Ayo Nikah
"Woy, kalau jalan pakai mata! Jangan pakai kaki!" teriak Cessi kesal.
Seorang pemuda tampan, turun dari mobilnya dan menatap ke arah gadis yang berteriak tersebut. Derap langkahnya berhenti didepan Cessi, ada perasaan aneh ketika dia melihat seorang bocah yang mengenakan seragam putih abu-abu berani membalas tatapan–nya, seolah menantang.
"Kamu bilang apa tadi?"
"Siapa!" teriak Cessi.
"Kamu!" balasnya dengan nyaring.
"Tanya!" ejek Cessi seraya menulurkan lidahnya.
Kali ini Raka dibuat benar-benar kesal, ia mengepalkan kedua tanggan–nya. Namun, belum sempat ia membalas. Gadis itu telah berlalu begitu saja dengan sepeda motornya.
"Hey! Anak kecil!" teriak Raka kesal. Akan tetapi, tidak digubris oleh gadis itu.
"Sialan! Baru kali ini gue dikacangin! Awas! Gue utangin tu anak!" umpat Raka kesal. Belum reda amarahnya, ia melihat mobilnya.
"Astaga!" pekik Raka dengan wajah yang memerah. "Dobel sial gue!" tambahnya lagi seraya mengusap wajahnya.
Mobil yang ia bawa tergores, siapa lagi pelakunya jika bukan Cessi dengan sepeda motornya. Ketika Raka yang ingin keluar dari halaman minimarket dan tidak sengaja menyenggol seorang gadis yang menegangkan pakaian sekolah.
"Gue hutangin tu anak! Awas aja sampai ketemu!" umpat Raka kesal.
***
Sedangkan Cessi terus melajukan motornya menuju sekolah, ia tidak ambil pusing dengan kejadian pagi ini. Terpenting motor kesayangan ayahnya selamat, maka hidupnya pun selamat.
"Cess… lembot baget sih. Ini dah jam berapa?" cerca Amara ketika melihat sahabatnya itu datang.
Belum juga Cessi bisa bernapas dengan tenang, ia sudah dihadapkan oleh Amara yang seperti reporter lapangan.
"Mar! Loe mau gue tabok gak?" teriak Cessi kesal. Setelah memarkirkan motornya dengan cantik, ia mendekati Amara.
"Mau banget, tapi … duit ya?" gelak Amara dengan tawa yang renyah. Sedangkan Cessi hanya tersenyum kecut akan ucapan sahabatnya itu.
Keadaan lingkungan sekolah yang sepi, membuat Cessi merasa curiga dan menatap Amara yang berjalan beriringan dengannya.
"Mar … 'ko sepi ya?"
Amara menarik tangan Cessi dan membisikan sesuatu yang membuat gadis itu memekik keras.
"Dasar! Saus tartar!"
Cessi segera berlari dengan kencang, menuju ke ruangan kelasnya. Sedangkan sahabatnya itu hanya cengengesan.
"Biar kena batunya," gumam Amara seraya berjalan pelan menuju ruangan lain. Sedangkan Cessi dengan nafas yang ngos-ngosan, memasuki ruangan kelas yang dimana sudah ada Pak Martin.
"Celisiaoliv! Kamu tahu ini sudah jam berapa?" Suara sang guru menggelegar, mengisi ruangan tersebut. Membuat Cessi hanya mampu menundukkan kepalanya, merasa kesal dan juga jengkel dengan Amara. Sahabatnya itu tidak memberitahukan, jika Pak Martin sudah ada di dalam kelas.
"Cessi! Kamu dengar! Tidak?" bentak Martin mesal akan anak didiknya yang satu ini. Tukang buat onar, sering membolos, tidak kenal aturan. Akan tetapi, otaknya cerdas. Hal itu poin yang sulit untuk dirinya bantah, sekalipun ia tidak menyukai kekurangan Cessi.
"Maaf, Pak. Tadi, di jalan… saya terkena musibah." Suara Cessi dibuat-buat sedih. Ia tidak berbohong, memang benar adanya. Jika, Cessi mendapatkan musibah sebelum ke sekolah. Walaupun, hanya sepele. Tetap saja, itu musibah. Pikirnya.
Martin membuang nafas panjang, lalu menatap murid-murid yang lain. Jika, ia memarahi Cessi di depan murid yang lain. Maka, ini adalah contoh yang tidak baik. Akhirnya, ia memutuskan untuk menundanya.
"Baik 'lah! Silahkan duduk! Tapi … setelah pelajaran selesai? Kamu ke ruangan Bapak!"
Baru saja Cessi ingin bersorak–sorai, akan tetapi dipatahkan oleh kata-kata terakhir sang guru. Dengan langkah gontai, ia duduk di bangkunya. Membuka tas dan mengambil buku pelajaran hari ini dengan wajah yang lesu.
"Sut … sut … komando kehilangan kendali."
"Kendalinya hilang dibawa tikus," balas Cessi pelan, tanpa menatap lawan bicaranya. Ia fokus pada buku yang dibaca, hingga kode morse kembali berbunyi.
"Sut… sut… kendali pada komando."
"Komandonya lagi logout," balas Cessi yang masih tidak mau menatap lawan bicaranya. Hingga kursi yang diduduki oleh Cessi didorong pelan dari belakang, hal itu membuatnya kesal dan menatap pemuda yang duduk di belakangnya dengan tajam.
"Apa, Go! Gue lagi gak mood! Jangan, diganggu," balas Cessi dengan menekankan setiap kata-katanya.
Tanpa merasa bersalah, Bargon bertanya, "Lo gak pa–pa? Gue kira tadi, lo baka—"
"Ehem … ."
Suara Pak Martin terdengar, kode keras yang berbunyi. Jika, mereka tidak boleh saling berbicara lagi. Sebab, sang guru dalam mode tempur. Cessi kembali menatap papan tulis dan tidak menanggapi, apapun yang dikatakan oleh Bargo. Ia hanya fokus pada materi yang disampaikan oleh wali kelasnya tersebut. Hingga bel istirahat berbunyi.
Kring
"Baik 'lah anak-anak! Pelajaran hari ini Bapak akhiri, jika ada yang masih belum dimengerti? Tolong simpan pertanyaan tersebut untuk pertemuan selanjutnya."
Apa yang dikeluarkan oleh Pak Martin adalah sebuah pekerjaan rumah bagi anak didiknya, hal yang luar biasa dilakukan oleh guru tersebut. Dimana dia mengajak muridnya untuk berpikir cerdas, sebab mottonya mengajar. 'Sedikit bertanya, perbanyak belajar'.
Sehingga, setiap pertemuan. Para pelajar harus menyiapkan coretan lain, guna mencatat. Poin-poin penting apa yang diucapkan oleh sang guru. Bahkan, Cessi biasanya yang paling aktif dalam memprovokasi teman-temannya untuk menyerang Pak Martin dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit.
Namun, bukannya marah. Pak Martin malahan senang, sebab ia bisa melihat potensi anak didiknya satu–persatu. Tanpa, harus melakukan seleksi masal atau memberikan ujian tertulis. Karena, hal yang paling mudah untuknya membedakan anak yang mendengarkan apa yang disampaikan adalah dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajarkan.
"Cessi! Ke ruangan Bapak!" perintah Martin sebelum keluar ruangan kelas. Mengingatkan gadis itu untuk tidak kabur kemana-mana, sedangkan Cessi. Hanya mampu membuang nafas panjang.
"Dasar! Guru killer!" gumam Cessi, saking kesalnya. Akan tetapi, ia tidak menyadari. Jika, Bargo mendengar gumamnya itu.
"Killer–killer? Nanti, ke–iler. Baru nyaho!"
Cessi tidak menggubris ucapan Bagro, ia memilih untuk keluar. Menemui Pak Martin, bahkan. Teman-temannya yang lain telah berhamburan dari kelas, ada yang ke kantin, ada yang ke toilet, ada ke taman dan entah ke mana-mana.
Namun, satu yang pasti. Mereka berada di area sekolah, ditambah sekolahan tersebut yang di pagar beton. Sehingga, tidak ada pelajar yang bisa keluar. Kecuali, ke gerbang utama. Itu Pun dijaga oleh satpam. Nasib baik, ketika Cessi datang. Sang satpam sedang tidak ada di tempatnya, hingga Cessi bisa masuk dengan aman. Disebabkan, bel yang kebetulan baru saja berbunyi sebelum kedatangannya.
"Oliv!" panggil Bargo seraya menarik tangan Cessi. Gadis itu langsung menatap nyalang Bargo, membuat pemuda tersebut mengangkat tangannya. Paham, akan kesalahan yang telah ia lakukan.
"Sorry! Gue cuma mau ikut loe," jelasnya.
Cessi membuang wajahnya, seraya melanjutkan langkahnya. Ia enggan meladeni Bargo yang terkenal jahil bin ajaib.
"Oliv"
Kali ini, Cessi benar-benar geram. Ia menatap Bargo dan mendorong tubuh pemuda itu, hingga menabrak dinding. Tatapan mereka bertemu, seraya Cessi berkata, "Nama gue Cessi! Bukan Oliv!
Bargo menelan silvernya dan menjawab pernyataan gadis yang disukainya, "Iya, gue tahu… nama loe Cessi. Tapi, Oliv itu—"
"Apa!" bentak Cessi mangeretak Bargo.
"Nama kesayangan gue buat loe!" teriak Bargo nyaring dan membuat Cessi semakin geram.
"Dasar Narsis!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
✦ẑ̬î̬฿w̆̈ꪶ✫
Hahahhahaha lucu banget sihh Mereka 🐺.Hihihi
2023-05-24
1
AdindaRa
Wkwkwkwkwk. Bab pertama udah bikin ngakak gak ketulungan.
2023-05-12
2