Bab 5. Peringatan dari Tika.

Jarak antara rumah Anissa dan sekolah sebenarnya cukup jauh, Ari dan Tika sempat terkejut mengetahui alamat rumah wanita itu. Apa lagi Anissa ternyata tinggal seorang diri di sebuah rumah petak yang memang dibelinya secara KPR selama sepuluh tahun.

Yah, mau bagaimana lagi, rumah dengan cicilan kredit termurah memang berada di pinggiran kota yang jauh dari mana-mana. Sementara orang tua Anissa sendiri berada di Jawa Tengah.

Perjalanan yang sudah mereka tempuh selama satu jam itu membuat ketiganya malah saling bercerita soal kehidupan pribadi mereka, padahal Ari sempat menegur sang putri.

"Ibu kerena sekali!" puji Tika setelah mendengar cerita gurunya tersebut.

Anissa tersenyum malu. "Artika dan Pak Ari juga tak kalah keren, terutama Anda Pak Ari. Saya salut pada pria yang mampu merawat anaknya seorang diri, apa lagi itu adalah anak perempuan. Pasti sulit bagi Anda," ujar wanita berusia 30 tahun itu.

Ari tersenyum tipis. "Awalnya memang sulit, tetapi lama-lama saya terbiasa."

"Mengapa Anda tidak menikah lagi Pak? Sekiaranya lima tahun sudah cukup bagi Anda untuk memulainya kembali ... Ahh, maaf jika pertanyaan saya mungkin menyinggung perasaan Anda!" Anissa buru-buru menambahkan kalimat terakhirnya karena merasa tak enak sudah menanyakan hal yang sangat pribadi.

"Tidak apa. Sejak tadi saya pun menanyakan hal-hal di luar sekolah, padahal tadi sempat menegur Tika untuk tidak melakukannya." Keduanya pun tertawa sesaat, sebelum akhirnya Ari menjawab pertanyaan tersebut.

"Saya hanya belum kepikiran ke sana. Membesarkan Tika dan bekerja membuat fokus saya tidak bisa terbagi ke mana-mana."

"Tapi, Tika sekarang sudah besar. Jadi Anda mungkin bisa mulai memikirkan diri sendiri. Orang seperti Anda pasti banyak yang mengincar Pak, saya mendengar beberapa orang di sekolah membicarakan Anda," ujar Anissa.

Ari tertawa kecil. "Benarkah?"

Anissa mengangguk. "Ya, saya banyak mendengar soal ayah Artika yang menjadi idola di sekolah. Saya sendiri baru kali ini melihat Anda. Maklum, jarak rumah yangjauh membuat saya pulang selalu lebih cepat dibanding yang lainnya."

Ari kembali tertawa. Keduanya asyik berbincang-bincang tanpa sadar bahwa Tika sudah terabaikan di belakang dan hanya bisa terdiam menatap mereka.

Akan tetapi, Tika merasa senang-senang saja. Apa lagi ketika melihat sang ayah yang tampak nyaman mengobrol dengan guru bahasa indonesianya itu. Jika diingat-ingat baru kali ini Ari sedemikian antusias berbincang dengan seorang wanita.

Ari memang pria ramah pada siapa pun, termasuk para wanita yang mengaguminya, hanya saja kali ini terlihat sangat berbeda. Tika yang selalu memerhatikan tahu benar hal tersebut.

Tepat depuluh menit kemudian, mereka tiba di depan sebuah rumah mungil berpagar kayu coklat, rumah hasil jerih payah Anissa. Total butuh waktu satu jam sepuluh menit untuk sampai ke sana.

"Tidak selama itu kok, Ibu kan naik motor, jadi bisanya lima puluh menit saja sudah sampai," jawab Anissa ketika mendengar gumaman Tika.

Ayah dan anak itu pun dipersilakan masuk. Namun, Ari menolak halus.

"Jangan begitu Pak, Anda sudah repot-repot mengantar saya pulang, jadi biarkan saya sedikit merepotkan diri juga," kata Anissa memaksa. Alhasil Ari dan Tika pun berkenan duduk di teras menikmati secangkir teh hangat. Tak lupa Anissa juga membelikan mereka bakso yang kebetulan melewati rumah.

Pas sekali, sebab niat mereka semula memang ingin mencari makan.

"Maaf ya Pak Ari, Artika, saya tidak memasak, jadi alakadarnya saja," ucap Anissa.

"Ini sudah lebih dari cukup Bu, kami malah jadi merepotkan," kata Ari.

"Tidak apa-apa Pak Ari."

Di sela-sela makan sore dadakan tersebut, Ari mendapat telepon dari karyawannya bahwa motor Anissa turun mesin dan baru akan selesai paling lama dua hari.

Mendapat kabar itu, Anissa pun mengangguk tidak masalah. Dia masih bisa pergi mengajar menggunakan bus umum nanti.

Selesai makan, mereka berdua pun pamit. Ari semula hendak membayar tagihan bakso, tetapi Anissa menolaknya keras. Alhasil, Ari kembali mengalah.

"Terima kasih sekali lagi atas makanannya Bu," ucap Ari dan Tika.

"Saya juga berterima kasih atas tumpangannya Pak, Artika," ujar Anissa.

Tika pun mencium tangan Anissa, sementara Ari dan Anissa berjabat tangan. Mereka berdua pun berlalu meninggalkan kediaman Anissa setelahnya.

Anissa masih setia berdiri di ambang pintu pagar, meski mobil hitam mewah tersebut telah menghilang dari pandangannya.

"Hei, bengong aja Nis!" Surti, salah seorang tetangganya tiba-tiba datang menghampiri wanita itu.

"Eh, Ibu Surti!" seru Anissa terkejut. Kendati tengah kaget sekali pun suaranya tetap saja lembut.

"Siapa pria dan anak remaja itu, Nis? Sampe makan bakso segala, ciee!" Surti menyenggol bahu Anissa dan menggodanya. Pasalnya Anissa tidak pernah terlihat menerima tamu sejak tinggal di sana, jadi wajar saja sebagai tetangga depan rumah, Surti penasaran. Yah, budaya bertetangga yang unik tak pernah hilang tentunya.

Anissa tersenyum. "Mau tahu aja sih, Bu! Sudah ya, aku mau masuk dulu." Belum sempat sang tetangga menyahut, Anissa sudah keburu lari memasuki rumah.

...**********...

Di sepanjang perjalanan, Tika dan Ari hanya terdiam. Tika sesekali menoleh ka raha Ari yang tengah fokus menyetir mobil.

"Bu Anissa cantik dan baik ya Pa? Kapan-kapan kita main lagi yuk, ke rumahnya!" seloroh Tika tiba-tiba.

"Iya." Jawab Ari cepat yang langsung mendapat teriakan heboh dari Tika.

Menyadari hal tersebut, Ari lantas berkilah dengan panik. Dia meminta Tika yang kini sedang tertawa untuk diam. Namun, Tika tidak mengindahkan.

"Papa cuma mengagumi kemandiriannya Tika, tidak lebih!" Ari menegaskan.

"Lebih juga nggak apa-apa kok, Pa!" sahut Tika sumringah.

"Kamu ini senang sekali sih menjodoh-jodohkan Papa! Memang Papa segitu tidak lakunya?" kata Ari kemudian.

Tika lantas mencibir. "Jangan pura-pura nggak tahu deh Papa se-famous apa. Lagian aku hanya nggak mau Papa menjalin hubungan dengan sembarangan wanita!"

"Sembarangan yang bagaimana?" tanya Ari yang tidak mengerti maksud perkataan Tika.

"Ya yang seperti teman-teman bisnis Papa itu! Wanita-wanita glamor yang hanya bisa berdandan demi menggaet pria-pria kaya seperti Papa!"

"Sembarangan kamu, Nak!"

"Tidak lah, Pa. Sebagai sesama wanita, aku tahu benar pandangan mereka ke Papa. Cinta dan suka mereka hanya lima persen, selebihnya ya apa yang Papa miliki. Makanya aku nggak suka sama mereka." Tika melipat kedua tangannya di dada.

"Mending seperti Bu Anissa yang sederhana dan apa adanya. Bayangkan saja dia lebih memilih pulang cepat dari pada penasaran dengan wajah Papa yang menjadi incaran rekan-rekannya!"

"Kamu itu terlalu berpikiran buruk Nak," ucapnya.

"Terserah Papa saja, yang jelas aku tidak mau ada wanita-wanita dari kalangan sana mendekati Papa, dan Papa tidak boleh menanggapi mereka ramah di luar pekerjaan, titik!"

Mendengar peringatan sang putri, Ari hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!