Kurir Arwah Penasaran
Bunyi peluit panjang dari petugas pengatur lalu lintas kereta terdengar nyaring. Ferdian melepas tuas rem dengan lega. Kereta berhenti tepat di jalur seharusnya. Ia melambaikan tangan pada beberapa penumpang yang turun sebagai ucapan terimakasih tentu saja dengan senyum mengembang di bibirnya.
Ferdian turun dari lokomotif dan masuk ke ruangan khusus para masinis. Mengisi data dan melaporkan kendala yang ia alami selama membawa rangkaian panjang kereta Pasundan dari stasiun Tasikmalaya ke stasiun Gubeng.
"Kereta besok pagi siap berangkat jam 08.10 mas!" ujar salah satu petugas pengatur lalu lintas pada Ferdian.
"Ok, thanks!"
Ferdian berpamitan setelah mengambil segelas kopi dari mesin pembuat kopi otomatis. Ia melangkah keluar dan mengambil ponsel di sakunya. Beberapa panggilan masuk dari istrinya Mia terabaikan. Ferdian menghela nafas panjang, ia melihat ke kanan dan kiri sebelum akhirnya memutuskan menghubungi sang Istri.
"Ya mah, ada apa? Papah baru sampai di Gubeng."
"Papah baru sampai ya? Maaf mamah bingung tadi nggak tahu mesti hubungi siapa?"
Ferdian memijat kepalanya yang pusing. Dari ucapan istrinya ia sudah bisa menebak apa yang ingin disampaikan.
"Tagihan lagi?"
"Ehm, iya pah. Mamah bingung harus cari pinjaman kemana lagi!" suara sang istri tercekat karena menahan tangis.
Ferdian menghela nafas panjang, untuk kesekian kalinya ia dibuat pusing tujuh keliling. Tagihan pinjaman onlinenya membengkak, dari sepuluh juta menjadi empat puluh lima juta. Angka yang sangat fantastis bagi dirinya yang hanya seorang pegawai BUMN.
Ia dan istrinya terpaksa meminjam uang ke salah satu aplikasi pinjaman online, karena kebutuhan mendesak. Kala itu putra semata wayang mereka Agung, harus segera dioperasi. Damar hanya memiliki waktu terbatas, meminjam ke koperasi dan saudara jelas tak mungkin dilakukan dan prosesnya sangat panjang.
Akhirnya mereka memutuskan untuk meminjam sejumlah uang melalui aplikasi yang sering sekali muncul di layar ponsel. Hanya dalam hitungan jam sejumlah uang telah berpindah ke rekening Ferdian. Agung memang bisa diselamatkan tapi tidak dengan keuangan Ferdian.
Bulan demi bulan berjalan, Ferdian mengalami kesulitan ekonomi. Ia mulai menunggak pembayaran dan buntutnya tagihan membengkak hingga berkali kali lipat. Belum lagi tekanan dari pesan, telepon, dan intimidasi para debt collector yang tanpa aturan datang menagih.
Ingin rasanya Ferdian berteriak dan memaki dirinya yang bodoh, tapi apa daya ini semua kesalahannya yang tak berpikir jernih.
Mia terus menangis membuat hati Ferdian teriris. "Sudahlah mah, nanti papah coba ajukan lagi pinjaman ke kantor. Kalo nggak bisa juga ya terpaksa kita jual rumah." ucapnya tak kalah sedih.
Rumah yang dimaksud Ferdian adalah rumah peninggalan kedua orang tuanya. Rumah yang seharusnya dibagi dengan tiga saudara yang lain. Hingga saat ini Ferdian masih menempati rumah itu. Tak ada pilihan lain untuk menjual rumah itu jika memang hanya itu opsi terbaik. Urusan dengan dua saudara lainnya akan dipikir belakangan.
Setelah beberapa saat mendengarkan keluhan sang istri dan menguatkan hatinya Ferdian pun mengakhiri panggilannya. Surabaya diguyur hujan deras dan Ferdian masih berdiri termangu di pinggiran peron. Kereta yang dibawanya adalah kereta terakhir yang memasuki stasiun Gubeng.
Ia menikmati kopinya, membiarkan aroma kafein menyusup ke dalam tiap sel otaknya. Menyegarkan pikirannya yang buntu. Sungguh ia dalam posisi yang sangat bingung dan tak tahu harus bagaimana.
Mia, istrinya terus menangis ketakutan. Ia malu karena mendapat protes dari tetangga dan kerabat. Mereka mendapat teror serupa Mia, dari lembaga pinjaman online.
"Mas Ferdi, kok belum pulang? Mau bareng sama saya? Kebetulan payung besar ini bisa buat berdua." Seorang petugas OTC (pembersihan sampah kereta) yang dikenal Ferdian menawarkan bantuan.
"Eh mas Pras, maturnuwun. Kebetulan saya lagi bingung gimana caranya ke mess."
Ferdian dan Prasetyo akhirnya berjalan bersama hingga tiba di mess karyawan. "Mas Ferdi butuh apa lagi nanti saya bantu buat nggak keluar mess lagi."
"Wah nggak perlu mas makasih, nanti gampang saya cari sendiri aja. Saya ngantuk, pengen tidur."
Pras mengangguk dan berpamitan meninggalkan Ferdian yang masih termangu menikmati hening malam. Jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari, tubuhnya lelah, matanya perih karena seharian menatap trek lurus jalur kereta Ia kembali menghela nafas, dan masuk ke dalam. Berharap dirinya bisa segera memeluk malam dalam ketenangan mimpi.
Alarm ponsel Ferdian berbunyi nyaring, ia hanya melirik sedikit sambil membuat simpul dasi. Membiarkannya berbunyi sampai ia selesai merapikan dasi hitamnya. Ferdian menatap kembali ponselnya yang masih menyala. Foto dirinya dan Mia serta Agung membuatnya kembali menghela nafas.
Semalaman Ferdian tidak kunjung lelap dalam tidurnya. Bayangan istrinya yang menangis, Agung yang terbaring sakit dan juga hardikan preman penagih hutang yang tak punya rasa iba membuatnya sulit memejamkan mata dengan tenang. Hingga ia putuskan untuk mandi saat adzan subuh berkumandang. Melaksanakan kewajibannya sebagai muslim dengan dua rakaat.
Entah apa yang salah dalam hidup Ferdian hingga dirinya harus terjatuh dalam belitan hutang. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari asisten masinis yang mengingatkan jam keberangkatan kereta. Ia pun bergegas keluar kamar dan setengah berlari menuju stasiun.
"Mas Ferdi, saya kira belum bangun." Asisten masinis yang sudah dua tahun mendampinginya menyapa dengan senyum ramah.
"Nggak dong, udah siap semua?"
"Monggo di cek lagi mas, saya takut ada yang kelupaan." Sang asisten mendampingi Ferdian untuk mengecek ulang. Memeriksa rangkaian gerbong bersama teknisi mesin lain sebelum akhirnya menyatakan siap.
"Oke semua beres,"
Ferdian kembali mengisi dokumen perjalanan sebelum berangkat. Tak lupa mematikan ponselnya, Ferdian tak ingin konsentrasinya terganggu selama perjalanan.
Suara peluit panjang kembali terdengar, Ferdian kembali melakukan kereta kembali ke stasiun Bandung. Jika tak ada aral melintang kereta akan tiba tepat jam 23.30 di Bandung.
*
*
*
Tiba di stasiun Tasikmalaya, Ferdian memutuskan untuk menyalakan ponselnya. Hatinya mendadak tak karuan, perasaannya mengatakan sesuatu terjadi pada Mia, istrinya. Ferdian sengaja masuk ke kamar mandi agar tak terganggu dengan bisingnya suara mesin.
Matanya menatap nanar foto yang dikirim kepadanya, Mia babak belur dihajar para penagih hutang. Berkali-kali panggilan tak terjawab masuk ke dalam ponselnya saat dalam perjalanan. Hati Ferdian remuk melihat sang istri yang terkulai lemas di bangsal rumah sakit.
Ferdian memberanikan diri untuk menghubungi keluarganya tapi tak ada satupun yang menjawab.
"Brengsek!" ia menghantam dinding keramik dengan keras, darah merembes dari lukanya.
"Mas Ferdi, Mas Ferdi di dalam? Kita berangkat sepuluh menit lagi!" teriak Dimas dari luar.
Ferdian mengusap air matanya, "Ya, sebentar lagi aku keluar!"
Hati suami mana yang tak hancur saat melihat orang yang dicintai terluka. Mia mengirim pesan padanya.
[Aku baik-baik saja mas, jangan khawatir. Agung juga baik. Lekas pulang.]
"Tunggu aku Mia, sebentar lagi aku datang." gumamnya lirih sambil mengusap air mata.
Ferdian kembali ke ruangan mesin dengan tangan berbalut kain, Dimas yang melihat luka itu pun terkejut.
"Lho mas, tangannya kenapa?"
"Jatuh tadi. Ehm, kamu bisa ambil alih nggak Di? Tangan aku sakit."
"Oh ya mas bisa kok, mas Ferdi duduk aja dulu."
Dengan cekatan Dimas mengambil alih kemudi sementara Ferdian duduk di belakangnya. Tangannya sibuk mengetikkan pesan pada beberapa kenalan dan saudara dekatnya. Ia perlu bantuan, setidaknya untuk membayar hutang pokok.
Detik, menit, jam berlalu tak ada satupun dari nomor yang dihubungi membalas pesannya. Mereka hanya membaca tanpa membalas. Ferdian frustasi dan tak tahu harus berbuat apa. Begitu sesak dadanya hingga tak mampu lagi menahan bulir bening di matanya. Dimas yang sedari awal sudah menduga jika Ferdian memiliki masalah akhirnya membuka suara.
"Ada yang bisa saya bantu mas?"
Ferdian menggelengkan kepala. Mana mungkin ia membuka permasalahan keuangan pada rekannya. Meski ia tahu kasak kusuk dibelakangnya sudah mulai beredar. Beberapa rekan kerja Ferdian juga mendapatkan teror tak sopan dari para penagih hutang, dan ia tak bisa berbuat banyak untuk menutup mulut-mulut jahil yang menggunjingkan dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Septiana Ningsih
memang pinjol begitu
2024-05-03
1
YuniSetyowati 1999
Hai Thor 🙋 salam kenal ya &
Numpang nongkrong ya thor
2024-04-30
1
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
trnyta ngeri juga y pinjol..bungane nyekik
2024-04-30
2