"Aku cari toilet dulu, oke? kamu tunggu di sini, aku akan kembali secepatnya!"
Petra meninggalkan aku di alun-alun kota sendiri sambil membawa belanjaan dan tas pribadi miliknya. aku duduk sendiri sambil menikmati nasi goreng. suasana kota yang sepi dan dingin, tenang namun terasa asing sekali.
ku angkat tinggi-tinggi benda kecil yang dari tadi ku simpan di saku. berlatar langit legam berbintang, "garis dua," benar, aku hamil dan lepas mengetahui itu, keributan besar antara aku dan ayah terjadi sampai akhirnya aku memilih pergi diam-diam dari rumah ke kota.
tidak jauh di sana, ada area di dekat air mancur dengan berbentang padang rumput sintetis dan bunga-bunga yang baru bersemi, sekarang ku rasa di sana adalah tempat yang tepat untuk beristirahat sebentar sambil menunggu kekasih ku kembali.
tetapi aku terkejut mendapati banyak sekali motor polisi berhenti menghalangi jalanku. meski begitu aku berpura-pura tidak tahu dan tidak peduli, sebab menurutku, aku tidak berbuat kriminal apa pun atau terlibat masalah dengan siapa pun.
aku terus jalan dan berlalu, namun salah satu polisi besar dan tinggi menarik tanganku. aku memekik karena kebetulan dia menekan bagian memar bekas pukulan ayah.
"Akh.. " aku merintih. pada saat itulah perhatianku teralihkan ke sosok pria dengan kulit coklat kekar yang sepertinya berumur hampir tiga puluhan. pria itu menatapku tajam, seperti mengintrogasi. cocok dengan seragam Kepolisian yang ia kenakan.
rambutnya agak kecoklatan gelap, sebagian helai-helai di puncak kepalanya terlihat kemerahan alami karena terkena cahaya bulan, mengingatkan aku pada para pria yang menghabiskan musim panas dengan berselancar di pantai Bali.
"Sedang apa? malam-malam begini mau kemana?" katanya.
dia bertanya, dan aku pun bertanya-tanya tentang warna mata di bawah naungan alis yang berbentuk cekung tegas yang indah itu, polisi ini melepaskan tangannya dariku. matanya memancarkan warna kecoklatan yang meluluhkan, dan tubuhku gemetar akibat dalamnya sorot mata itu.
"Luka? badanmu penuh memar, apa yang terjadi?"
"Tidak ada, bukan apa-apa, Pak."
"Tidak bisa, kamu mengalami kekerasan atau bagaimana? jangan menyembunyikan apa pun, kami hanya ingin membantu jika terjadi sesuatu." tanpa di duga polisi lainnya juga ikut bicara.
aku masih bersikeras untuk tidak bongkar masalah, agar tidak semakin panjang dan runyam. tetapi rupanya mereka pun tak kalah argumen, untuk mengulik apa yang terjadi padaku? apa yang ku simpan?
"Jangan takut," tambah polisi yang pertama dengan nada dalam yang maskulin.
aku terdesak, Petra yang tidak juga kembali. di tambah lagi tatapan polisi yang berada di depanku ini, matanya berbicara seakan meyakinkan ku bahwa aku akan aman di sisi mereka.
dengan kaki melemas, akhirnya ku ceritakan semua yang terjadi, semua masalah yang ku alami lengkap dengan sensasi kepedihan yang sama sekali tidak masuk akal. dalam sekejap polisi yang pertama, ku dapati namanya dari name tag; Anta R - itu menghilang dari pandangan.
aku terisak seusai bercerita, mereka menyuruhku untuk membuat laporan terhadap ayah. namun ku tolak, "Mau bagaimana pun juga, dia ayah saya." kataku menegaskan. hingga kemudian kami bersepakat, mereka akan mengantarku pulang, dan mengupayakan agar ada jalan damai.
Sambil menunggu Petra kembali, Polisi pertama datang lagi sambil membawa kantung plastik berisi obat merah, es batu dan kapas. dengan lembut dia meraih tanganku lagi, sambil mengusap luka dan memarnya pelan-pelan dengan es yang sudah dibalutnya dengan sapu tangan.
"Kalau kamu dipukul lagi, lapor. biar saya yang pukul dia."
seketika gelombang rasa hangat menguasai diriku, saat ku tangkap tatapan matanya yang tegas dan lembut. nafasku seakan tersumbat di paru-paru, sampai nyaris tak mampu berpaling saat kedua pasang mata kami bertemu.
ku amati profil pria itu yang tampak kuat, sejenak memusatkan pandangan pada bibir lebar polisi ini. lekuk maskulin yang sensual itu seakan menyelinap ke dalam diriku, membuat tubuhku meremang.
ketika mengalami reaksi fisik yang kuat seperti ini merupakan kejutan untukku. terakhir kali aku hanya terhanyut oleh kata-kata Petra yang memabukkan dan sejak saat itu rasanya tidak ada lagi kata-kata dari pria lain yang bisa sebaik Petra saat menguatkan ku.
tetapi barusan, ucapan yang keluar dari mulutnya tak pelak jauh lebih bermakna dan aura yang tidak di miliki semua orang.
"Nama-Mu siapa?"
"Karunia, tapi bisa dipanggil Kania."
"Kamu sudah baca name tag saya, kan? saya Anta. Anta Reza. panggil yang mana saja kamu suka, Anta atau Reza, bebas." katanya sambil berlalu.
tidak lama kemudian semua rombongan polisi ini bergegas dan menghidupkan kembali mesin motornya masing-masing, aku akan di antar malam ini juga kembali ke rumah ku di desa. beriring-iringan, aku di bonceng polisi Anta.
terpaksa ku tinggalkan Petra yang batang hidungnya menghilang entah kemana, sebab aku tak berani melawan pada niat baik aparat keamanan ini. lagi pula kami sudah menunggu Petra hampir setengah jam.
tidak lama kemudian Sampailah kami di belokan area parkir kampungku. aku menuntun mereka berjalan menembus gang yang agak sesak, sampai di depan rumahku yang berada paling ujung, dekat danau.
ayah muncul di balik pintu, setelah aku mengetuk dengan gemetar. ayah menatapku tajam dengan mata merah berair, lantas dia menarik kursi plastik di depan rumah dan hendak melemparkannya kepadaku, beruntung, para polisi yang menemaniku ini begitu tangkas dan cekatan menghalangi ayah.
aku menangis, namun yang lebih menyakitkan adalah ketika ayah menangis di pundak salah satu polisi yang memegangi tubuhnya.
"Aku telah gagal sebagai orang tua, aku tidak bisa menjaga putriku pak!" ayah menangis dengan rintihan paling menyakitkan. kelemahan yang belum pernah ku saksikan selama 17 tahun hidup di dunia bersamanya.
aku gemetar, sampai tubuhku merambang. segera aku bersujud ke lantai, bersimpuh di kaki ayah mohon pengampunan dan maaf darinya. aku bukan hanya shock akibat tangisan dan reaksi ayah, tetapi juga pada perasaannya, seperti ia telah menerima pengkhianatan paling mengerikan terhadap cinta tulus akan aku, anaknya.
"Aku melakukan ini bukan tanpa alasan, pak. dia putriku satu-satunya. hartaku yang paling berharga. satu jengkal saja dia terluka, hatiku sakit, tetapi untuk menjaganya aku pun harus tegas. memang berjuang menjaganya seorang diri itu sangat sulit pak, apalagi saat ku ketahui ada seorang pria yang berani menyentuh tubuhnya secara utuh, duniaku runtuh."
begitulah ayah menjelaskan isi hati dan kekecewaannya. dan apalah arti penyesalanku, semua sudah terjadi dan terlanjur, seperti nasi yang sudah menjadi bubur. aku terbuai akan pergaulan, kisah cinta bebas yang penuh hasrat dan sensual. aku merasa diriku begitu bodoh, anak yang paling durhaka, neraka paling panas yang di takdirkan untuk ayah.
namun, berkat Pak Anta, dan yang lainnya. permasalahan ini dapat meredam. meskipun masih ada jarak sedikit dan ayah tetap mendiami dan bersikap dingin padaku. sejak malam panjang dan kelabu itu, Pak Anta dan anggota aparat yang membantuku ini selalu datang entah siang atau malam, sekedar mampir minum kopi di warung ayah dan memastikan bahwa hubungan kami tetap baik-baik saja.
hingga yang paling mengejutkan, tepatnya di malam sabtu; saat itu hanya ada Pak Anta di temani beberapa rekannya, tidak sebanyak biasanya. tiba-tiba dia melamar ku di hadapan ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Fitri 2708
kania nya aja emng hadehhh 😌😏😒
2024-08-21
0
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
penyesalan terbesar seorang ayah adalah gagal menjaga putrinya. 🥺😔
2023-12-19
1
Asypah Asypah
aku kok nangis pas ayahnya nangis dipundak polisi
2023-10-15
1