Aku tersenyum. kutarik dalam-dalam napasku lalu kuhembuskan, sedang kuusahakan menghirup oksigen sebanyak mungkin.
Itu salah satu caraku untuk menguatkan hidupku agar bertahan hingga pagi ini.
tempat ini sangat tidak asing lagi bagi orang- orang sepertiku, bau obat-obatan hal yang biasa bagiku.
Aku tersenyum menyambut dokter yang sudah beberapa bulan belakangan ini menanganiku, dia malaikat tak bersayapku.
ini adalah rutinitasku, selalu datang kerumah sakit, lalu pulang dengan obat-obatan yang seperti hadiah setiap minggunya dari Dr. Billy
aku sungguh tidak apa-apa. aku masih tersenyum menyambut hariku yang piluh ini. aku masih tersenyum menatap langit, dan aku masih tersenyum menanti sebuah keajaiban.
Kata Dr. Robert beberapa bulan yang lalu, aku divonis menderita kanker darah stadium 4. tenang. jangan khawatir. itu memang hal yang buruk.
aku pernah bertanya pada salah satu perawat dirumah sakit ini, seberapa lama penyakit kanker darah stadium akhir dapat bertahan dan yang dikatakankannya kalau sudah di stadium akhir, peluang sembuhnya sudah rendah.
aku tidak tahu harus berkata apa pada Tuhan, karna seketika aku tidak percaya akan keberadaannya.
Menangis? aku pikir itu sudah lewat masanya. aku pernah menangis seharian lalu mengurung diri dikamar. Itu dulu, saat aku pertama kali tahu bahwa penyakitku adalah penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
Dan sekarang? aku lebih mencoba menerima diri, dan menikmati setiap proses yang terjadi.
Aku hanya tidak ingin membebani hidupku, disaat-saat terakhirku.
Aku hanya ingin, Jika nanti tiba saat dimana tidurku akan memakan waktu yang sangat lama, aku tidak akan lagi memikirkan bagaimana caranya untuk bangun dari tidurku.
aku seperti boneka yang kesepian, aku seperti angin yang berlalu, dan aku seperti langit yang mendung.
Cocok! kalimat itu terlihat sempurna untuk mengibaratkan tentang ku.
This is my dark life.
Aku menatap lelaki seusiaku yang berdiri didepan ruangan Dr. Billy sepertinya dia kebingungan, terlihat dirinya beberapa kali mencoba ingin membuka pintu namun terlihat ragu.
Kuberanikan diriku untuk mendekat "apa kau butuh bantuan?"
dia sempat terkejut, lalu tersenyum ramah padaku "Ah apa ini benar ruang Dr. Billy?"
aku tersenyum lalu mengangguk "Benar, masuklah"
"Terima kasih"
Aku hanya tersenyum, ini salah satu kebiasaanku. hampir setiap hari aku ditempat ini selalu membantu orang-orang yang mengalami kesusahan.
Aku hanya ingin jika saat aku harus pergi nanti, aku ingin dikenang sebagai orang yang hangat dan periang.
Aku memang terbilang sering duduk dikursi yang berada berhadapan langsung dengan ruangan Dr. Billy. itu tempat favoritku.
Aku biasa menghabiskan 4 jam hanya duduk menatap ruangannya, kurasa berada disana akan terasa lebih baik.
pintu terbuka, lelaki tadi keluar dari ruangan Dr. Billy. Aku mengamati sosok lelaki yang tidak jauh dari pandanganku. tinggi. jika aku disandingkan dengannya, mungkin aku sebahunya saja. hidungnya mancung, alisnya tebal sangat indah. dan matanya terlihat berbinar. aku mengagumi ketampanannya.
tanpa kusadari ia berjalan mendekatiku, "Hey, terima kasih untuk tadi. Boleh kutahu siapa namamu?"
aku bergeser, "duduklah, tidak enak melihatmu berdiri disitu"
ia tersenyum lalu duduk, sepertinya dia menunggu aku menjawab pertanyaannya.
"namaku Selin Priska Tresya"
"nama yang cantik" katanya
Aku tersenyum, lalu ia mengulurkan tangannya. "aku Seam Jamez. Panggil saja Seam"
ku sambut tangannya. "Senang berkenalan denganmu, Seam"
Dia tersenyum, "Senang berkenalan denganmu juga, Selin? apa seperti itu memanggilmu?"
Aku terkekeh, "terserah. kau boleh memanggilku dengan apa saja"
ia berdiri, "Selin, sepertinya aku harus meninggalkanmu."
Aku tersenyum, "Iya, semoga bertemu kembali, Seam"
ia mengulurkan ponselnya, lalu dengan cepat ia menggeleng, kemudian yang dilakukannya memasukan kembali ponsel itu kesakunya. Aku bingung apa maksudnya.
"apa ini rumahmu?"
ah! lelaki ini apa dia juga sama sepertiku?! dia terlihat sehat.
pertanyaan Seam barusan adalah kode sesama kami agar mengetahui identitas penyakit yang kami derita masing-masing.
bukannya tidak ingin diketahui orang lain, hanya saja kami sedikit tidak enak untuk bertanya terlalu jelas. pada dasarnya, kalimat itu menyakitkan.
aku mengangguk "Iya"
kupikir dia akan terkejut, namun nampaknya dia sudah menebaknya.
"kita pasti akan sering bertemu.
jadilah temanku, Selin"
"tentu saja, kau temanku sekarang"
Ia tersenyum lebar, "Sampai jumpa lagi, teman!"
aku melambaikan tanganku, punggung lelaki itu semakin menjauh dan hilang diujung lorong.
"apa yang membuatmu bahagia, Selin?" aku mencari asal suara. lalu menemukan Dr. Billy yang sudah berdiri dibelangku.
"Ah kau Billy! kemarilah!" ia mendekatiku dengan senyum yang masih merekah.
"apa kau sudah meminum obatmu?" tanyanya
Ah! aku lupa!
aku tidak menjawab, hanya menatapnya.
"kau belum meminumnya. apa aku harus menyuapinya untukmu, Selin?" wajahku merah padam, jantungku ikut berdebar. kurasa aku hampir gila!
"berhenti menggodaku, Billy!"
Dia terkekeh, lalu menarikku memasuki ruangannya. aku hanya mengikuti.
"duduklah disini. aku akan mengambilkan obatmu"
ku pandangi Billy yang tengah sibuk mencari obatku. kebiasaan!
ia selalu menyimpan cadangan obatku.
kemudian, lelaki itu kembali dengan segelas air dan berbagai macam obat.
ia mengulurkan obat itu ketanganku, tanpa lama aku langsung memasukan kemulutku. "Minumlah" Ia menyodorkan gelas yang berisi air.
"Terima kasih" kataku.
"kau perlu istirahat. jangan sering berkeliaran, Selin"
Aku tersenyum, "kau perhatian sekali, Billy. aku mencurigaimu."
Dia terkekeh lalu mengelus lembut pucuk kepalaku. "berbaringlah disana, aku harus kembali keruang operasi"
aku mengikut saja apa katanya, lagipula aku tidak ingin menyusahkannya.
Billy denganku sudah berteman jauh sebelum penyakit ini menyerangku.
dia adalah dokter muda yang tampan. Spesialisnya dibidang Hematologi atau dokter yang menangani masalah darah.
sudah beberapa bulan ini kami semakin dekat karna kebetulan dia yang menangani penyakitku.
dia adalah orang yang hangat, dan sangat pengertian. mungkin, aku sedikit berimpian ingin menjadi kekasihnya. Ah lupakan! kupikir itu berlebihan.
dia anak yatim piatu. sejak kecil dia dibesarkan dipanti asuhan.
jadi, wajar saja jika dia menganggapku sudah seperti adiknya.
ayah dan ibuku juga sudah mengenalinya dengan baik. jika ada waktu luangnya kami biasanya dinner bersama. dia tidak pernah menolak jika menyangkut aku ataupun keluargaku.
aku selalu merepotkannya namun dia tidak pernah mengeluh. dia selalu memberiku cinta bak putri raja jika aku bersamanya.
Sungguh! jika hidupku lebih lama, kurasa aku harus berharap untuk dinikahinya. namun sayang seribu sayang, aku perlu melupakan bagian ini.
beberapa jam berlalu, Billy belum kembali dari ruangan operasi. kutebak pasien hari ini lebih banyak dari sebelumnya.
pintu terbuka, aku menyambutnya dengan senyum. "apa aku lama?" tanyanya
aku menggeleng lalu ia menghampiriku yang tengah berbaring dipojok ruangannya. "katakan apa yang ingin kau makan malam ini, Selin"
"terserah. asal bersamamu"
dia tersenyum jahil, "kau pandai merayu sekarang" jawabnya.
"itu keahlianku!" lalu tawa kami pun pecah.
aku menatapnya lekat, dia terlihat kelelahan.
"apa kau ingin kubuatkan tea hangat?" tawarku
"boleh"
aku bangun dari ranjang pasien yang sudah disediakan Billy khusus untukku itu menuju dispenser.
"besok apa kau sibuk?" tanya Billy
aku mendekatinya lalu menaru tea didekatnya. "tidak. ada apa?"
"aku ingin mengajakmu kepesta nikahan temanku. apa kau keberatan?"
aku tersenyum riang, "tentu saja aku tidak keberatan."
"baiklah. besok jam 7 aku jemput." kubalas dengan anggukan.
Billy menyenderkan badannya ditempat duduknya. "kau senang?"
"tentu. aku senang jika bersamamu"
dia tersenyum manis, "kau menyukaiku?"
Billy memang tidak suka berbasa-basi. Ia lebih suka bertanya jika perlu dan mengatakan jika itu harus.
aku tersenyum lalu membiarkan kepalaku berbaring dimejanya.
"apa terlalu jelas?" tanyaku dengan lesu
ia mengelus lembut rambutku, "aku tidak sedang memarahimu. bangunlah. kita akan pergi makan"
kepalaku terangkat. senang rasanya bisa memandanginya dengan jarak yang dekat seperti sekarang ini.
matanya hitam bersih, bulu matanya terlihat panjang dan lentik , hidungnya mancung, dan bibirnya tipis. ditambah lagi dengan jas putih yang ia kenakan benar-benar terlihat sempurna.
Dokter muda yang digilai siapa saja jika bertemu dengannya. dari lansia hingga balita sepertinya mengidolakannya.
Salah satunya aku.
mobil berhenti disalah satu resto, malam ini Billy ingin dinner romantis.
"Selin, kita sudah sampai" lamunanku buyar, aku segera turun dari mobil begitupun Billy.
aku dan Billy berjalan berdampingan, siapapun yang melihat pasti akan mengira kalau aku adalah kekasihnya.
kami disambut salah satu pelayan, lalu diarahkan kemeja nomor 24 yang berada dipojok.
aku duduk, kulihat sekitar nampak yang berjas dan berpakaian rapi. sudah pasti orang-orang disini dari kalangan atas.
"kau tidak suka disini?" tanya Billy
"aku suka" jawabku cepat. tidak ingin mengecewakannya.
"jika kau tidak suka katakanlah."
"tidak. sudah kukatakan asal bersamamu, Billy"
senyumnya mengembang, "gadis yang manis" jawabnya
sudah sangat lama rasanya aku tidak sebahagia ini. bahkan hanya sekedar menatapnya saja hatiku ikut berdebar.
seorang pelayan datang dengan berbagai macam makanan yang sudah di pesan atas nama Billy Sandres.
kami makan dengan damai hingga selesai. setelah itu memutuskan untuk pulang.
didalam mobil kami tidak banyak bicara. Billy yang fokus menyetir dan aku hanya menatap keluar jendela.
"kau tidak masuk dulu?" aku dan Billy telah sampai dirumahku.
"boleh" ia turun lalu mengikutiku.
saat masuk ruang keluarga terlihat ibu yang sedang duduk disofa dan ayah yang sibuk membaca koran.
"Selamat malam, Ibu!" sapaku
"kemarilah! Billy." panggil Ayahku
Ibu memelukku, aku memang sangat dimanjakan olehnya bahkan ayahku. wajar saja karna aku anak tunggal. ia mengelus rambutku, "kau lelah?"
"tidak. jangan khawatir." kataku mencoba agar Ibu tetap tenang.
sementara Ayah dan Billy asik berbincang, mereka memang sangat akrab.
"kalian sudah makan?" tanya Ibu
"tentu. Billy tidak ingin Ibu menganggapnya tidak bertanggung jawab jika aku pulang dalam keadaan lapar"
aku dan Ibu tertawa, aku dan Billy memang sudah sedekat itu. namun jika kalian tanya apa status hubungan kami, kuserahkan pada Billy untuk menjawabnya.
"Ibu, aku ingin tidur" rengekku
"kau seperti bayi. mari Ibu antarkan" aku hanya tersenyum menangapinya.
aku bangun lalu menghampiri Billy dan Ayahku.
"Billy, terima kasih. aku tidur dulu, maaf kutinggal" aku memotong permbicaraan mereka.
Billy menatapku dan mengangguk. "tidurlah."
setelah itu aku dan Ibu melesat menuju kamarku.
padahal seingatku hari ini yang kulakukan hanya berbaring namun tubuhku rasanya lelah.
"lekas sembuh, Putriku" Ibu mengelus rambutku lalu mengecup pucuk kepalaku dengan kasih sayang.
setelah aku tertidur lelap Ibu biasanya baru akan meninggalkanku, karna aku selalu memintanya untuk menemaniku.
diruang keluarga Ayah dan Billy terlihat sedang berbicara serius.
"apa kau menyukai, Putriku?"
Billy tersenyum, "sangat. aku sangat menyukainya" jawabnya
Ayah ikut tersenyum "jangan sakiti dia, Billy."
"tidak akan. aku akan menjaganya" Billy mengatakannya dengan mantap.
"baiklah. aku percaya padamu"
Billy tidak pernah bermain-main dengan Selin selama ini. hanya saja dia tidak pernah jujur pada Selin. dia hanya takut jika Selin berpikir jika dia menyukainya hanya atas dasar simpati.
"Ayah, besok aku ingin mengajak Selin bersamaku. apa boleh?"
Ayah mengangguk, "pergilah. kau yang lebih tahu kondisinya, Billy" kata Ayah lalu tersenyum
Billy mengangguk paham, lalu berpamitan untuk pulang karna sudah hampir tengah malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments