Mikaela tiba di tempat tujuan setelah menempuh perjalanan kurang lebih delapan jam lamanya. Desa ini cukup terpencil letaknya, dari pusat Kabupaten, tetapi sudah cukup modern. Terbukti jalanan teraspal dengan licin, meskipun tidak lebar seperti jalan utama di ibu kota.
Rumah sederhana dengan halaman luas, Mikaela tersenyum saat melihat rumah peninggalan eyangnya. Ia telah sampai, itu artinya Mikaela selamat dari pernikahan yang mungkin saja akan menjeratnya dengan penderitaan.
Rumah ini tidak satupun dari cucu-cucu almarhum eyang Sucipto menempatinya. Mereka sudah memiliki kehidupan sendiri dengan keluarganya di ibu kota. Sedangkan anak tunggalnya pun sudah berpulang, ayah dari Sekar dan Burhan. Meskipun tidak ada lagi yang menempati, tetapi rumah tersebut sangat bersih dan rapih. Itu karena ada yang bertugas membersihkannya.
"Mbak.. siapa ya?" Wanita berpakaian daster lengkap dengan kain jarit yang membelit pinggul sampai bawah itu mendekat, lalu bertanya pada Mikaela. Dilihat, gadis yang asing serta penampilannya bukan seperti gadis desa pada umumnya, ia curiga.
Mikaela tersenyum ramah. "Saya Mikaela.. cucu eyang Sucipto." ucapnya. Mungkin dengan menyebut nama eyangnya, wanita itu bisa mengenali.
"Oalahhh... cucu buyut eyang Sucipto yang ada di kota? Putra ne sinten? Bu Sekar atau pak Burhan?" tanyanya dengan logat bahasa yang begitu khas sekali mencerminkan orang Jawa tulen.
"Mama Sekar.." jawab Mikaela.
"Oalahhh udah gede ayu pisan." Wanita yang bernama Lastri itu sempat melihat Mikaela sewaktu kecil. "Ayu kaya artis. Tadi saya kira artis yang mau manggung di Balai desa nyasar ke sini. Bening pisan, alus maning." ujarnya sambil mengelus tangan Mikaela yang sudah ada di genggamannya. Ia sempat mengira Mikaela itu seorang biduan terkenal yang nanti malam akan meramaikan acara di balai desa. "Saya ini mbak Lastri, tetangga rumah ini, Bu Sekar juga yang nyuruh saya buat bersih-bersih di rumah ini." Mbak Lastri antusias sekali menyambut kedatangan Mikaela sampai tak henti berceloteh.
"Bu Lastri, tolong jangan bilang aku ada di sini ke mama aku ya." Mendengar jika mbak Lastri ini mengenal dekat dengan mama Sekar, Mikaela segera memperingati mbak Lastri agar tidak mengatakan dirinya ada di rumah eyang Sucipto.
"Eh?" Ia terkejut. "Iya.. iya.. nanti gak bilang sama bu Sekar." Mbak Lastri langsung menyanggupi untuk menutup mulut.
Kemudian mbak Lastri membawa Mikaela masuk ke dalam rumah. Menunjukkan kamar yang dulu ditempati oleh Sekar.
Mikaela cukup senang, karena rumah ini di lengkapi dengan perabotan elektronik modern, seperti lemari pendingin, televisi berlayar tipis, mesin cuci, dapur pun tidak begitu buruk, bukan tungku yang memerlukan kayu bakar agar menghasilkan api untuk memasak. Mikaela bisa menggunakannya.
"Ini semua mama non Mikaela yang ngisi, rumah di renovasi juga sama mamanya non. Kalo pak Burhan mah boro-boro mau, inget pulang buat nengokin kampung halaman sendiri juga gak." Wanita itu mulai mengoceh. Biasa, mamak-mamak suka bergosip! "Eh, kok malah jadi curhat. Non Mika bisa langsung istirahat, kasurnya bersih kok baru di ganti tadi pagi. Kebetulan banget non Mika dateng."
"Maksih Bu Lastri." ucapnya sambil tersenyum. Mikaela memang ingin beristirahat, tubuhnya terasa pegal setelah melakukan perjalanan panjang.
"Panggil bi Lastri aja jangan ibu, kaya priyayi." Ucapnya tersenyum. "Mau saya masakin apa?"
"Emm.. apa aja bi."
"Yo wis, nanti kalo udah jadi thak bangunin." Mbak Lastri pergi untuk menyiapkan makanan.
Malam harinya mbak Lastri datang kembali membawa makanan untuk Mikaela. Kali ini ia datang tidak sendirian.
"Ini non Mika, makan seadanya." ujar mbak Lastri sambil menghidangkan lauk pauk beserta nasi. "Kenalkan, ini Ajeng anak bibi. Mungkin umur kalian gak jauh beda." Mbak Lastri mengenalkan putrinya pada Mikaela.
"Terimakasih bi." ucapnya. Kemudian ia menyambut jabatan tangan dari perempuan bernama Ajeng itu. "Aku Mikaela, panggil aja Mika."
Ajeng mengangguk canggung. "Saya Ajeng, mbak." Usia mereka tidak jauh berbeda, Ajeng lebih muda tiga tahun dari Mikaela.
Di rumah yang cukup besar ini, Mikaela takut kalau tinggal sendirian. "Emm.. Ajeng, tinggal di sini aja ya, nemenin aku. Aku takut sendirian." Pintanya.
Ajeng yang masih canggung mengangguk, menurut saja apa kata Mikaela. "Iya mbak."
Mereka bertiga lanjut makan malam bersama. Mikaela yang memiliki kerendahan hati tidak masalah makan bersama mbak Lastri dan Ajeng. Ia malah seneng memiliki teman baru di desa ini.
***
Keesokan harinya, Mikaela di temani Ajeng pergi ke pasar untuk membeli sayuran dan perlengkapan lainnya yang tidak ada di rumah. Mikaela ini tidak pandai memasak, tetapi ia akan belajar mulai dari sekarang, mengingat dirinya akan tinggal jauh dari orang tua.
"Mbak Mika bisa masak?" Ajeng sudah mulai berani mengakrabkan diri. Ia heran kenapa gadis cantik yang berasal dari kota ini mau repot-repot memasak. Biasanya yang ia tahu itu gadis-gadis kota enggan terjun ke dapur.
Mikaela menyengir. "Hehe.. gak pinter banget sih, cuma bisa lah dikit dikit, sekalian belajar jadi istri idaman, bisa masakin suami." Khayalannya begitu manis, membayangkan ketika berkeluarga nanti, Mikaela menjadi ibu rumah tangga yang perhatian pada suaminya dan anak-anaknya. Ia akan sepenuh hati mencurahkan kasih sayangnya pada keluarga. "Ini masih lama gak sih, kok gak nyampe-nyampe?" tanyanya. Kedua gadis itu tengah menaiki sepeda motor milik Ajeng untuk pergi ke pasar.
"Bentar lagi mbak." jawab Ajeng yang tengah fokus mengemudi sepeda motornya. "Panas ya? Takut jadi item ya? Hehe.." selorohnya.
"Hihi.. iya panas, untung aku tadi pake sunscreen." ucapnya.
Mikaela Nugraha, gadis dari keluarga yang berkecukupan, tidak miskin dan juga tidak kaya seperti konglomerat. Ayahnya seorang direktur Bank swasta. Ibunya seorang dosen di universitas negeri, tetapi sudah memutuskan untuk pensiun dini. Mikaela sendiri memiliki adik laki-laki bernama Arjuna Nugraha, yang kini masih menempuh pendidikan di universitas di Jakarta. Jadi jangan heran kalau Mikaela harus membiasakan diri dan beradaptasi di lingkungan di desa ini.
Tiba di pasar, Mikaela berusaha mengabaikan bau tak sedap. Biasanya ia menemani mama Sekar berbelanja di pasar modern. Lagi-lagi Mikaela sudah memprediksinya, ia pun memakai masker penutup hidung.
"Eh, mas Jaka! Beli apa mas, tumben sendiri?" Seru Ajeng menyapa seorang laki-laki yang tak sengaja berpapasan dengan mereka.
Pria berperawakan tinggi besar dengan tubuh proporsional pun balik tersenyum. "Beli pupuk, mas Karyo lagi gak bisa." jawabnya.
Mikaela membeku ketika pria bernama Jaka itu tersenyum padanya. Manis sekali...
"Kenalin mas, ini mbak Mika. Cucunya eyang Sucipto." Ajeng memperkenalkan Mikaela pada Jaka.
Senyuman Jaka semakin lebar saja, jantung Mikaela pun terus bertalu saking terkesimanya dengan pria ini.
"Mbak! Mbak Mika!" suara Ajeng membuyarkan lamunan Mikaela yang entah sedang memikirkan apa.
"Eh.." pekik Mikaela.
"Mbak Mika ini di ajak kenalan sama mas Jaka diem aja. Orangnya jadi pergi tuh.. gak enak aku mbak!" ujar Ajeng. Ia merasa tak enak hati, karena Mikaela mengacuhkan Jaka.
"Eh.. aku tadi.." bukan maksud mengabaikan. Tetapi Mikaela asik menikmati senyuman manis Jaka sampai tak sadar.
"Udahlah, ayo mbak keburu siang nanti pada abis." Ajeng menarik tangan Mikaela agar mengikutinya.
"Jeng, tadi namanya siapa? Aku lupa?" tanya Mikaela penasaran.
"Mas Jaka." jawab Ajeng santai.
Mikaela senyum-senyum sendiri. Sepertinya ia terkesima pada pandangan pertama. Lalu apa dia sudah melupakan Roy? Semudah itukah hatinya berpaling?
Mikaela tidak tahu saja kalau pria yang ia taksir adalah seorang petani. Jika tahu? Mikaela akan berpikir seribu kali untuk tertarik pada pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Ta..h
petani sukses gpp y jadi juragan beras aja 😅😅.buka gilingan padi
2023-08-01
2
Muhammad Dimas Prasetyo
gapapa petani juga manusia yg penting ga suka selingkuh
2023-05-02
2
Rika93
asalkan Mas Jaka setiaa.. eaaakkkkk😁
2023-05-02
1