Tiara berdiri di depan gerbang menunggu sang ibu menjemputnya. Gio baru saja keluar, dia melihat Tiara yang dipeluk seorang wanita yang begitu perhatian.
Gio merasa muak melihat semua itu karena dia tidak pernah mendapatkan perhatian dari ibunya. Jangankan perhatian bertemu saja tidak pernah.
"Tiara ayo masuk. Maaf Mama terlambat menjemputmu," ucap Susan yang turun dari mobil.
"Tidak apa-apa Ma," ujar Tiara.
"Bagaimana sekolah pertamamu menyenangkan?" tanya Susan Tiara hanya mengangguk.
"Aku punya kedua teman yang baik. Namanya Mytha dan Zy," ujar Tiara membuat Susan senang.
"Lain kali Mama harus mengundang temanmu itu." Susan berkata seraya menuntun Tiara ke dalam mobil.
"Sungguh memuakkan," gumam Gio yang melihat kebersamaan Tiara dan ibunya. Gio kembali melajukan motornya meninggalkan sekolah setelah mobil Tiara pergi mendahuluinya.
***
"Tiara, wajahmu begitu pucat tanganmu juga sangat dingin. Sayang, kita harus ke rumah sakit sekarang." Susan begitu khawatir.
"Mah … bukankah suhu tubuhku memang seperti ini. Tidak perlu khawatir aku baik-baik saja. Tiara ingin pulang dan istirahat," ucap Tiara.
"Apa belajar di sekolah sangat melelahkan?" tanya Susan.
"Tidak, itu sangat menyenangkan," jawab Tiara. Susan tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
***
Gio baru saja sampai di rumah yang segera memasukkan motornya ke dalam garasi. Baru saja membuka helm seseorang sudah memanggilnya.
"Den Gio, Tuan menunggumu di ruang keluarga."
"Katakan saja aku lelah baru pulang sekolah," katanya dengan dingin pada seorang pelayan. Gio melewati pelayan itu melangkah menuju kamarnya.
Seorang pelayan hanya menyampaikan perintah. Dia pun memberitahukan kepada Baskara Putra sebagai ayahnya. Baskara merasa tidak senang dengan jawaban Gio.
"Anak itu … dimana dia sekarang?" tanya Baskara.
"Di kamarnya Tuan." Baskara hendak berdiri tetapi di tahan sang isteri. "Biarkan Gio istirahat sebentar, masih ada waktu untuk memberitahukannya," katanya dengan tenang. Dengan begitu Baskara kembali duduk.
Gio duduk santai di dalam kamar, bahkan baju seragam masih melekat di tubuhnya. Dia menatap sebuah benda kecil di tangannya.
Bayangan Tiara kembali muncul. Gio tidak menyangka dirinya akan panik melihat Tiara yang jatuh pingsan. Tiba-tiba bayangan seorang gadis yang dia tabrak kembali muncul. Saking takutnya Gio melemparkan obat itu.
"Apa ini … kenapa bayangan itu kembali muncul," gumam Gio.
Tiba-tiba suara ketukan pintu mengejutkannya. "Gio ini Mama." Gio merasa tidak senang akan kehadiran wanita itu. Wajah Gio tidak berekspresi apa pun sangat datar dan dingin. Hingga wanita itu berada di depannya.
"Pakailah ini untuk nanti malam. Papa sudah membelikan untukmu." Kata Junita yang menyimpan sebuah paper bag di hadapan Gio.
"Apa ini?" Gio mendelik kan mata.
"Kita di undang makan malam oleh rekan bisnis papamu. Pakaian itu sangat cocok untuk momen malam nanti," ucap Junita dengan lembut.
"Apa aku perlu ikut? Aku tidak ada hubungannya dengan rekan bisnis atau makan malam." Gio berkata dingin.
"Gio … aku tidak ingin melihatmu terus dimarahi papamu. Jadi menurut lah," pesan Junita mengingatkan.
"Sejak kapan kamu peduli? Apa kamu ibuku?" Tatap Gio dengan dingin. Junita hanya diam ketika Gio menatapnya tajam.
"Aku memang bukan ibumu. Dan kita tidak ada ikatan apa pun. Namun, ketahuilah jika ibu tiri tidak seburuk yang kamu kira. Aku menyayangimu dengan tulus sebagai putraku." Gio memang tidak pernah menganggap Junita ibunya.
"Apa aku harus percaya? Seorang ibu kandung saja tidak peduli apalagi dirimu yang bukan siapa-siapa," cetus Gio.
Wanita itu tidak menjawab dan tetap diam. Baginya Gio tidak akan peduli dengan apa yang dia katakan. Selama 8 tahun dia menjadi ibu sambung tidak pernah Gio hiraukan. Wanita itu pun pergi meninggalkan kamar Gio.
"Apa hak dia mengaturku. Orang dewasa ternyata pandai bersandiwara." Gio tidak pernah menerimanya sebagai ibu walau perlakuan wanita itu sangat baik.
***
"Mama, ada acara apa malam ini? Kenapa aku harus memakai gaun ini?"
"Kita akan kedatangan tamu, sebaiknya kamu berdandan dengan cantik." Kata Susan yang terus merapihkan rambut Tiara.
"Teman Papa?" tanya Tiara
"Rekan bisnis," jawab Susan.
"Tumben sekali Papa mengundang ke rumah."
"Awalnya kami akan bertemu di sebuah resto. Namun, mengingat kesehatanmu Mama tidak ingin pergi."
"Apa aku juga harus menemuinya?" tanya Tiara lagi.
"Katanya mereka membawa anaknya. Mungkin kalian bisa berteman," jawab Susan.
"Mama?" Kata Tiara yang berbalik menghadap Susan. Bahkan Tiara menggenggam tangan Susan dengan erat.
"Jangan katakan jika aku sedang sakit, berjanjilah."
"Mama tidak akan mengatakannya."
"Benarkah?" Susan hanya mengangguk. Tiara pun tersenyum. "Mama, Tiara ingin menambahkan sedikit lipstik, warna pink ini sepertinya cocok. Agar Tiara tidak terlihat pucat."
"Biar Mama pakaikan."
Susan merasa sedih, bahkan bendungan air mata hampir terjatuh. Tujuh belas tahun Tiara menderita Leukimia, dari kecil hidupnya sudah terguncang karena penyakit itu. Bahkan Tiara hampir saja tiada, tetapi Tuhan masih memberi kesempatan untuk dia hidup.
Rumah mewah, harta berlimpah, tidak berarti jika tanpa putrinya.
"Mama?" panggil seorang pria dialah Danu Maheswara ayah Tiara yang memiliki pengaruh besar untuk perusahaan. Setiap pebisnis selalu ingin bekerja sama dengannya.
Namun, dibalik kesuksesannya itu Danu memiliki putri yang terkena penyakit parah. Seberapa besar pengaruhnya terhadap perusahaan tetap tidak bisa menyembuhkan putrinya.
"Putri Papa sangat cantik," kata Danu memuji.
"Benarkah? Apa lipstik ini cocok untuk aku?" tanya Tiara. Danu hanya mengangguk dan tersenyum. Tidak ada salahnya terus memuji penampilan Tiara jika itu membuat Tiara bahagia.
"Kapan Papa pernah berbohong hm …?" Tiara dan Susan hanya menanggapi dengan tawa. "Apa kalian sudah selesai?" tanya Danu kali ini.
"Sedikit lagi," jawab Susan. "Apa mereka sudah datang?" tanya Susan. Danu pun menjawab "Iya."
"Kami akan segera keluar," ujar Susan.
"Kalau begitu aku tunggu di bawah," ujar Danu.
"Iya."
Danu melangkah pergi menemui rekan bisnisnya. Sedangkan Susan kembali merias Tiara.
Di bawah sana Baskara dan Junita setia duduk menunggu Danu dan keluarganya. Tidak lupa mereka membawa Gio putra satu-satunya. Gio terpaksa ikut karena tidak ada alasan.
"Jaga sikapmu mengerti." Belum apa-apa Gio sudah mendapat ancaman. Dia benar-benar malas ikut serta dalam acara bisnis. Dan harus berpura-pura baik dan tersenyum di depan semua orang.
"Maaf, menunggu lama. Istriku sebentar lagi turun." Kata Danu setelah duduk berdampingan dengan mereka.
"Tidak apa-apa pak Danu. Lagi pula kami tidak terburu-buru," kata Baskara.
"Apa ini putramu?" Tatap Danu pada Gio. Baskara langsung menyikut sikunya, meminta Gio untuk memperkenalkan diri. Dengan terpaksa Gio berdiri lalu menunduk hormat, senyum palsu itu terlihat lebar.
"Halo Om, aku Gio salam kenal."
"Salam kenal juga. Anakmu sangat sopan sekali."
"Itu bukan apa-apa. Bukankah seumuran mereka harus menghormati orang tua," tutur Baskara Gio hanya tersenyum hambar.
"Ya, kamu benar," kata Danu
Tidak berselang lama Susan membawa Tiara turun memperkenalkan pada mereka semua. Mereka saling menyapa dan membalas senyuman, tetapi tidak dengan Gio dan Tiara yang tercengang. Mereka berdua terkejut berada di tempat yang sama pada waktu yang sama.
"Ada apa dengan wajah kalian?" tanya Susan
"Tiara kenapa sayang?"
"Gio jaga sikapmu," bisik Baskara pada putranya. "Putri anda sangat cantik pak Danu, mungkin anak saya Gio terpesona sehingga tidak mampu berkedip." Sontak semua orang tertawa mendengar perkataan Baskara.
Namun, Gio tidak suka dengan candaan itu.
"Apa kamu anak baru itu?" Perkataan Gio menghentikan tawa mereka.
"Anak baru?" Para orang tua bertanya-tanya.
"Tiara apa kamu mengenalnya?" tanya Susan Tiara masih diam. Dia takut jika Gio mengatakan kejadian saat dirinya di sekolah.
"Tentu saja Tante karena kita satu kelas," jawab Gio, Susan semakin terkejut.
"Iya Ma. Kami satu kelas," ujar Tiara.
"Benarkah? Jadi kalian berteman," tanya Susan.
"Teman apanya," gumam Gio yang langsung mendapat tatapan tajam dari Baskara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments