Rahman akhirnya mengalah kepada Mawar, karena saat ini Mawar menangis setelah Rahman membentaknya.
"Mawar, Mas minta maaf, Mas tidak bermaksud membentak Mawar, tapi Mas harap Mawar mengerti keadaan ekonomi kita saat ini. Mas belum mendapatkan pekerjaan tetap, apalagi sekarang sudah tidak ada Laras yang menanggung biaya hidup kita."
Mawar merasa geram ketika Rahman kembali menyebut nama Laras.
"Mas tidak perlu menyebut-nyebut lagi nama Kak Laras. Sekarang Mawar yang istri Mas Rahman, bukan dia. Jadi, Mas harus menjaga perasaan Mawar."
"Mawar sayang, Mas tidak bermaksud menyebut nama Laras di hadapan kamu, hanya saja sejak kepergian Laras, hidup kita semakin kesusahan."
"Sebaiknya sekarang Mas antar Mawar ke Kampus, Mawar tidak mau sampai terlambat, dan nanti Mawar tidak mau tau, pokoknya Mas Rahman harus mendapatkan uang dengan cara apa pun juga."
Rahman hanya diam tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi, ada rasa menyesal pada hati Rahman setelah menikahi Mawar.
Padahal aku baru menikahi Mawar beberapa hari saja, tapi Mawar sudah menuntut nafkah yang banyak dariku. Sedangkan dulu Laras tidak pernah menuntut apa pun dariku, bahkan Laras selalu bersyukur dengan uang pemberian dariku, meski pun nilainya tidak seberapa. Aku menyesal karena telah melakukan kesalahan. Maafkan aku Laras, karena aku telah menyakiti perempuan sebaik kamu, ucap Rahman dalam hati.
Setelah mengantarkan Mawar ke Kampus, Rahman memutuskan untuk mencari penumpang dengan menunggu di pangkalan ojek.
"Sekarang kamu ngojek Man?" tanya salah satu teman Rahman yang bernama Agus.
"Iya Gus, aku masih belum menemukan pekerjaan tetap," jawab Rahman.
"Memangnya Laras kemana? biasanya kamu tidak pernah mau ngojek karena harus jagain Daffa?"
"Sebenarnya aku dan Laras sudah bercerai, dan aku sudah menikah dengan Mawar Adiknya Laras, meski pun baru secara siri, karena surat cerai aku dan Laras masih belum keluar."
"Gila kamu Man, bisa-bisanya kamu membuang berlian demi batu kerikil, padahal aku lihat Laras perempuan yang baik, bahkan dia rela membanting tulang dengan berdagang dan sambil kerja juga di pabrik," ujar Agus yang tidak habis pikir dengan Rahman.
"Si Rahman pasti sudah tergoda sama daur muda yang lebih cantik dan aduhai," sindir teman-teman Rahman yang lain.
Rahman terus saja memikirkan perkataan Agus, sampai akhirnya Rahman memilih untuk pergi ke rumah orangtuanya, karena penumpang ojek pun tidak kunjung datang.
"Kalau begitu aku pulang duluan ya, aku masih ada keperluan," ujar Rahman, kemudian pergi dari pangkalan ojek.
Pak Syarif saat ini sedang terlihat membaca koran di teras depan rumahnya saat Rahman datang, karena Pak Syarif merupakan pensiunan Guru, sehingga beliau jarang melakukan pekerjaan, dan hanya menikmati masa tuanya dengan bersantai.
"Assalamu'alaikum Pak," ucap Rahman saat melihat Pak Syarif, kemudian Rahman mencium punggung tangan Ayahnya tersebut.
"Wa'alaikumsalam Nak, kamu kemana saja? kenapa baru ke sini lagi? biasanya kalau ada Daffa, kamu main ke sini setiap hari?" tanya Pak Syarif.
"Rahman sibuk cari kerja Pak, Rahman juga sekarang ngojek buat memenuhi kebutuhan sehari-hari."
Bu Ida yang baru saja datang dari dapur, begitu terkejut ketika mendengar Rahman menjadi tukang ojek.
"Apa Ibu tidak salah dengar sekarang kamu jadi tukang ojek? kamu itu seorang Sarjana, Rahman, kenapa kamu malu-maluin kami saja?" ujar Bu Ida yang merasa malu dengan profesi Rahman saat ini.
"Bu, apa pun pekerjaannya yang penting halal. Rahman juga memiliki tanggung jawab untuk menghidupi Anak dan Istrinya," ujar Pak Syarif yang tidak sependapat dengan Bu Ida.
"Tapi tidak harus jadi tukang ojek juga Pak. Apa nanti kata orang-orang kalau mereka tau Anak kita jadi tukang ojek? mau ditaruh dimana muka kita Pak?"
"Bu, kenapa kita harus malu? justru itu merupakan bentuk dari tanggung jawab Rahman. Seandainya saja dulu Rahman mendengar saran Bapak untuk menjadi Guru honorer, pasti sekarang Rahman sudah menjadi seorang Guru, tapi Ibu selalu memanjakan Anak-anak kita, makanya Rahman dan Nisa selalu melawan keinginan kita, dan sekarang mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap kan?"
"Kenapa Bapak jadi nyalahin Ibu? biasanya juga Laras yang jadi tulang punggung keluarga? jadi Rahman tidak perlu repot-repot bekerja."
"Apa Ibu lupa kalau sekarang Rahman sudah bercerai dengan Laras?" tanya Pak Syarif, sehingga Bu Ida terlihat gelagapan karena merasa malu.
"Rahman menyesal karena sudah berselingkuh Pak, ternyata Mawar tidak sebaik Laras, bahkan Mawar banyak sekali permintaan, dan jauh berbeda dari Laras."
"Dari dulu Bapak sudah memperingatkan kamu supaya tidak bermain api, kamu sudah tega menyakiti perempuan baik seperti Laras, akhirnya kamu menyesal juga kan?"
"Sekarang Rahman harus bagaimana? Rahman hari ini belum mendapatkan uang sepeser pun, dan Mawar pasti akan marah saat nanti pulang dari kampus."
"Yang namanya penyesalan selalu datang belakangan. Jadi, kamu jangan pernah menyesal dengan semua yang telah kamu lakukan, karena itu adalah konsekuensi yang harus kamu terima. Sebaiknya kamu terus berusaha mencari pekerjaan, supaya bisa memenuhi semua keinginan istri kamu, belum lagi saat ini Mawar sedang hamil, jadi kamu harus mencari biaya persalinannya."
"Tapi Rahman harus mencari pekerjaan kemana lagi Pak?"
"Maaf Rahman, Bapak tidak bisa membantu kamu, kamu berusaha saja sendiri, dan kamu harus ingat juga dengan Daffa. Meski pun kamu sudah bercerai dengan Laras, tapi Daffa adalah Anak kandung kamu, dan kamu berkewajiban untuk menafkahinya, karena seorang Anak itu tidak akan ada bekasnya," ujar Pak Syarif yang sudah merasa kecewa terhadap Rahman.
Bu Ida yang mendengar cerita Rahman tentang Mawar, kini merasa geram dan menyuruh Rahman supaya menceraikan Mawar.
"Dasar perempuan tidak tau di untung, sebaiknya kamu ceraikan saja si Mawar, dan cari perempuan yang lebih baik segala-galanya dibandingkan dengan si Laras dan si Mawar," ujar Bu Ida, tapi Pak Syarif tidak setuju dengan perkataan Bu Ida.
"Rahman, kamu jangan sampai mengulangi kesalahan lagi. Sudah cukup kamu menyakiti Laras, apalagi sekarang Mawar sedang hamil Anak kamu, jadi kamu tidak akan bisa menceraikannya. Sebagai orangtua seharusnya Ibu tidak menjerumuskan anak Ibu sendiri, dan kejadian ini semoga menjadi pelajaran untuk Rahman."
"Pak, tapi Rahman adalah Anak kita."
"Bu, Rahman sudah dewasa, dan Rahman harus bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk untuk hidupnya. Sebaiknya sebagai orangtua, kita jangan terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga Anak," ujar Pak Syarif, kemudian masuk ke dalam rumah, karena tidak mau terus berdebat dengan Bu Ida.
"Bu, Rahman harus bagaimana? Rahman harus mencari uang dari mana?" rengek Rahman yang selalu bersikap manja, karena dari kecil Bu Ida selalu memanjakan Anak-anaknya.
"Rahman tenang saja, Ibu mempunyai tabungan, jadi Rahman bisa menggunakannya untuk keperluan sehari-hari," bisik Bu Ida, supaya Pak Syarif tidak mendengar perkataannya, padahal diam-diam Pak Syarif mendengar percakapan Bu Ida dan Rahman dari balik pintu.
"Sebaiknya kalau Ibu mau ngasih uang buat Rahman, Ibu suruh Rahman supaya memakai uangnya untuk modal usaha, bukan untuk memanjakan istrinya," sindir Pak Syarif.
Bu Ida dan Rahman terkejut ketika mendengar teriakan Pak Syarif.
"Sudahlah Nak, Rahman tidak perlu mendengarkan perkataan Bapak," ujar Bu Ida, dan Pak Syarif tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya tersebut.
Itulah akibatnya jika terlalu memanjakan Anak, Anak jadi tumbuh menjadi sosok yang manja dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Padahal aku berharap Anak-anakku menjadi sosok yang mandiri, karena suatu saat kami pasti akan meninggalkan Dunia ini, dan tidak akan selalu ada untuk mereka. Sebagai seorang Suami dan orangtua, aku telah gagal mendidik Istri dan Anak-anakku, ucap Pak Syarif dalam hati dengan menitikkan airmata penyesalan karena tidak bisa mendidik Anak dan juga Istrinya dengan baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 226 Episodes
Comments
Soraya
bukan kmu gk bisa mendidik anak dan istrimu sebagai kepala keluarga kmu gk tegas Pak Syarif
2024-07-19
1
himawatidewi satyawira
pengen tak celupin ke gorong maknya rahman..
2023-10-23
1
himawatidewi satyawira
muka ditaruh di depanlah bu...
2023-10-23
0