Part 18

Part 18

Rifa sekarang ini berada di toilet. Rasanya menjijikan sekali meminum air kobokan.

"Fa! lo di mana?" teriak seseorang dari luar toilet.

"Gue di sini!" balas Rifa ikut berteriak.

Brak...

"Etdah buset!" kaget Rifa saat pintu dibanting.

"Lo ngapain di sini?" tanya Wanda.

"Muntah," jawab Rifa.

"Enak gak minum air kobokan?" tanya Wanda sedikit terkekeh.

"Apaan sih lu," kesal Rifa.

Rifa beranjak pergi dari dalam toilet meninggalkan Wanda sendirian.

"Lah kok malah gue yang ditinggal," ucap Wanda.

Wanda segera menyusul Rifa. Mereka masuk ke kelas dan segera duduk sebelum guru datang.

***

"Vin," panggil Maikel.

"Apaan sih?" tanya Vino kesal.

Pasalnya sedari tadi Maikel memanggil dirinya namun tak kunjung bicara.

"Levin kapan nyampenya? gue kesel nih berdiri nungguin dia," ucap Maikel.

"Bentar lagi, sekitar setengah jam lagi dia sampe," jawab Vino.

"Gile! bentar lagi pala lu, kita udah nunggu dua jam ditambah setengah jam, kenapa lo ngajakin gue jemput Levin seawal ini," kesal Maikel.

Vino dan Maikel sekarang berada di bandara. Mereka menunggu Levin sahabat mereka yang akan pulang dari Paris ke Indonesia.

Hingga tak berapa lama akhirnya yang mereka tunggu datang. Sebuah pesawat mendarat. Beberapa menit Menunggu.

Seorang remaja menggunakan kaos hitam polos dipadukan dengan jaket berwarna hijau toska. Dengan koper di tangannya datang menghampiri Maikel dan Vino.

"Widih... makin cakep aja nih sobat gue," ucap Maikel.

"Iyalah, gak kaya lo yang dekil," ejek Vino.

"Cepet, gue mau istirahat," ucap Levin.

"Si tembok belum berubah," cibir Maikel.

Tanpa membalas perkataan Maikel, Levin langsung beranjak pergi. Diikuti dengan Vino dan Maikel. Mereka menaiki mobil berjenis lamborgini dengan merk Venano milik Vino.

"Vin, Vina udah ketemu?" tanya Levin.

Vino menoleh ke arah sahabat sejak kecilnya itu. Apa tidak bisa ia tak menanyakan Vina satu hari saja.

"Kenapa gak jawab?" tanya Levin.

"Masih sama, papah bahkan hampir nyerah buat cari Vina," jawab Vino.

"Hm... dia masih hidup," ucap Levin menatap lurus ke depan dengan wajah datar.

Maikel melihat ke belakang. Ia menatap Levin.

"Masih hidup di hati lo," ucap Maikel.

"Hm..." balas Levin.

Hanya ada keheningan setelahnya. Vino memilih mengalihkan pandangan ke luar jendela. Levin memainkan handfonnya. Sedangkan Maikel menatap lurus ke depan.

Vino hampir meneteskan air matanya saat mengingat adiknya. Kenangan-kenangan bahagia. Saat pertama kali adiknya bisa naik sepeda. Saat adiknya bisa menulis namanya sendiri. Dan saat adiknya bisa membuatnya tertawa. Namun, kecelakaan harus memisahkan mereka. Dan juga harus memisahkan kebahagiaan ibunya yang sekarang depresi.

***

Terlihat Rifa membenamkan wajahnya di antara kedua tangannya di atas meja. Suran yang melihatnya mencoba membangunkannya karena guru sudah datang.

"Rifa! Rifa!" panggil Suran sambil menggoyang-goyangkan tubuh Rifa.

"Rifa!" kali ini Wanda yang memanggilnya.

Namun sama sekali tak ada respon. Rifa tetap diam dengan posisi yang sama.

"Pusing." hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Rifa dengan suara seraknya.

Wanda yang mengerti mencoba meminta izin pada guru.

"Bu!" Wanda mengangkat tangannya.

"Ya, kenapa Wanda?" tanya Bu Resti.

"Izin ke UKS bu, Rifa sakit," ucap Wanda.

"Ya sudah, silakan," ucap Bu Resti.

Wanda segera memapah tubuh Rifa menuju UKS. Di sana Rifa hanya berbaring dengan Wanda yang memijit pelipis Rifa.

"Masih pusing?" tanya Wanda.

"Hacih... kayaknya ada yang kangen gue nih," ucap Rifa sambil menggosok hidungnya yang terasa gatal.

"Ck, gak usah mulai deh," kesal Wanda.

"Vino, Kak Vino," gumam Rifa.

"Lo bilang apa?" tanya Wanda.

"Eh, gak," balas Rifa.

Rifa masih mengingat-ingat wajah seseorang yang terlintas di ingatannya. Rifa hanya diam tanpa melakukan apapun. Ditemani Wanda di sana Rifa memilih untuk tidur. Setidaknya itu membuat pikirannya kembali normal.

***

Singapura, di sinilah Andre berada. Dengan para kleannya. Tak sengaja juga bertemu dengan kedua orang tua Ricky, Risya dan Reno.

"Apa kabar tuan dan Nyonya Voist," sapa Andre.

"Baik Tuan Stewith, bagaimana dengan Anda?" tanya Reno.

"Mungkin kurang baik, haha..." jawab Andre dengan tawa di akhir kalimatnya.

"Pasti Anda masih memikirkan istri anda bukan?" tebak Reno.

"Ah iya, bagaimana kabar Ricky?" tanya Andre.

"Dia baik, saya turut sedih saat melihat Ricky sedih karena sahabatnya hilang," ucap Risya.

"Apakah Vana maksud Anda?" tanya Andre.

"Bagaimana Anda tau?" tanya Risya kaget.

"Dulu sewaktu putra saya melakukan study tour tak sengaja bertemu dengan Vana, dia bilang mirip dengan Vina adiknya, dan saya berencana membawanya ikut untuk bertemu istri saya, kami meminta bantuan Ricky, karena dia juga berteman dengan Vino, dan ternyata keberuntungan belum berpihak pada saya," jelas Andre.

"Saya turut berduka, Ricky juga menyayangi Vana seperti adiknya yang telah meninggal, semua sikapnya mirip, dulu saya melarangnya dekat dengan Vana, karena asal-usul keluarganya yang tidak jelas, dia pernah mengalami koma sebelum akhirnya diangkat menjadi anak dari pasangan Sinta dan Edward, Sepertinya dia lupa ingatan, namun saat dia mempunyai adik, saya malah kasian sama dia, dia tak diperdulikan, namun dia hanya gadis kecil polos, ada sesuatu yang membuat saya yakin dia bukan dari keluarga biasa, pasalnya Ricky bilang pakaian yang ia kenakan pertama kali itu pakaian ber-merk, sampai sekarang katanya dia masih menyimpannya," ujar Reno panjang lebar.

"Ternyata begitu, saya tidak menyangka," ucap Andre.

"Oh iya, bukankah anda bilang putri kecil anda bermata biru? bisakah saya melihat fotonya?" tanya Risya.

"Fotonya? ada, sebentar." Andre merogoh sakunya dan memperlihatkan foto Vina sewaktu kecil.

"Sangat mirip, sangat mirip dengan Vana," ucap Sinta.

"Benarkah?" tanya Andre.

"Saat saya pulang nanti saya akan menanyakan Ricky bagaimana pakaian yang Vana pakai pertama kali, mungkin dia tau," ucap Risya.

"Terima kasih atas bantuan anda," ucap Andre.

"Sama-sama Tuan Stewith, semoga bantuan saya berguna," ucap Risya.

"Pastinya," balas Andre.

Reno merangkul bahu Risya. Entah kenapa ia merasa senang saat istrinya dapat membantu Andre. Mungkin bangga mempunyai istri yang cerdas.

Wanda dan Rifa masih berada di UKS. Dengan Rifa yang terlelap dalam tidurnya. Dan Wanda yang setia menunggu Rifa bangun tanpa berniat mengganggunya.

"Engh..." Rifa bangun dari tidurnya.

"Udah bangun dari koma mbak," ucap Wanda denga nada mencibir.

Rifa langsung mendelik sebal. Sembarangan saja Wanda berucap.

"Apaan sih lo," kesal Rifa.

"Yaelah, udah yuk," ajak Wanda.

"Ke mana? ke kantin? udah jam istirahat kedua belom?" tanya Rifa beruntun.

"Udah lewat dari tadi! ini udah jam empat sore ******! lo tidur kaya orang mati suri!" teriak Wanda.

"What! lo ngapain gak bangunin gue?" tanya Rifa terkejut.

"Ck, lagian gue baru pertama kali ini liat lo tidur sedamai itu, padahal kata bang Rio lo sering ngigau kalo tidur, teriak-teriak gak jelas," gumam Wanda.

Rifa mendengar apa yang Wanda gumamkan. Sedangkan Wanda mengira jika Rifa tak mendengarnya. Memang benar, selama ini Rifa selalu mengigau tak jelas. Karena mimpi buruk yang ia alami.

"Hm... gitu ya," ucap Rifa.

Wanda terlihat kaget. Tak menyangka Rifa akan mendengarnya.

"Eh, sorry," ucap Wanda.

"Haha... santai aja kali, yok, kita pulang, gue gak mau nginep di sini, nanti ada yang culik princes Rifa lagi," ucap Rifa dengan tawa dan wajah begonya.

"Mulai deh," gumam Wanda.

Rifa beranjak pergi. Wanda langsung mengikutinya dari belakang. Sesampainya di parkiran, ternyata Suran masih setia menunggu mereka.

"Loh, Suran? lo kok masih di sini?" tanya Wanda.

"Gue nunggu kalian, takut kenapa-napa, oh, iya, gue minta no. WA kalian dong," ucap Suran.

"Gue gak punya," jawab Rifa.

"Gue juga sama," jawab Wanda.

"Lah? emang kalian betah gak pegang hp?" tanya Suran.

"Kita bukan orang kaya, lagian buat apa punya hp, padahal gue punya banyak temen," ucap Rifa.

"Oh, maaf ya, gimana kalo alamat rumah?" tanya Suran.

"Gue numpang sama orang, jadi harus ijin dulu," jawab Rifa.

"Hehe... bukannya gue gak mau ngasih tau, cuman belom siap," ucap Wanda dengan cengirannya.

"Hah, yaudah deh, nih, kartu alamat rumah gue, di situ juga ada nomor telfon gue, simpen ini baik-baik, mungkin suatu saat kalian butuh," ucap Suran sambil menyerahkan sebuah kartu.

Wanda langsung menerimanya dengan senang hati. Baru pertama kali ini ada yang setulus itu padanya.

"Makasih ya," ucap Wanda.

"Iya sama-sama, gue duluan ya, bay." Suran pergi berlari menuju mobilnya.

Rifa dan Wanda kembali melanjutkan langkahnya. Mereka pulang mengendarai motor.

***

"Kenapa baru pulang?" tanya Sena saat melihat kehadiran Rifa.

"Hua... gue ngantuk! gue mau tidur!" teriak Rifa tak menghiraukan pertanyaan Sena.

"Udah tidur di sekolah mau tidur lagi? lo kok kebo banget sih!" teriak Sena.

"Eh, kok, lo tau" heran Rifa.

Sena hanya diam. Percuma saja bicara dengan Rifa. Pasti dia akan marah jika tau Sena memata-matainya.

"Ck, mbaknya bisu ya," ledek Rifa.

"Pergi gak lo, gue timpuk pake sandal tau rasa lo," geram Sena.

"Ih, mbaknya serem."

Rifa langsung berlari naik ke atas dan masuk ke kamarnya.

"Rifa!" teriak Sena kesal.

***

Saat ini Wanda sedang berkumpul bersama dengan teman-temannya di markas. Namun kali ini entah kenapa tiba-tiba Haruka datang dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Saat ia tiba di sana ia langsung memeluk Wanda.

Sedangkan yang lainnya di buat bingung. Sudah lebih dari satu tahun Haruka tak pernah menangis se-sedih itu lagi. Wanda langsung memeluk Haruka. Memberi kehangatan padanya.

"Kenapa?" tanya Wanda, sedangkan yang lainnya diam memperhatikan.

"Hiks... mereka datang lagi," ucap Haruka sesegukan.

Wanda hanya diam. Ia mengusap punggung Haruka. Semua yang di sana tau, siapa yang dimaksud Haruka dengan sebutan 'mereka'

"Kenapa lo nangisin orang kayak mereka? gak guna Haruka," ucap Wanda.

"Tapi gue masih sayang sama mereka hiks..." ucap Haruka.

"Gue tanya, emang mereka masih sayang sama lo?" tanya Wanda.

Hanya ada keheningan. Tak ada satu pun yang mengangkat suara. Wanda melepas pelukannya pada Haruka.

"Lo tahan sebentar rasa sakit itu, semua bakal terbalas," ucap Wanda.

"Gue gak tahan," lirih Haruka.

"Lo harus tahan," ucap Wanda.

"Tapi..."

Plak

Tamparan keras mendarat di pipi Haruka. Haruka langsung memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan seseorang, Yoona. Dialah yang menampar Haruka.

"Mana sahabat gue yang kuat? mana sahabat gue yang pantang menyerah? mana sahabat gue yang selalu ceria? sahabat gue gak pernah nangis cuman karena keluarga brengsek!" bentak Yoona.

Di antara Wanda dan Haruka, Yoona-lah orang yang paling tegas. Ia tak segan membentak sahabatnya sendiri. Namun bentakan tersebut ditunjukan sebagai semangat.

"Tapi gue gak tahan," ucap Haruka.

"Brengsek! di mana mereka? biar gue hajar, bisa-bisanya lo masih sayang sama mereka!" teriak Yoona mengundang perhatian orang-orang.

"Udah Yoon, iya, gue bakal tahan," ucap Haruka.

"Lo pegang kata-kata lo," ucap Yoona.

Haruka mengusap air matanya yang tersisa. Suasana hatinya mulai membaik. Itulah gunanya sahabat. Selalu ada untuk berbagi keluh kesah.

***

"Gak!"

"Boleh ya," ucap Rifa memohon.

"Gak Rifa!" tolak Sena yang entah sudah berapa kali.

"Pleace, gue ikut lo ke markas ya," mohon Rifa.

"Gak, ya, gak, Rifa," tolak Sena.

"Masa gue di rumah sendirian," ucap Rifa dengan wajah memelas.

"Hh... oke, oke, lo ikut gue," ucap Sena sambil mengusap wajahnya gusar.

"Yey..." seru Rifa.

Dengan berat hati, Sena membawa Rifa bersamanya. Tak apa jika Rifa tidak berbuat hal-hal yang buruk. Seperti kemarin, kenapa harus mengungkapkan rasa suka pada om-om. Padahal ia tak mempunayi rasa padanya. Jika Sena tidak datang tepat waktu mungkin Rifa sudah habis diapa-apain.

***

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!