Rasa penasaran yang menggebu-gebu ini tak bisa ku tahan lagi, segera setelah turun dari panggung aku mencari Leon.
Sambil mengusap air mataku aku pun bertanya.
"Leon mana?".
"Entah dia gak balik dari tadi". Jawab Mahes.
Aku nampak frustasi karena rasa penasaran ini, sikap Leon membuatku semakin curiga terhadapnya. Aku memasang raut kesal dan Dio mendekat dan menanyaiku.
"Kenapa? Lo kok kayak ada masalah gitu?". Tanya Dio.
"Gue pulang duluan". Aku langsung berlari menuju halte bis untuk segera mencari Leon.
Aku tiba-tiba menangis saat berlari karena terbawa suasana, aku sungguh berharap Leon adalah orang yang dapat menjawab rasa penasaran ku terhadap keanehan pada diriku ini.
Tanganku tiba-tiba ditarik oleh seseorang ketika aku berlari, dan ketika aku berbalik ternyata dia adalah Leon.
Aku tidak bisa menatapnya karena takut bertanya dan tiba-tiba mulutku terbungkam tidak tahu harus mulai dari mana membawa obat-obatan.
Aku sekarang menganggapnya seperti cenayang yang selalu tahu apa yang akan terjadi.
"Ayo ikut aku". Ucap Leon.
"Gais kalian duluan aja, aku sama Shire ada urusan sebentar". Ujar Leon ke teman-teman.
"Ta-tapi kalian kan luka-luka?". Tanya Zoey khawatir.
Tiba-tiba Dio melepaskanku dari Leon. "Kenapa? Ada masalah apa? Gue harus tahu".
"Gue mau obatin dia sebentar, sama ada yang mau gue selesain sama Shire". Leon menekankan nada bicaranya, kemudian segera menarikku mengikutinya.
Aku mengikuti Leon kemudian kami menaiki bis. Di dalam bis kami duduk berdampingan dan aku hanya bisa menundukkan kepalaku karena malu tidak bisa mengendalikan air mataku.
Terdengar suara dengusan tawa Leon memperhatikan tingkahku.
"Kenapa? Jangan ketawa! Sumpah aku maluu". Bentak ku, aku menahan malu dengan menutupi wajah bengkakku setelah menangis.
"Coba hadap sini bentar". Tangan Leon meraih wajahku dan menyeka air mataku yang masih tersisa, aneh sekali aku tiba-tiba gugup.
Lalu Leon meraih wajahku membuatku terkejut dan menghindar.
"Kenapa Lo ngehindarin gue? Lo harus berterimakasih udah gue selametin tadi". Tiba-tiba Leon banyak berbicara, tidak seperti biasanya.
Segera saat aku menatapnya lagi, Leon menempelkan plester diwajahku dengan hati-hati.
"Dah selesai". Dia nampak puas menempelkan plester itu.
"Lo juga tadi tiba-tiba lari pas gue tanya dipanggung". Aku membahas kejadian tadi.
"Ahhh..". Dia tiba-tiba mengerang kesakitan.
Aku panik dan menggulung lengan jaketnya terlihat lukanya belum terobati dan terlihat sangat menyakitkan di punggung tangannya.
"Astaga, ini harus segera diobati". Ucapku khawatir dan takut melihat lukanya, tanpa sadar aku memegang tangannya.
Leon hanya tersenyum, aku segera melepaskan tanganku yang memegangi lengannya.
Sesampainya di halte dekat rumah Leon kami berjalan kaki menuju rumahnya.
Saat hendak memasuki rumahnya aku agak ragu, Leon langsung menggandeng masuk.
Dia mengajakku ke suatu ruangan yang dipenuhi lukisan, aku mulai melihat dengan seksama setiap lukisan indah itu.
"Wah keren, lo suka gambar kah? Ini semua lo yang bikin?".
Tanyaku sambil fokus melihat semua lukisan itu.
Leon tetap terdiam, dan tak lama aku menemukan gambar seorang lelaki yang tak asing membuatku membeku.
Wajah pria tua yang selama ini kucari, orang yang mengubah hidupku menjadi seperti ini.
Aku mulai menangis lagi, dan bertanya pada Leon
"Kamu kenal dia? Dimana orang ini sekarang? Aku mencarinya selama ini". Tanyaku.
"Dia ayahku, entah dimana keberadaannya, aku juga mencarinya selama ini". Jawab Leon.
"Sudah kuduga, kamu pasti orangnya.. kamu orang terakhir yang ditemuinya sebelum ia menghilang". Leon melanjutkan.
"Apa?". Aku kebingungan.
"Ayahku, memberikan gitarnya kepadamu bukan?". Kata-kata Leon membuatku semakin terkejut.
"Da.. darimana lo tau? Apa lo juga bisa?". Tanyaku.
"Mimpi.. aku bermimpi tentangmu setiap malam, sebelum aku mengetahui ayahku menghilang, aku mendapati mimpi saat ayah memberimu gitar itu". Jawabnya.
Aku tersimpuh tidak percaya dengan apa yang ia ucapkan.
"Aku harus menemukan ayahmu.. gitar yang kau maksud adalah gitar yang mirip dengan milikmu bukan?". Jawabku. Leon juga ikut terduduk di sampingku.
"Gitar itu.. berbeda.. aku mereplika yang baru sesuai dengan gambaran di mimpiku, aku membuatnya karena sangat frustasi merindukan beliau".
Leon tertunduk bersedih.
Aku menarik nafas panjang, kemudian aku mencoba menceritakan keadaanku. Lalu aku berfikir, penyebab kekuatanku kembali bukan karena gitar Leon, karena itu hanya replika.
Aku pun sadar kalau yang mengembalikan kekuatanku ini adalah sosok Leon. Tapi kenapa harus dia?
Kemudian aku mulai menceritakan keadaanku.
"Semenjak aku mendapat gitar itu, mungkin terdengar gila.. tapi aku bisa mendengar suara ketika suatu hal buruk akan terjadi. Tidak masuk akal bukan? Aku juga berpikir begitu.. tapi aku terus mengalaminya dan membuatku gila, aku benar-benar ingin hidup normal. Suara itu sungguh mengerikan dan datang setiap saat. Apa yang harus aku lakukan? Apakah kau bisa menolongku?". Aku memberanikan diriku bercerita dan memohon bantuannya.
"Sebenarnya semenjak ayah menghilang, aku berusaha mencarimu, di mimpiku kau mengenakan seragam SMP dan aku langsung mencari asal sekolah seragam itu.. gejala yang kau alami mungkin tidak masuk akal, tapi aku mempercayaimu. Kini aku berhasil menemukanmu aku sangat senang, percayalah aku akan melindungimu dan membantumu, aku akan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi". Kata-kata Leon menenangkan diriku.
"Sebenarnya aku curiga kalau kamu punya kekuatan sepertiku. Apakah kejadian lighting tadi kamu sudah mengetahui sebelumnya?". Tanyaku.
Leon mengangguk
"Ya, aku mengetahui semua kejadian buruk tentangmu. Semua itu muncul di mimpiku setiap malam, awalnya aku tidak yakin apakah itu benar-benar akan menjadi kenyataan? Tapi aku menyaksikan sendiri dan itu benar-benar terjadi. Entah kenapa aku mulai resah dan mencoba melindungimu, kau satu-satunya harapanku untuk menemukan ayah".
Aku tersenyum kecil. "Aku masih tidak percaya apa yang kau ceritakan, tapi aku bersyukur bisa menceritakan semua ini. Lain kali, jangan pernah bahayakan nyawamu lagi! By the way terimakasih".
Aku dan Leon mulai akrab lagi dan menghabiskan waktu seharian bersama, kami bernyanyi seharian dan duduk bersebrangan di tuang tamu. Karena lengannya terluka dia terus memintaku mengiringinya lagu yang ia suka.
Aku sangat menyayangkan tangannya terluka padahal ia seorang gitaris genius.
"Sayang banget..". Aku menghentikan permainan gitarku.
"Sayang?". Leon kebingungan dan ikut menghentikan nyanyiannya.
Aku tiba-tiba memarahinya.
"Lo kan tau lo pemain gitar, harus nya hati-hati sama tangan lo! Sayang banget tauk! Besok lagi jangan ngebahayain diri lagi, awas ya!". Aku malah memarahinya.
"Oke, tapi ada satu syarat!". Jawab Leon.
"Apaan lagi, lama-lama kaya ayah lo persis deh suka ngajuin syarat". Jawabku bercanda.
"Aku serius, lo harus selalu dideket gue biar gue juga tenang". Kata-kata Leon entah kenapa tiba-tiba membuatku berdebar.
"Hahaha.. hampir aja gue baper, lo pasti ketularan si Dio nih jadi pinter gombal gitu!". Aku berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa canggung.
Wajah Leon berubah menjadi muram seperti sebelumnya saat dia menjauhiku.
"Kenapa??". Aku segera menanyainya.
Leon terlihat menarik nafas dalam-dalam, dan ia perlahan menggeleng dan mengubah rautnya berusaha tersenyum.
"Hufft.. gapapa". Jawab Leon berusaha terlihat baik-baik saja, tapi aku yakin ada sesuatu.
Namun aku tidak melanjutkan pertanyaanku karena takut merusak mood Leon lagi. Aku membenahi posisi duduk ku dan hendak memulai memainkan gitar lagi.
Lalo Leon tiba-tiba membuka topik baru.
"Lo udah kenal Dio berapa lama?", aku pun segera meletakkan gitar ditanganku.
Aku berjalan mendekatinya dan duduk di sebelahnya kemudian bersiap memakan camilan, karena ini akan jadi cerita yang panjang kalau menyangkut Dio.
Aku pun menceritakan awal bertemu Dio sampai kenangan yang kita lalui dimasa laluku yang suram, dan bagaimana Dio membantuku keluar dari kesulitan yang ku alami.
Aku juga menceritakan bagaimana sikap playboy nya yang membuatku sebal tapi tidak bisa membencinya.
"Terus lo nggak ada rasa sama dia?". Tanya Leon.
Aku agak terkejut mendengarnya.
"Hah? Nggak lah! Gue anggep dia sahabat doang bahkan dah kaya Abang buat gue! Gue udah terlalu tau sikapnya jadi ya.. gitu deh". Jawabku.
Leon menyandarkan tubuhnya ke sofa untuk merilekskan dirinya.
"Syukurlah..!". Jawabnya.
"Hah maksudnya?". Tanyaku.
Leon hanya menggeleng lalu memalingkan tubuhnya dari ku, aku bisa mendengarnya menguap membuatku tertular mengantuk.
Aku juga memalingkan tubuhku ke arah lain dan mulai tertidur, aku merasa sangat lelah hari ini karena banyak sekali hal yang terjadi.
Aku tidak sadar kalau tertidur dan aku terbangun saat hp ku berbunyi, aku terbangun dengan selimut yang diberikan oleh Leon saat aku tertidur.
Saat itu entah dimana Leon sudah tidak ada di sampingku, aku tidak memperhatikannya dan segera meraih hp ku dengan mata masih mengantuk.
"Haloo??". Jawabku dengan suara berat karena masih mengantuk.
"Shire? Kamu dimana kok belum pulang jam segini?". Terdengar suara ayah yang membuat kantuk ku segera hilang.
"Ayahhhh! Ahh iya, anu, em, aku di.. dirumah temen! Tadi habis manggung soalnyaa capek banget jadi ketiduran".
Betapa terkejutnya aku kehabisan kata-kata.
"Ah.. mau ayah jemput? Dirumah siapa emang?". Pertanyaan ayah membuatku kebingungan.
"A..apa? Nggak, nggak usah.. aku bisa pulang sendiri. Oh iya, kok ayah udah pulang sih, aku kira besok?!". Aku terbata-bata karena sangat gugup.
"Ahh.. okedeh, Kerjaan ayah udah kelar tadi pagi, jadi langsung pulang deh.. nanti pulangnya hati hati ya nak!". Ayahku menjelaskan.
"Oke.. oke.. bagus deh abis ini aku pulang, bye yah!". Jawabku terburu-buru dan segera menutup telpon.
Leon datang membawa segelas teh hangat dan memberikannya kepadaku. "Siapa?". Tanya Leon.
"Ayahku, aku harus segera pulang.. takut bisnya nggak ke kejar!". Jawabku.
"Nggak usah buru-buru, ntar gue anter pake mobil". Jawab Leon.
"Apa? Emang lo punya SIM?". Aku kebingungan.
"Kenapa? Lo juga nebeng Dio walaupun Dio nggak punya SIM". Jawabnya ketus.
Aku agak lama berpikir untuk meyakinkan diriku akan tawaran Leon, aku belum yakin apa Leon bisa menyetir.
"Tapi, lo beneran bisa kan? Pernah nabrak gitu nggak?". Tanyaku was-was.
"Gue punya SIM". Jawab Leon.
"A-apa? lo kan baru kelas 1?". Aku terkejut.
"Iya, gue sebenernya udah 17 tahun".
"Lo lahir tahun 2005 juga?". Tanyaku.
"Iya.. tapi gue ulang tahun akhir bulan makanya tk nya ditunda".
"Ah, kita seumuran ternyata. Lo lahir Desember juga? aku sebenarnya juga hampir gak diterima SD soalnya dibilang kemudaan, tapi gurunya kenalan ayahku jadi boleh". Jawabku.
"Hmm, berarti gue lebih tua dari lo ternyata. Gue November". Jawab Leon semakin mengejutkanku.
Setelah percakapan singkat itu, aku kemudian menghabiskan tehku dan bersiap pulang.
Perjalanan cukup lancar dan Leon terlihat mahir mengendarai mobilnya lalu, tiba-tiba terlintas sesuatu di pikiranku.
"Leon, yang ngajarin lo nyetir siapa? Terus selama ini setelah ayah lo menghilang lo beneran tinggal sendiri?". Tanyaku penasaran karena dirumahnya Leon selalu sendiri.
"Gue belajar dari les dong, setelah ayah menghilang aku sendiri tapi ibuku kadang- kadang datang, ayah dan ibu cerai sejak aku SD.
Dia lebih sibuk dengan keluarga barunya, apalagi semenjak SMA dia punya anak bayi jadi udah 2 bulan ini gak pernah jenguk". Cerita Leon benar-benar menyedihkan.
"Huh, berat banget mesti, Kenapa nggak tinggal sama mereka aja?". Tanyaku.
Leon menggelengkan kepalanya "enggak, gue lebih suka dirumah.. lebih bebas, entah kenapa gue nggak siap sama keluarga ibuku". Jawab Leon.
"Yang sabar ya". Aku menepuk pundak Leon karena merasa iba.
Leon tersenyum seakan menganggap itu bukan apa-apa, membuatku semakin iba.
Aku tidak akan melupakan hari ini, aku sangat lega akhirnya dapat membuka diriku paling tidak pada Leon.
Aku harap semua akan segera membaik setelah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments