila Mbak Isma tak lagi mengomentari pilihanku. Mungkin Kata-kata Kak Anta kemarin masuk ke dalam hati dan pikirannya, jadi dia mulai menjaga jarak dan perlahan mengikhlaskan.
Ku hela nafas panjang, kemudian melanjutkan memilih sayur. Ku ambil tahu, Bakso ayam, Dan telur. Masak yang sederhana saja, seperti kata Kak Anta : Masak yang kamu bisa saja, aku pasti menyukainya, asal kamu yang masak. Aku akan menegaskannya dalam hati. Padahal sudah lama, tapi sampai mati pun aku tak mau lupa, bahkan tanpa bersyair pun, kata-kata Kak Anta jauh lebih memabukkan dari pada anggur. Aku jadi terbuai dan melambung...
"Terima Kasih Pak." Kataku sambil mencari beberapa lembar uang di Pouch.
Aku sedikit kerepotan mencari lembar uang kecil di dalam pouch yang penuh dengan kertas bekas bon pembayaran di mini market campur dengan bedak dan minyak wangi. Sungguh repot, karena biasanya aku pakai dompet. Tapi khusus hari ini, karena mau pergi ke dokter kandungan bersama Kak Anta. Aku memilih untuk pakai pouch, sebagai pengganti tas kecil.
Begitu repot nya, sampai isi pouch ku berceceran ke bawah. Malu sekali. Beruntung, ibu-ibu di sampingku begitu sigap membantu mengutip barang ku yang jatuh.
"Ini... " Salah seorang pelanggan yang membantuku seraya memberikan beberapa lembar kertas dan uang yang dikutipnya.
"Terima kasih bu, maaf jadi merepotkan."
"Memangnya sedang cari apa?"
"Uang kecil bu, tapi sedikit kesulitan mencarinya karena terselip isi pouch yang lain." Jawabku.
"Kenapa tidak pakai dompet saja, biar tidak repot."
"Tadi saya habis pergi keluar dengan suami bu, baru saja pulang. Karena hari sudah agak siang, jadi saya buru-buru tidak sempat ganti dompet. Takut kehabisan sayur segar."
Belum sempat pelanggan tadi merespon jawabanku, Tiba-tiba nyonya Willis menyeletuk dari samping; "Dari periksa kandungan, ya?" Ujarnya sambil memegang hasil USG-ku tadi pagi.
Aku sempat terdiam beberapa saat, baru kemudian aku tersenyum padanya, sambil mengangguk kecil.
"Tapi, kok. Di sini usia kandungannya sudah enam minggu sih?"
Nyonya Willis mengernyitkan kening, dan menatapku dengan mata menyipit. Seakan tengah menginterogasi di tengah-tengah kerumunan, sungguh sial, nampaknya kini aku lagi yang akan jadi bahan minyak tanahnya untuk menebar kayu bakar.
"Loh, bukannya baru menikah?" Sahut pelanggan lain.
Aku terdiam, menelan saliva dengan susah payah. Semua mata memandangku termasuk mata yang paling aku hindari dalam keadaan begini, siapa lagi kalau bukan, Mbak Isma.
Dari sebelah nyonya Willis seorang pelanggan menyunggingkan bibir dan menatapku geli, "Nikahnya kan belum satu bulan..."
"Tapi kandungannya lebih tua dari usia pernikahannya." Jawab nyonya Willis.
"Kamu hamil duluan, ya?"
Akhirnya, keluarlah kata-kata kunci itu. Entah berasal dari mulut siapa. tetapi aku memilih untuk diam, diam adalah cara terbaik untuk menjaga, entah itu kata atau rasa. Oh Tuhan, mengapa aku harus dihadapkan dengan situasi seperti ini. Aku seperti tengah diadili beramai-ramai dalam pengadilan salah tempat.
Ku hela napas, lalu ku rebut kembali hasil USG-ku dari tangan nyonya Willis. Dan segera beranjak untuk pulang ke rumah.
Prasangka-prasangka itu terus bertebaran, hingga puncaknya, salah seorang menyebutkan kesimpulan dari gosip pagi ini.
"Ih, berarti anaknya anak Haram!"
Ku hentikan langkahku. Terik matahari hari ini, sama panasnya dengan hatiku sekarang. Hatiku berdebar, berputar meluap-luap dan kian kencang saat Kata-kata itu melayang memenuhi jantung. Benar bahwa aku telah berbuat salah sampai hamil di luar nikah, tetapi kesimpulan dari mereka yang tak bisa ku Terima.
"Jaga mulut, kalian!" Kataku dengan nada meninggi, setelah berbalik badan. Lalu ku acungkan telunjuk, menunjuk mereka satu persatu. "Jangan ada yang berani menyebut anakku, anak haram!"
"Kamu yang jaga mulut! bicara kasar dengan orang tua. Padahal calon ibu, tapi kasar!!! Masih punya malu?!" Ucap nyonya Willis dengan angkuhnya sambil menepuk-nepuk dada tak pelak juga dengan mata melotot.
"Sekali lagi, Jaga mulutmu nyonya Willis!" Kataku, "Lihatlah diri kalian, setiap berkumpul selalu gosip mengeruk borok orang lain. Setiap saat selalu makan daging saudara sendiri! selalu mengulik kesalahan orang lain, tapi enggan bercermin."
Dia malah tertawa, membuatku makin kesal saja.
"Mending gosip dari pada mengandung anak haram!" ucapnya, disambut tawa dari semua orang di sampingnya.
Ku pikir seorang wanita mungkin masih sanggup bersabar dengan cemooh dari lingkungan. tapi, tak ada seorang ibu pun dapat terima saat anaknya disakiti dan disebut haram. Anak adalah belahan jiwa ibunya, anak adalah separuh kehidupan ibu, dan karena itu tujuan ku adalah mencintai dan melindungi anak-anakku dengan semua yang aku miliki.
"Kemari kamu," Aku beranjak dari tempat menghampiri nyonya Willis.
Dengan sangat bernafsu dan penuh kemarahan ku lakukan perkelahian hebat saat itu. Ku jambak sampai rambut cepol nya kendur dan berantakan. Tak mau kalah nyonya Willis ikut menjambak rambutku, tapi aku bagai diberi seribu persen kekuatan alam, ku hantam mulut pedasnya yang mengesalkan. "Mulut ini yang begitu lincah untuk mengatai orang! Mulut ini yang kelewat pandai mencari kesalahan orang! biar ku beri pelajaran, Kamu." Para pelanggan histeris berusaha memisahkan dan menghentikan pergulatan kami.
Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, Akan ku balas biar dia jera. Bahkan Mbak Isma yang menarik tubuhku pun, tak ku hiraukan. Semua tetangga berkumpul mengelilingi warung sayur, suasana mulai tidak kondusif sampai Pak Omar, pemilik warung berlari masuk ke dalam rumah.
Ku lihat nyonya Willis tak berdaya lagi. Tubuhnya begitu lemas setelah ada bercak darah di ujung bibirnya, di tambah memar hampir ada di tiap permukaan wajahnya. Ternyata kami bergulat sampai separah itu. Segala otot ku kerahkan hingga mencapai ******* yang bertubi-tubi.
Setelah ku hajar perempuan tua itu. Semoga saja ia mengerti bahwa di balik semua perbuatannya itu terdapat akibat yang besar pula. Mbak Isma menarik tubuhku dari nyonya Willis, dia membantu ku berdiri. Ku dengar dia berbisik; "Kania, tenangkan dirimu. Ingat, kamu punya bayi yang harus dijaga." Kata itulah, yang membuatku tersadar dan berhenti.
Demi menjaga situasi, Mbak Isma langsung mengantarku pulang. Tak sampai disitu, dia juga membantu untuk mengompres memar di pelipis kanan ku.
Tak lama kemudian, Mobil Kak Anta masuk melalui gerbang. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri ku.
"Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?" Dia berlutut di hadapanku, kemudian mendongak melirik pada Mbak Isma.
"Maaf Mas, aku tidak bermaksud melanggar kehendak kamu kemarin. Aku akan pulang, Permisi."
Rupanya Mbak Isma menangkap pandangan mata Kak Anta yang memberinya isyarat untuk meninggalkan kami berdua. Setelah berpamitan, Mbak Isma beranjak, untuk pergi menuju gerbang.
"Isma... "
"Ya, mas?"
"Terima kasih, ya." ucap Kak Anta pelan dengan mimik masygul. Mbak Isma menjawab dengan menyunggingkan senyum sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Setelah kepergian mbak Isma itu, Ku pikir aku bisa menangis dan meluapkan isi hatiku pada Kak Anta, ku pikir hanya dialah tempatku mengadu, sehingga hatiku dapat lebih tenang dan redam. Tapi, reaksi tak terduga keluar dari mulutnya. Bukan perhatian yang ku dapat dari dia, Melainkan; ...
"Kamu kenapa sih? baru ku tinggal beberapa jam sudah buat masalah besar begini?!"
...****************...
Hmmm.... ಥ_ಥ
Mampir ke sini yakk bessttt...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
jangan gitu anta. istrimu sedang kalap tadi
2023-12-27
1
we
ia lah mana ada anak jg haram yg ada mah anak lahir dgn fitrah yg suci bikin kesel tuch ibu Willy 😡
2023-05-18
3
baby eunhyuk / Xoblisss
bingung, isma t emang baik apa ada maksud sebenarnya sih
2023-05-16
2