Obrolan ringan tercipta sepanjang perjalanan Rico mengantar Alina. Obrolan itu ngalir begitu saja tanpa tahu siapa yang memulainya lebih dulu. Baik Rico maupun Alina tak menyadari jika sebuah kenyamanan mulai tercipta di antara mereka.
Perjalanan yang hanya memakan waktu kurang lebih sepuluh menit membuat kedua orang itu merasa tak puas karena obrolan yang belum berakhir. Namun karena Rico juga harus pulang, maka dengan terpaksa dia mengakhiri pertemuannya ini.
"Em, Alina. Kamu kerja jam berapa?" tanya Rico sebelum Alina keluar dari mobilnya.
"Malam," jawab Alina singkat.
"Iya, maksudnya jam berapa?"
"Sekitar jam tujuh. Kenapa?"
"Kamu kerja apa jam segitu?" tanya Rico penasaran.
"Memangnya Rico nggak bilang aku kerja apa?" tanya Alina balik.
"Nggak."
"Kalau weekend, aku suka mengisi live music di cafe. Kalau weekday, aku kerja sebagai supervisor di restoran kecil."
"Lalu kuliah kamu?" tanya Rico lagi dengan heran.
"Sudah kukatakan 'kan. Harus pintar waktu dan kamu nggak perlu tahu karena aku malas menjelaskannya."
Rico menghela nafas dan mengiyakan saja ucapan wanita itu.
"Boleh aku ikut kamu kerja nanti malam?"
Alina mengernyitkan keningnya mendengar permintaan Rico. Ikut dengannya? Namun dia mengiyakan saja karena tak masalah baginya. Hanya melihatnya bernyanyi di cafe tidak ada salahnya, pikirnya. Dan sekali lagi, hitung-hitung dia bisa hemat ongkos ojek.
"Yasudah aku masuk dulu. Kamu pulanglah, nanti papamu marah kalau telat pulangnya."
"Baiklah. Sebelum jam 7 aku akan tiba di sini."
Alina mengiyakan dan setelah dia keluar dari mobil, Rico segera melajukan kendaraannya untuk pulang ke rumah.
*
Di waktu yang sama, Andi yang sedang menyetir membagi fokusnya untuk merayu Rena yang tak berhenti merajuk padanya. Entah kenapa pacarnya itu begitu cemburu buta kepada Alina, sementara semuanya sudah jelas adanya, jika Alina hanyalah temannya saja dan ingin dia coba dekatkan kepada Rico. Namun meski telah dijelaskan, Rena tetap saja merajuk padanya dan mendiamkannya sepanjang perjalanan mereka menuju rumah Rena.
Karena sudah lelah dengan Rena yang tak menanggapinya, akhirnya Andi menghela nafasnya dan menghentikan rayuannya. Suasana tiba-tiba hening karena tak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Setiba di rumah Rena, wanita itu langsung turun dari mobil dan meninggalkan Andi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dan hal itu lagi-lagi harus membuat Andi menghela nafasnya.
Memang dia sangat menyukai tipe wanita seperti pacarnya itu yang cemburuan, namun jika sudah berlebihan seperti ini, dia jadi merasa tidak nyaman. Semua ada batasnya, termasuk cemburu. Sudah dikatakan berapa kali jika dia hanya berteman dengan Alina, tapi Rena tetap saja cemburu buta dengan temannya itu.
Sejak memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Rena sekitar tiga setengah tahun lalu, sejak itu juga Andi mulai menjauhi semua teman wanitanya. Dia melakukan itu agar Rena tidak cemburu yang mengakibatkan pertengkaran dalam hubungan mereka. Namun di sini Alina menjadi pengucualian untuknya jauhi karena wanita itu sudah banyak membantunya selama mereka berteman di Inggris.
Andi juga sudah menjelaskan ini kepada Rena, namun pacarnya itu tetap tidak mau jika dirinya berhubungan dengan wanita manapun selain dirinya. Andi pikir seiring berjalannya waktu Rena akan mulai berubah dan mengerti, namun sampai saat ini wanita itu masih dengan Rena yang sama seperti tiga tahun lalu. Pencemburu!
Jika boleh jujur, Andi sangat menyayangi Rena meski dengan sifat manjanya itu, namun di sini dia juga memiliki hak untuk berteman. Dia tidak mau hubungannya yang masih dalam tahap berpacaran ini membuatnya jauh dari orang baik yang sudah berjasa dalam hidupnya. Andi juga sempat berpikir, jika Tuhan menakdirkan dia dan Rena tidak berjodoh, apakah itu artinya dia harus kehilangan dua orang sekaligus?
Setelah berpikir beberapa saat, Andi akhirnya turun dari mobil untuk menyusul Rena.
"Rena, ikut aku."
Andi menarik tangan wanita itu dengan cukup pelan agar tak menyakitinya, kemudian membawanya ke sisi mobil lainnya yang terparkir.
"Apaan sih. Lepasin," ucap Rena sembari melepaskan tangannya dari genggaman Andi.
"Diam. Aku mau bicara sama kamu," seru Andi dengan wajah seriusnya sembari mengenggam kembali tangan Rena.
Melihat ekspresi pria itu, Rena menelan salivanya. Sudah dia pastikan jika Andi saat ini sedang tidak dalam mode baik-baik saja. Rena terdiam dan menanti dalam cemas tentang apa yang akan dikatakan oleh pria itu.
"Kenapa kamu begitu cemburu dengan Alina, padahal kamu sudah tahu kalau kami nggak akan pernah ada hubungan lebih dari sekedar teman? Ini pertanyaan terkahirku untuk kamu, jadi tolong dijawab dengan jujur," ucap Andi dengan penekanan.
Rena mengernyitkan keningnya.
"Alina lagi? Kamu kenapa bahas dia terus sih. Aku nggak suka, Ndi," ucap Rena kesal.
"Aku bahas ini karena kamu yang memulai, Renata."
Tak!
Seperti ada sesuatu yang patah di dalam hatinya ketika Andi menyebut namanya. Tidak biasanya Andi memanggilnya dengan nama itu, kecuali saat mereka masih pendekatan dulu. Namun saat ini pacarnya itu memanggilnya dengan panggilan yang berbeda dan entah kenapa tiba-tiba Rena merasa jika Andi benar-benar sedang marah padanya.
"Aku nggak bisa memutus pertemanan dengan Alina begitu saja, dan kamu sudah tahu semua ceritanya, tapi kenapa kamu tetap nggak mau ngerti. Jujur, aku sudah lelah menghadapi sikap kamu yang cemburu nggak jelas gini," ucap Andi. Kini suaranya terdengar sangat tidak ramah di telinga Rena, meski pria itu berkata dengan suara pelan.
"Apa maksud kamu, Ndi?" tanya Rena dengan bibir gemetar. Jantungnya berdebar lebih cepat, seolah mengatakan jika akan terjadi sesuatu yang buruk di antara mereka.
"Aku benar-benar sudah lelah, Ren. Lebih baik kita jalani kehidupan ini sendiri-sendiri saja."
Mata yang semula hanya berkaca-kaca, seketika mulai menitihkan airnya ketika Andi mengatakan kalimat itu. Bibirnya bergetar dan tak percaya akan apa yang dikatakan pria yang masih menggenggam tangannya itu.
"Ka…kamu bercan–"
"Aku serius," potong Andi dengan cepat. "Aku mau kita putus. Aku benar-benar nggak bisa kalau kamu masih cemburu buta seperti ini."
"Aku cemburu karena aku sayang sama kamu, aku cinta–"
Andi menggelengkan kepalanya dengan mata terpejam. Dia kembali memotong perkataan Rena, namun kali ini dengan nada suara yang seperti membentak di telinga Rena.
"Kamu sudah kelewatan, Renata." Rena terdiam dengan rasa terkejutnya. "Jujur, aku sangat suka kamu yang suka cemburu denganku, tapi kali ini kamu sudah melewati batasanmu. Kamu harus tahu kalau aku juga punya hak untuk berteman dengan siapapun, termasuk Alina."
Rena tak bisa lagi menyahuti perkataan Andi. Dia hanya diam dengan air mata yang mengalir di pipi mulusnya.
"Untuk sementara kita cukup sampai di sini saja. Kalau kamu masih cinta dan mau terus sama aku, aku mohon untuk berubah. Bukan berubah untuk nggak cemburu lagi, tapi aku mau kamu mengontrol rasa cemburumu itu pada tempat dan waktu yang tepat."
Andi melepas genggaman tangannya dan mengusap pipi Rena yang basah dengan jari jempolnya.
"Aku yakin kamu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kamu juga harus tahu, sesuatu yang berlebihan nggak akan pernah menjadi baik untuk diri kita. Maafkan aku, aku hanya ingin kamu berubah menjadi Renata yang lebih baik saja."
Setelah mengucapkan kata terakhirnya, Andi memeluk tubuh wanita yang sudah menemaninya selama hampir 4 tahun itu. Dalam pelukan itu, Rena menangis sesegukan. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mereka lewati hari bersama. Rena sangat mencintai pria itu dengan segala kekurangannya dan dia tidak mau putus darinya. Namun entah kenapa mulutnya tak berani berucap, seolah ada dorongan dari dalam hatinya untuk membenarkan perkataan Andi.
Beberapa saat dengan pelukan itu, Andi melepas pelukannya meski Rena masih dalam tangisnya. Dia menatap wajah sembap wanita itu dan mengusap air matanya sejenak sebelum berlalu dari sana dengan satu kalimat yang menyakitkan.
"Happy birthday, Renata ku yang cantik."
Tangis Rena saat itu semakin kencang, benar-benar kencang namun tanpa suara.
Rena tak berani berbalik badan untuk melihat pria yang sudah beranjak meninggalkannya itu. Rasanya sangat sakit menerima keputusan sepihak itu, namun dia sendiri tidak bisa menyalahkan Andi begitu saja karena di sini memang dialah yang memulai. Tangis Rena yang sangat pilu itu membuat seorang pria paruh baya yang ada di teras rumahnya menatapnya dengan iba.
Pria yang tak lain adalah papanya itu, menghampirinya dan langsung memeluk tubuh putri kesayangannya itu dengan erat. Tak ada perkataan yang keluar dari mulut pria itu, dia hanya mengusap bahu anaknya dengan sayang. Menemani putri tunggalnya yang sedang menumpahkan rasa sedih yang hanya bisa dirasakan Renata seorang.
"Pa," ucap Rena dengan lirih setelah sekian lama menangis. "Andi, Pa."
"Its okay. Menangislah, Papa akan menemani kamu."
Hanya itu yang bisa papanya katakan untuk Rena. Pria itu yang sangat paham akan sifat manja putrinya tak bisa berkata sembarang karena dia tidak mau Rena salah dalam menilai apa yang dia katakan. Lebih baik membiarkan putrinya itu tenang terlebih dahulu, setelah itu barulah dia mengajaknya berbicara.
*
Setelah menyelesaikan ibadah maghribnya, Rico bergegas bersiap untuk pergi menuju kontrakan Alina. Dia terlihat terburu-buru karena tiga puluh menit lagi waktu telah menunjukkan pukul tujuh. Jangan sampai Alina terlambat hanya karena menunggunya. Atau juga, jangan sampai Alina pergi lebih dulu dan meninggalkannya. Seharusnya tadi siang dia meminta nomor ponsel wanita itu agar bisa menghubunginya.
Dua puluh menit berperang dengan jalanan, akhirnya mobil yang Rico kemudikan telah tiba di depan halaman kontrakan Alina. Rico turun dari mobil dan berdiri di samping mobilnya sembari melirik ke arah rumah sederhana itu.
Tanpa tahu nomor ponsel dan dengan keraguan untuk mengetuk pintu rumahnya, membuat Rico bingung bagaimana caranya dia memanggil Alina.
"Apa dia sudah pergi ya? Tapi lampu kontrakannya masih hidup," gumam Rico pelan.
Rico masih diam di samping mobilnya, saat dia hendak menghampiri rumah Alina, tiba-tiba saja lampu rumah itu padam dengan sendirinya. Dan beberapa detik kemudian, sosok Alina terlihat keluar dari sana dan akhirnya membuat Rico menghela nafasnya. Dia pikir Alina meninggalkannya, namun ternyata tidak.
Setelah memastikan rumahnya terkunci, Alina menatap ke arahnya sambil berjalan menghampiri. Dia tersenyum tipis yang di mana membuat Rico seketika ikut tersenyum.
"Aku kira kamu sudah pergi," ucap Rico setelah Alina menghampirinya.
"Seharusnya begitu, tapi aku sudah janji untuk menunggu ojek baruku," sahut Alina bercanda.
"Sorry, waktunya mepet banget dengan waktu maghrib."
"Its okay," ucap Alina dengan santai. "Ayo, aku sudah sangat lapar."
Rico mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Alina.
"Lapar? Kamu mau bernyanyi atau makan?" tanya Rico heran.
"Dua-duanya. Ayo, ini sudah hampir jam 7 loh."
Meski tak mengerti dengan ucapan Alina, namun Rico hanya mengiyakan saja karena lima menit lagi waktu telah menunjukkan pukul tujuh. Sudah bisa dia pastika jika Alina akan terlambat malam hari ini.
Rico yang merasa bersalah lantas meminta maaf kembali kepada Alina, namun entah kenapa wanita itu selalu bilang 'its okay' padanya. Seolah tak masalah jika mereka datang terlambat.
Setiba di cafe, Rico mengikuti Alina masuk ke dalam sana. Dia melirik ke arah jam tangannya, ternyata mereka terlambat sepuluh menit dari jam masuk Alina. Dia mengikuti Alina yang menghampiri sekumpulan pria dan wanita dengan usia yang beragam di sebuah meja.
"Apa aku terlambat?" tanya Alina kepada semua yang ada di sana.
"Nggak ada kata terlambat untuk seorang Alina. Tenang saja," ujar salah satu pria berambut gelombang.
"Heh, Rel, lihat-lihat dong kalau mau merayu Alina. Lihat tuh, dia bawa pacarnya," ucap salah seorang wanita di sana sembari menunjuk ke arah Rico.
Sontak mereka semua menatap ke arah Rico yang berada di belakang Alina. Begitu juga dengan Alina yang menatap ke arahnya karena sedikit aneh dengan kata 'pacar' yang dilontarkan temannya itu.
"Aish, ganteng banget pacar Alina."
"Cocok sih, yang satu ganteng dan yang satu cantik."
"Akhirnya Alina mengeluarkan pacarnya juga. Kirain dia beneran jomblo."
Beragam pendapat mereka lontarkan untuk Alina dan Rico. Namun kedua orang yang tengah digosipkan berpacaran itu hanya memasang wajah santai, seolah membenarkan pernyataan tersebut.
"Al, dia pacar kamu?" tanya salah seorang di sana kepada Alina.
Alina melempar pandangannya kepada temannya yang bertanya.
"Bukan. Hanya teman," jawabnya kemudian.
Mereka yang tadinya heboh karena mengira jika Rico adalah pacar Alina lantas menghela nafasnya panjang begitu mengetahui jika mereka hanya berteman.
"Kalau begitu nggak masalah dong kalau aku merayu Alina lagi, Nov?" tanya Farel si pria yang pertama kali merayu Alina.
"Boleh banget. Kalau gitu, aku juga mau merayu teman Alina saja deh," sahut temannya yang bernama Novi.
Mereka tertawa bersama menanggapi candaan yang tak ada lucunya itu.
"Heh, dasar gatel nih orang dua. Mending kalian saling rayu saja, cocok tuh sama-sama gatel," sahut temannya yang lain dan dibalas tawa ngikik oleh yang lainnya.
Alina dan Rico hanya saling lempar senyum mendengar interaksi orang-orang di sana. Entah apa yang mereka berdua rasakan saat ini, yang pasti mereka hanya menikmati hiburan yang ada.
***
.
Jangan lupa tinggalin LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATE ⭐ ya teman-teman. Biar Authornya rajin up. Terima kasih sebelumnya🥰
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Umine LulubagirAwi
wah2x, saingannya rico buayak. 🤭
2023-05-04
2
Stand By Studios
jadian gih
2023-05-04
3