Aku pun segera berjalan kembali menuju rumah setelah selesai berbelanja, tentu dengan kebiasaan andalanku, bicara sendiri seperti orang gila. Sepanjang jalan hatiku dipenuhi perasaan kesal tetapi juga bangga, kesal karena tingkah Mbak Isma dan tetangga, bangga karena berhasil membuat mereka diam. Keduanya saling beradu menggebu-gebu memenuhi dadaku.
Dan karena ekspresi dan ucapan mereka yang masih terbayang-bayang itu, ku pukul dinding pagar rumah tetangga lain. Ada kaleng di depan jalan, bergerak pelan setelah puas bergelinding dari bak sampah. Karatan dan kumal seperti manusia yang menderita putus asa. Kasihan sekali. Ku banting sekalian benda jelek itu, ku injak hingga remuk, lalu ku masukkan lagi ke dalam bak sampah milik tetangga yang sudah penuh berserakan dan seorang pemulung kemudian mengutipnya.
Ku pikir sampah itu seperti halnya perasaan, saat seseorang membuang mu karena sudah tak berguna, akan ada orang lain yang mengutip mu layaknya permata ...
Setelah puas meluapkan emosi sesaat, sampailah aku di rumah. Rumah yang cukup besar, bahkan dua kali lebih besar dari rumahku di desa. Meskipun halamannya tidak lebar seperti garasi, Kak Anta memanfaatkannya dengan cukup baik, halaman mungil itu ditanami dan dihiasi oleh bunga-bunga, salah satu nya mawar Bourbon dan Kamboja warna merah dan kuning. Arsitektur rumah ini pun lumayan bagus dan menenangkan. agaknya rumah ini dulunya bangunan kuno bila melihat tiang-tiangnya yang bulat dan dihiasi dengan dekorasi fashion gotik, menimbulkan kesan mewah dan modern.
Dalam pikiranku, Kak Anta ini mesti lahir dari keluarga yang terpandang. Meskipun yang aku tahu bahwa Kak Anta adalah anak tunggal yatim piatu. Tetapi, bagaimana dengan keluarganya yang lain? bahkan di pernikahan kami, aku tak melihat satu pun sanak keluarga Kak Anta baik paman, bibi, keponakan, atau sepupunya yang datang. Ingin bertanya, tapi takut salah ....
Aku membuka pintu dengan hati-hati, begitu masuk, aku segera menuju ke dapur untuk membereskan sayuran yang tadi ku beli. Dan siang ini aku hendak memasak ikan bakar dengan sambal mangga yang asin, tidak terlalu pedas dan masam. Sungguh membuat jiwaku tergugah, ku harap sesuai juga dengan lidah Kak Anta.
Begitu matahari tepat berada di tengah-tengah ufuk, rupanya awan mendung sudah menyerbu menutupi langit yang tadinya biru. Matahari pun tenggelam bersama cahayanya. Segera ku kecilkan api kompor dan ku tinggalkan sementara masakan yang sebentar lagi selesai itu; menuju ke halaman samping rumah untuk mengangkat jemuran.
Sekelebat kilat menerangi angkasa sebelum aku sampai di tempat menjemur pakaian, diikuti bunyi samar guruh di kejauhan. Badai sepertinya akan melanda kota, sebentar lagi, sebelum di bagian rumah ini.
Begitu sampai di beranda halaman samping, mataku melebar mendapati seseorang lebih dulu mengutip pakaianku dan kak Anta. Seseorang yang aku tahu perawakannya, aku akan segera mengenalinya, karena tampangnya yang Maskulin dengan raut tajam mirip todongan pistol rakitan terekam jelas di benakku. Badannya yang tinggi beradu dengan tumpukkan pakaian yang ada di rengkuhan dadanya.
"Kak?" tanyaku, setengah memekik mendekati dia.
"Jangan ke sini! sebentar lagi hujan, tunggu di rumah saja!"
"Aku bantu sedikit! ... "
Aku mengambil sisa pakaian yang masih tergantung, dan Kak Anta meyambutnya untuk di rengkuh sekalian. Kemudian kami kembali bersama-sama masuk ke dalam rumah.
"Kakak sudah di sini?! sejak kapan?" tanyaku, setelah Kak Anta menaruh pakaian di sofa ruang tengah.
"Tadi aku baru masuk, tapi hari sudah gelap begini," Kata Kak Anta sambil melepas kaus kakinya. "Ku lihat kamu masih sibuk memasak, jadi ku bantu angkat jemuran ..."
"Oh, aku tidak sadar kalau ada kakak, soalnya kak Anta pulang lebih cepat tidak seperti biasanya."
"Iya. Malam ini keliling kota lagi dengan tim, tapi komandan beri keringanan untuk kami kalau mau pulang sekarang. Nanti sore baru ke kantor lagi."
Aku tersenyum. Apa pun alasan ku sekarang, aku merasa senang karena kehadiran Kak Anta.
"Kamu masak apa?---"
Aku memutar tubuh dengan cepat dan mendapati Kak Anta menatapku kebingungan begitu aku terbelalak dan berlari menuju dapur, jantungku berdegup kencang karena perasaan cemas yang membuncah selesai aku mematikan kompor. Beruntung tidak terjadi hal yang menakutkan, hanya saja tahu yang ku goreng gosong hampir tak layak lagi dimakan.
Dengan sangat bersukacita Kak Anta menyahut dari samping secara tiba-tiba, "Aku maklumi kok," katanya sambil tersenyum tipis.
Aku menatapnya malu-malu sambil menyembunyikan bibir bawah ku, "Sebenarnya ini enak, kak. Aku jamin. Cuma tadi ..."
Dasar Kak Anta si tukang jual tampang, dan tak bisa ditebak isi hati dan pikirannya. Dia terkikik. "Kamu tahu, Kamu tampak luar biasa sebagai Istri."
"Terima kasih pujiannya, Pak Polisi." jawabku dengan senyum terpaksa.
Kak Anta menggosok-gosok kedua tangannya. "Bagaimana kalau kita makan siang sekarang? Aku lapar." Lagaknya yang nampak manja malah terlihat kaku karena pembawaan wajahnya yang datar dan agak garang. Sangat tidak cocok, jadi terlihat lucu.
Dengan hati-hati aku membawa mangkuk besar berisi kuah sop menuju meja yang ada di sudut ruang, tak jauh dari dapur tempatku memasak. begitu melihatku datang menghampiri, kak Anta bangkit dari kursinya. Cahaya dari kilat yang sesekali lewat semakin menonjolkan tubuh maskulin menawannya yang terpampang dengan jelas.
"Biar ku bantu," Ucapnya.
"Tidak perlu, sudah sampai kak."
Betapa sinting rasanya aku mendapati diriku yang sudah lama berada dalam kerumunan teman-teman pria saat sekolah dulu, tapi model celana panjang seragam polisi itu membalut paha kokoh Kak Anta, Model kaus polos ketat itu menyiratkan dada atletis di baliknya, terkesan seperti pengalaman yang benar-benar baru ku dapati. Pengalaman yang membuat seluruh indra ku berkecamuk hebat. Meski begitu aku tidak ingin Kak Anta mengetahui kekaguman ini.
Seraya melahap makanannya Kak Anta menatapku lekat-lekat, lalu berkata; "Soal semalam, aku minta maaf. Sampai bicara dengan nada meninggi padamu."
Aku mengamati, menelusurkan pandangan ke seluruh tubuh dan wajah Kak Anta. Bukan untuk pertama kalinya, tetapi aku bersyukur karena wajahku tidak mudah merona layaknya gadis seumuran ku.
"Sama sekali tak ada yang perlu dimaafkan Kak," Jawabku dengan nada rendah dan dalam. "Akulah yang sepatutnya meminta maaf, maaf karena melakukan yang membuat Kak Anta tak nyaman."
"Aku pun ingin berterima kasih, karena itu berarti Kak Anta mau perlahan melupakan masa lalu untukku. Aku sangat tersanjung dan bersyukur ..."
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dengan nada cukup tenang, meskipun di dalam hati ku bergetar luar biasa. Karena aura tubuh dan rasa salah tingkahku yang begitu besar terhadap semua kata yang keluar dari mulut Kak Anta dan segala sesuatu yang melekat pada dirinya yang tidak bisa disangkal, walaupun di dalam hati aku sangat tersanjung dengan semua perlakuan Kak Anta. Terima kasih pada karunia Tuhan yang memberikan suami sepertinya untukku ...
"Sambalnya segar," Pujinya. "Tapi kalau takaran garamnya dikurangi sedikit, bakal lebih mantap!"
Oh, Malunya aku ...
...****************...
Halo ini author 🙋
Terima kasih zeyeng sudah mampir dan baca kisah Karunia dan Kak Anta sampai BAB ini. dukung kami selalu ya ❀(*´▽`*)❀ Terima Kasih lupp. Jaga kesehatan selalu yaa!! Kami selalu menunggu notifikasi cinta dari kalian. muacc
Jangan lupa mampir ke sini juga zeyeng (ʘᴗʘ✿)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Elen Situmorang
pak pol langka
2024-02-17
0
lili
anta suami idaman
2024-01-22
0
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
anta sosok suami yang mengagumkan
2023-12-24
0