Al melirik menatap spion tengah hingga tatapan mata bertemu dengan Pak Supir, "Apa mansion pindah? Pulang ke rumah sendiri."
Sebuah pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan. Pak Supir lupa, jika ia memiliki Tuan Muda yang sayang keluarga bahkan di saat tengah bertengkar dengan Tuan Besar saja masih tetap tinggal di rumah demi ketenangan seorang ibu. Kekayaan tak membuat majikan mudanya seenak hati.
Padahal jika membicarakan tempat tinggal. Tuan Muda juga sudah memiliki mansion sendiri tapi memang jarang ditempati kecuali saat pekerjaan terlalu banyak dan tidak ada waktu untuk perjalanan yang lebih jauh. Akhirnya mobil melaju meninggalkan bandara.
Perjalanan selanjutnya sekitar satu jam dua puluh menit yang cukup melelahkan tetapi lebih baik dari karena saat ini ada teman untuk diajak basa-basi hingga mobil memasuki sebuah gerbang dengan ukiran singa. Bangunan megah dengan desain modern yang memiliki bagian empat puluh persen serba kaca berdiri tegak di depan sana.
"Tuan, barangnya mau di antar ke kamar langsung atau bagaimana?" tanya Pak Supir membuat Al menoleh ke samping.
Kini ia sudah berdiri di luar mobil seraya menggendong sang pujaan hati yang masih saja terlelap. "Bawa saja tapi taruh di ruang kerja ku!" Setelah menjawab, pria itu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Malam yang temaram tanpa bintang. Sepertinya habis hujan karena halaman setapak terlihat basah dengan taman di sudut sana segar. Mansion yang menjadi tempat tinggalnya selama ini merupakan rumah yang penuh kehangatan. Belum juga sampai depan pintu tiba-tiba saja cahaya dari dalam menyorot ke luar bersambut rentangan tangan yang menantinya.
"Welcome, Putraku." sambut Mama Khadijah membuat Al tersenyum tulus meski tak bisa membalas pelukannya karena posisi tidak memungkinkan.
Papa Zaf menarik tangan sang istri agar menunggu nanti saja jika ingin berpelukan, "Al, ayo masuk! Kasian jika menantu kami kedinginan di luar. Ma, mau di gendong gak?" godanya langsung mendapatkan cubitan sayang di perut. "Hehehe, gini-gini Papa masih kuat loh ...,"
"Papa gak bilang pun, Mama dah tau bahkan sampai sakit pinggang. Sudah-sudah, ayo kita masuk." ajak Mama Khadijah menyudahi perdebatan yang pasti bisa berujung panjang kali lebar, jika diteruskan dan tidak ada yang mau mengalah.
Perbincangan kedua orang tuanya selalu menjadi alasan Al tersenyum hangat. Kasih sayang terlihat nyata bahkan ia selalu bersyukur mendapatkan keluarga yang lengkap. "Teruskan saja di kamar, Pa, Ma."
Sahutan sang putra membuat pasutri itu saling pandang. Lalu serempak memukul lengan putra mereka pelan. Beruntung Al sigap dan tetap menjaga gadisnya agar tidak terusik. Akhirnya semua orang masuk ke dalam mansion. Aroma bunga harum semerbak berpadu kesegaran buah.
Langkah kaki yang terus maju seraya memperhatikan perubahan apa saja yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Sejenak tatapan mata terpatri pada bingkai foto yang ada di dinding ruang tamu. Dimana foto yang dipajang merupakan fotonya dan sang kekasih saat berada di atap gedung menikmati makan malam dengan pemandangan menara Eiffel.
"Nak, bawa istrimu ke kamar! Kita bisa bicara setelah ini." ucap Papa Zaf membuat Al mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan kedua orang tuanya. "Ma, boleh minta buatin kopi buat kita duduk bersama?"
Permintaan sang suami selalu menjadi kebahagiaan ketika cara memperlakukannya penuh kasih sayang dengan penghormatan. Mama Khadijah bersyukur memiliki suami yang lembut hati meski terkadang keras kepala. "Tentu, Pa. Sebaiknya bicarakan di ruang keluarga, Mama akan ke dapur."
Kepergian Mama Khadijah untuk memenuhi tugas seorang istri, sedangkan Al yang baru saja masuk ke kamar tercengang melihat perubahan drastis dekorasi yang serba cerah dengan banyak simbol cinta keluarga. Bagaimana tidak? Kamar yang dulunya serba hitam, kini menjadi paduan biru laut dan merah muda.
Bukan hanya itu saja, ranjang besar yang terlihat cool berubah menjadi ranjang seorang putri karena kelambu putih menjuntai mengesankan demikian. "Pasti ulah Mama, sudahlah. Semoga Shine suka dengan semua keceriaan di kamarku."
Disibakkannya tirai menggunakan kaki kanan, lalu dengan hati-hati merebahkan tubuh gadisnya ke atas ranjang. Meski ia tahu, sang kekasih hati akan tetap terlelap sampai esok pagi. Semua itu karena pengaruh obat yang sengaja diberikan agar selama perjalanan tetap beristirahat tanpa gangguan.
"Good night, Asma. Semoga kamu betah di rumah baru kita. Aku pergi dulu untuk bertemu Papa dan Mama. Sweet dreams, My Shine." Bibir mengecup kening sang gadis yang terlelap begitu nyenyak. Lalu kembali merapikan kelambu sebelum pergi meninggalkan kamar.
Baginya kehidupan hanyalah titipan tapi ketika takdir mempertemukan hatinya dengan seorang gadis tanpa ingatan. Ia merasa harus melanjutkan kehidupan dengan sebuah tantangan. Langkah kaki berjalan menyusuri lantai. Tanpa harus berkomentar meski mansion menjadi lebih hidup karena begitu banyak perubahan.
Mata mengedarkan pandangan tetapi tak menemukan keberadaan kedua orang tuanya. Melihat itu, ia terus berjalan hingga mencapai tempat yang selalu menjadi kebersamaan. Ruang keluarga dengan desain alam yang menyejukkan. Tempat duduk di bawah di depan kolam ikan yang berjarak lima meter.
"Pa, Mama mana?" tanyanya mengalihkan perhatian Papa Zaf yang langsung menoleh ke arahnya.
Sang Papa menepuk karpet bulu di sisi kanannya, "Mama lagi buatin kopi buat kita. Sini duduk di sebelah Papa."
Kebiasaan yang sama sejak kecil yaitu duduk bersebelahan untuk menikmati waktu kebersamaan. Rutinitas harian semasa kecil yang lama-lama berubah menjadi kebutuhan. Terkadang para orang tua berusaha untuk mengetahui suasana hati dan pikiran anak mereka dengan cara menghabiskan waktu bersama.
"Al, bagaimana keadaannya? Apa semua sudah aman atau masih harus melakukan perawatan?" tanya Papa Zaf begitu putranya sudah terlihat nyaman berada di dekatnya.
Sebagai seorang ayah. Ia tak pernah menuntut putranya harus begini atau begitu. Zaf tumbuh dewasa lebih cepat dari anak lain karena tanpa diminta sudah mau memikul beban keluarga. Bukan ingin menjadikan Al sebagai pria pebisnis hanya saja sang putra tunggal mencintai pekerjaan kedua orang tuanya tanpa keraguan.
Ketenangan Papa Zaf berbanding terbalik dengan Al yang terdiam. Pria itu berpikir akan bicara dari mana. Apakah harus jujur atau tetap menyembunyikan kebenaran dari kedua orang tuanya. Jika jujur tapi berakhir perpisahan, maka lebih baik diam. Hanya saja bagaimana jika suatu hari nanti, Asma kembali mengingat semua masa lalu yang terlupakan saat ini.
Dilema hatinya berujung kekhawatiran. "Shine baik, Pa. Dokter mengatakan untuk tetap menjaga pola hidup dan juga tidak memberikan tekanan apapun agar cedera di kepalanya bisa sembuh total."
"Alhamdulillah, jadi kalian bisa memulai rencana resepsinya 'kan?" tanya Papa Zaf tanpa basa-basi karena itu permintaan sang istri tercinta.
Mendadak bibir kelu karena pertanyaan papanya jauh di luar ekspektasi. Ternyata satu kebohongan membuat keadaan semakin tak tentu arah. Bagaimana mempersiapkan resepsi ketika hubungan saja masih sebatas pertemanan. Ia tak mungkin bertindak jauh dari batas yang ada.
"Pa, aku rasa, resepsi itu ide yang tidak baik untuk saat ini. Selama di London pergaulannya bahkan ku awasi. Jika boleh jujur, Asma sama seperti Mama. Sama-sama tidak menyukai keramaian, semoga Papa mengerti maksud Al." jelas Al berharap alasannya bisa diterima oleh papanya.
"Kita bisa bahas itu setelah semua benar-benar baik, Pa. Jadi katakan pada Al, apa yang terjadi pada perusahaan kita?" tanya balik Al mengalihkan topik pembicaraan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
🍁𝐀𝐑𝐀❣️💋🅚🅙🅢👻ᴸᴷ
kok sama aku juga tidak suka tempat yang begitu ramai
2023-08-07
0
🍀⃟🦘мєттα_ɳყαᶠᵉⁿⁱ 𝐁𝐚𝐬𝐞
lebih baik jujur sama papa mu
2023-08-07
0
🍀⃟🦘мєттα_ɳყαᶠᵉⁿⁱ 𝐁𝐚𝐬𝐞
Noh pah dpt dukungan dr anak mu. 🤣🤣
2023-08-07
0