Bab 2

"Mah, tolong beri tahu Imah di mana Mas Afnan di rawat?" pinta Salimah dengan penuh permohonan.

Sri tersenyum sinis, sudah pasti dia tidak akan memberitahukan keberadaan putranya pada sang menantu.

"Engga akan, sebaiknya kamu pergi dari sini, tunggu surat cerai dari kami."

Ucapan sang mertua seperti sebuah belati yang menghunus jantungnya.

Salimah meluruh, tubuhnya yang memang masih lemah tak dapat menerima kabar buruk dari sang mertua.

"Tolong jangan pisahkan kami Mah, kami saling mencintai, ada Roni juga di antara kami. Apa mamah enggak kasihan sama cucu mamah sendiri?" ucap Salimah mengiba.

"Aku tak memerlukan cucu dari wanita sepertimu. Aku yakin Afnan akan segera mendapatkan wanita yang lebih pantas untuknya."

"Pergilah, bawa serta anakmu yang jauh dari sini! Kalau kamu masih memaksa, maka jangan salahkan aku kalau nanti menyakiti anakmu!" ancamnya.

Sri bahkan enggan menyebut namanya sebagai mertua Salimah. Dia lebih senang menyebut aku atau saya seperti orang asing pada menantunya.

Air mata Salimah turun semakin deras, dia tak menyangka sang mertua akan melakukan hal kejam ini padanya.

Karena merasa bosan harus berlama-lama dengan Salimah dengan tak punya hati Sri meminta dua keamanan menyeret tubuh menantunya keluar dengan paksa.

"Tolong jangan seperti ini mah. Izinkan Imah bertemu mas Afnan," pekiknya yang sama sekali tak di gubris oleh Sri.

"Sudahlah mbak Salimah, percuma mbak teriak-teriak seperti ini, Nyonya tak akan mau mendengarkan permintaan Mbak Salimah," ujar salah satu petugas keamanan Sri.

"Saya harus bagaimana Pak? Saya mau bertemu mas Afnan, apa bapak-bapak enggak tau di mana suami saya di rawat?" ibanya pada kedua petugas keamanan.

Keduanya saling melempar pandangan, jelas saja mereka tahu di mana keberadaan tuan muda mereka.

Namun demi pekerjaan, mereka jelas tak bisa memberitahukan keberadaan Afnan pada Salimah, karena pekerjaan mereka pasti yang akan menjadi taruhannya.

"Maafkan kami Mbak Salimah. Kami enggak bisa membantu banyak, coba aja mbak cari ke rumah sepupu atau saudara Nyonya Sri dan Mas Afnan," pinta mereka.

Meski tidak tega mereka tetap tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu istri dari anak majikan mereka.

Salimah berjalan dengan lunglai. Perutnya masih terasa sakit. Dirinya juga merasa kelaparan saat ini.

Namun begitu, dia harus segera ke rumah Tuti untuk menjemput Roni.

Sebelum pulang ke rumah Tuti, Salimah berhenti di sebuah mesin anjungan tunai mandiri untuk mengambil uang.

Dia berharap semoga uangnya cukup untuk kebutuhannya sehari-hari.

Napas Salimah tercekat kala dia tak bisa mengambil uang, bahkan mengecek saldonya. Dia yakin ibu mertuanya telah memblokir kartu Atm. miliknya.

"Ya Allah, aku harus gimana? Aku sama sekali enggak punya uang," satu air mata kembali lolos di pipi Salimah.

"Udah belum sih Mbak! Malah diem di situ, ngga liat apa antrenya udah panjang!" gerutu salah satu orang di belakang Salimah.

"Maaf," jawab Salimah sambil menunduk dan meninggalkan antrean.

Perutnya semakin melilit, tapi uang di dalam dompetnya hanya tersisa lima puluh ribu. Uang tunai yang dia miliki sudah habis untuk membayar biaya perawatannya di rumah sakit pasca keguguran.

Salimah mengusap air matanya kala langkah kakinya sudah mendekati kediaman milik Tuti.

Dia melihat rumahnya yang gerbangnya sudah di rantai. Hatinya merasa sakit karena harus terusir dari rumahnya sendiri.

"Bunda!" pekik Rino yang sedang berada di teras rumah Tuti.

"Sayang, lagi apa?" tanya Salimah sambil menatap sendu putranya.

"Tadi abis makan kue dari mbah Seno Bun, sini Bun kuenya enak tau!" ajak bocah lima tahun itu pada sang ibu.

Salimah hanya bisa menelan salivanya kasar saat melihat ada beberapa potong kue dan buah di meja bundar yang berada di teras rumah Tuti.

"Mbak Salimah makan dulu ya," tawar Tuti yang tahu keadaan Salimah.

Salimah yang merasa malu, segan menerima bantuan Tuti.

"Jangan menolak Mah, kondisi kamu masih lemah. Makanlah, cuma ini yang bisa kami lakukan untuk membantumu," sela ibunda Tuti.

Mereka sebenarnya tak tega harus menolak keberadaan Salimah. Namun apa daya, rumah mereka tak memungkinkan untuk menampung keduanya.

Salima akhirnya menyerah dan menerima tawaran Tuti dan ibunya untuk makan. Perutnya yang sudah perih minta di isi membuat Salimah memakan dengan lahap.

"Kamu akan tinggal di mana setelah ini Mah?" tanya ibunda Tuti dengan nada sedih.

Tiga tahun bertetangga dengan Salimah membuat mereka cukup dekat. Mereka juga sering saling tolong menolong karena rumah mereka yang memang bersebelahan.

Salimah menggeleng menjawab pertanyaan ibunda Tuti.

"Saya ngga tau harus pergi ke mana Bu," lirihnya.

Tuti dan ibunya saling melempar pandangan tak tega. Wanita lembut itu di usir secara tak manusiawi oleh satu-satunya keluarga yang dia miliki.

"Mbak Imah terima ini ya. Maaf kalau Tuti cuma bisa bantu ini. Jangan putus komunikasi, kami pasti tak segan membantu kalau memang bisa," ucap Tuti sambil menyerahkan amplop putih pada Salimah.

"Apa ini Tuti? Enggak usah, kamu lebih memerlukan ini dari pada saya!" tolak Salimah yang enggan merepotkan keluarga sederhana itu.

"Tolong jangan di tolak Salimah, kami ngga bisa membiarkan kamu tanpa pegangan, terima ya," sela Seno yang ikut bergabung bersama dengan Rusli.

"Benar mbak, terimalah," sambung Rusli. "Mbak akan ke mana? Bagaimana kalau kami antar?" tawar Rusli yang segera di tolak oleh Salimah.

.

.

.

Tbc

Terpopuler

Comments

Katherina Ajawaila

Katherina Ajawaila

mertua berhati iblis nama Sri tapi kelakuan ngk terpuji

2023-09-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!