.
.
.
Pasangan suami istri yang terbilang masih pengantin baru itu sedang tak mau diganggu oleh siapapun. Bukan karena mau menghabiskan waktu berdua. Melainkan karena sedang bekerja dari rumah. Suami yang sibuk dengan laptop dan tumpukan dokumen, sedang sang istri dengan kertas penuh gambaran yang tak beraturan tercecer di atas meja.
' Drrrttt ' getar ponsel di atas meja membuat salah satu di antara mereka menghentikan kegiatan mereka sejenak.
" Halo,"
" Kenapa kau bisa tahu nomorku?" Alea menoleh. Dareen menelan ludahnya sendiri saat Alea menatapnya penuh tanya.
" Aku tidak mau. Aku sedang sibuk. Kututup teleponnya!" Dareen memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Bukannya membuat Alea berhenti menatapnya, tapi malah rasa penasaran Alea semakin tinggi. Ingin tahu siapa yang meneleponnya.
" Kenapa kau melihatku seperti itu?" Dareen risih dengan tatapan Alea yang seakan ingin bertanya tapi ditahan. Padahal ia ingin mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Alea. Tidakkah ia penasaran dengan kehadiran Bianca yang mengaku sebagai kekasihnya. Apa memang Alea tidak peduli dengan urusan pribadinya. Mustahil sekali jika itu terjadi. Namun kenapa sikap Alea menunjukkan demikian.
" Tidak. Aku hanya merasa terganggu dengan nadamu yang tidak suka saat orang itu tahu nomormu." Alea kembali melanjutkan gambar desainnya yang kurang sedikit lagi selesai. Sejujurnya ia ingin sekali bertanya siapa yang menelepon Dareen. Apa itu Bianca? Untuk apalagi dia menghubungi Dareen, bukannya saat itu Dareen bilang kalau dia sudah menikah. Lalu kenapa masih mau mendekati Dareen. Apa dia ingin merebut Dareen darinya.
' Astaga Alea, apa yang kau pikirkan? Kenapa kau sepertinya sangat takut kalau Dareen akan direbut wanita itu?'
Alea menepuk kepalanya asal. Bodoh sekali ia memiliki pikiran itu. Terserah saja jika Dareen mau pergi. Bukannya dengan begitu ia bisa lepas dari pernikahan yang tidak ia kehendaki ini? Tapi bagaimana nanti dengan orang tuanya. Pasti mereka akan sangat kecewa jika ada perpisahan pada pernikahannya.
' Aku bisa gila kalau terus memikirkannya'
Lagi, Alea menepuk kepalanya berkali-kali. Dareen dibuat heran karenanya.
" Hey, apa yang kau lakukan?"
" Urusi saja urusanmu, jangan ikut campur. Aku butuh inspirasi untuk menyelesaikan desainku"
Dareen tahu kalau Alea sedang berbohong. Karena di atas meja Alea sudah cukup banyak membuat desain outfit pakaian, dan semuanya juga terlihat sudah selesai. Apa yang di pikirkan Alea sebenarnya.
" Kau mau ke mana?" Alea tak menjawab. Berjalan keluar menuju balkon kamar mereka. Bianca sangat mengusik pikirannya beberapa hari ini. Kalau saja Dareen menjelaskan semua padanya, mungkin ini tidak akan terjadi. Setidaknya hatinya tidak sekalut ini.
'Apa dia tidak penasaran dengan Bianca? Kenapa dia tidak bertanya sedikitpun tentangnya?'
Dareen kembali memfokuskan diri untuk bekerja. Pekerjaannya sudah hampir selesai. Setelah ini, ia akan bicara pada Alea tentang pemindahan ke Hamburg. Mengenai perasaan wanita itu, ia tak mau mempedulikannya. Egois memang, tapi ini sudah kesepakatan bersama. Walaupun ada sedikit paksaan.
" Ada yang ingin ku bicarakan"
'Apa? Apa dia mau membicarakan tentang Bianca?' pikir Alea.
Ia sudah tidak sabar mendengarnya. Padahal ia sudah mendengar tentang Bianca dari Mommy nya. Tapi sepertinya lebih menarik jika Dareen yang bercerita.
" Lusa kita akan pindah"
" Apa??" Alea tak percaya ini. Kenapa malah membahas pindah. Apalagi dia masih belum siap pindah kesana.
" Kenapa? Kau mau protes. Bukannya aku sudah mengatakan padamu jauh-jauh hari. Kalau semuanya sudah siap."
Memang benar Dareen sudah mengatakannya dari kemarin. Tapi ia tidak tahu akan menjadi secepat ini. Sudahlah, untuk apa ia sedih berlarut-larut. Ini sudah menjadi keputusannya juga untuk ikut pindah. Mau bagaimana lagi.
" Beri aku waktu untuk mengemas barang-barang ku di rumah Ayah dan Ibu."
" Baiklah. Besok aku antar ke sana. Setelah itu, kita langsung berangkat ke Hamburg."
Alea tidak menangis. Tertahan karena ada Dareen di sini. Bagaimanapun, ia tidak mau dianggap cengeng.
" Tumben kau tidak menangis," Alea kesal dengan ejekan Dareen kali ini. Dengan sengaja ia berjalan mendekati Dareen, lalu menginjak sebelah kakinya dengan keras, dan langsung pergi masuk ke dalam kamar mereka lagi.
" Hey, dasar wanita aneh."
.
.
.
.
.
" Hati-hati di jalan sayang.. Sering-seringlah datang kemari. Mommy akan sangat merindukanmu.." Veronica tak berhenti menangis karena harus melepaskan Alea untuk ikut pindah bersama Dareen. Jason hanya mampu memberikan wejangan untuk putra-putri mereka sebelum pergi. Berharap semuanya akan baik-baik saja di sana.
" Dareen, kau masih ingat pesan Daddy? Kalau sampai Daddy tahu Alea menangis karenamu, kau akan berurusan dengan Daddy."
" Ya, aku tahu. Aku masih heran dengan kalian. Kenapa begitu sayang dengannya dari pada aku, putra kalian sendiri." keluh Dareen. Alea yang mendengarnya terkekeh geli. Begitu pula dengan Veronica dan Jason.
" Kami pergi dulu," pamit Dareen dan Alea lalu memasuki mobil, meninggalkan rumah dengan sedikit perasaan sedih karena harus berpisah dari orang tua. Memulai kehidupan mereka sebagai suami istri di tempat baru.
Veronica dan Jason menatap kepergian anaknya sedih. Rumahnya sekarang benar-benar sepi. Padahal baru beberapa hari ia merasa bahagia memiliki anggota baru di keluarga mereka. Tapi seolah semua itu tak bertahan lama. Dalam waktu sekejap semua terasa hampa.
.
.
.
.
.
Alea tak berhenti menangis di dalam mobil dalam diam tanpa mengeluarkan suara. Setelah pergi dari rumah keluarga Dareen, giliran mereka untuk berpamitan dengan Ayah dan Ibunya. Air matanya tak bisa ia bendung tatkala sang Ayah memeluknya erat seolah tak merelakan ia pergi jauh dari jangkauannya. Begitu pun dengan Ibunya yang tetap tersenyum walaupun air mata terus mengalir deras dari pipinya yang sudah dipenuhi garis halus namun sedikit pun tak mengurangi kecantikannya. Ibunya ikut membantu mengemasi barang-barangnya. Memberikan banyak pesan untuknya untuk tetap menuruti perintah suaminya. Berhenti menjadi wanita cengeng dan manja.
' Aku pasti akan merindukan Ayah dan Ibu..'
Alea mengusap pipinya lembut. Harapannya saat ini adalah ia bisa memenuhi semua pesan baik dari orang tuanya selama di Hamburg. Walau ia sendiri tidak yakin bisa melakukannya. Tapi tidak ada salahnya jika mencoba.
" Kita sudah sampai." Dareen melirik Alea yang duduk di sampingnya terlihat kelelahan selama perjalanan. Memang perjalanan hari ini sangat jauh. Pantas saja jika Alea lelah. Dirinya pun juga merasakan hal itu.
Keduanya turun dari mobil. Alea melihat sekelilingnya bingung. Apa ini benar-benar rumah mereka?
" Ini benar rumah kita?"
" Kau pikir ini rumah siapa?"
" Kau yang memilihnya?"
" Tentu saja. Kenapa kau mau bilang seleraku buruk?"
" Aku suka rumah ini!" Alea tersenyum manis pada Dareen. Di luar dugaan Dareen kalau Alea akan menyukainya. Melihat senyum Alea membuatnya sedikit tenang. Paling tidak ada yang membuat Alea akan betah di sini. Alea sungguh menyukai rumah ini. Rumah dua lantai dengan pemandangan dari luar membuatnya takjub. Ada sebuah danau kecil dan pepohonan rindang. Banyak burung-burung kecil bermain di dekat danau. Pandangannya beralih pada ayunan kayu tepat di depan rumahnya, di sampingnya terdapat banyak sekali tanaman bunga walau belum banyak yang bermekaran. Sungguh ini rumah impiannya sejak dulu. Meskipun ia sedikit heran pada Dareen yang memilih rumah tidak terlalu besar dan terlihat sederhana untuk ukuran orang kaya seperti dia. Selama perjalanan, yang ada di pikirannya pasti rumah yang akan ia tempati sangatlah besar dan mewah. Tapi nyatanya semua jauh dari ekspektasi.
" Ayo masuk! Sudah mulai gelap." Dareen menarik dua koper besar miliknya dan Alea. Alea mengikutinya dengan dua koper kecil miliknya sendiri. Sudah terlihat jelas perbedaannya jika Alea membawa banyak barang ke rumah ini.
Alea kembali tersenyum senang ketika masuk ke dalam rumah. Mengecek seluruh ruangan dengan mulut yang menganga takjub dengan desain yang sangat cocok dengannya. Terlebih saat memasuki kamar utama. Sangat luas, tak kalah dengan ukuran kamar di rumah Dareen.
" Apa kau akan menyewa asisten rumah tangga?"
" Sepertinya begitu. Tapi aku tidak mau dia di sini dua puluh empat jam"
" Maksudmu dia hanya perlu melakukan tugasnya lalu pulang?" Dareen mengangguk. Mereka sedang menempatkan barang-barang mereka di kamar.
" Kenapa dia tidak tinggal bersama kita saja?"
" Aku tidak suka." Alea menyerah jika Dareen sudah berkata demikian. Itu artinya dia tidak mau dibantah.
" Kurasa kita harus membeli persediaan makanan, kau belum menyiapkan itu kan?" Dareen lupa tentang itu. Kenapa ia tidak kepikiran untuk menyuruh asistennya tadi siang.
" Sepertinya tadi kita melewati pusat perbelanjaan. Apa jaraknya jauh?"
" Hanya dua ratus meter."
" Woahh. Benarkah? Berarti aku bisa belanja dengan jalan kaki? Pasti menyenangkan." Dareen ikut tersenyum melihat Alea yang sangat bahagia tinggal di sini. Saat tak sengaja Alea melihat Dareen tersenyum, Dareen langsung mendatarkan kembali wajahnya. Menghindari mata Alea yang terus memperhatikannya.
' Kenapa dengannya? Aneh sekali '
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 229 Episodes
Comments