Kepulangan

Aku muak berbicara dengan pria yang tidak punya perasaan sepertinya. Ingin sekali rasanya wajah itu ku lempar dengan jus pepaya busuk, sayang di depanku tidak ada yang bisa ku gunakan saat ini untuk melempar selain kursi di sebelahku. Tapi, rasanya itu tidak mungkin ku lakukan. Aku enggan bicara dengannya, memilih pergi berkemas setelah sadar waktu semakin siang. Kami akan segera menuju bandara sebentar lagi. Mungkin ketika tiba di kota aku akan bisa bicara dengannya, setidaknya pikiran pria itu sudah bisa mencerna kejadian yang mengharuskan dirinya meminta maaf padaku.

"Jika bukan pernikahan, kau menginginkan apa lagi?" teriaknya untuk mengulangi pertanyaannya barusan. Aku yang melangkah menoleh padanya sekilas lalu melanjutkan langkah kembali pergi. Pria benar-benar sama semua setelah menikmati akan lupa dengan segalanya. Tapi tidak dengan kekasihku. Kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun tapi tak pernah sekali pun ia berani menyentuhku karena begitu menghargai prinsip hidupku.

Di kamar aku bergegas mengemasii barang-barangku. Air mataku tiba-tiba saja jatuh saat melihat noda darah di sprei putih tempatku tidur bersama pria itu semalam. Bagaimana dengan Khalid? Apa dia mau menerimaku yang seperti ini? Bagaimana reaksinya ketika tahu jika aku sudah tak lagi suci?

Ku dengar di luar vila semua sepertinya tampak begitu bahagia setelah berlibur dengan waktu singkat di sini. Mereka tertawa bersama-sama sementara aku di sini begitu menyedihkan tanpa mereka tahu. Andai saja semalam aku tidak menuruti ajakan Terra mungkin aku masih baik-baik saja saat ini. Pria yang aku pikir begitu baik justru menghancurkan hidupku.

"Ellia!" panggilan dari luar yang aku bisa menebak siapa pemilik suara itu. Segera ku lepas seluruh sprei tempatku tidur dan ku gulung. Barulah aku membuka pintu kamar.

Benar, yang datang adalah Terra. Ia melangkah masuk tanpa aku persilahkan. Sedangkan aku sedang menarik resleting koper ku. Buru-buru aku melakukan persiapan agar tak banyak pertanyaan yang mungkin tidak aku inginkan.

"Hei...ada apa dengan spreimu? Kamu tidak mungkin buang air kecil saat tidur kan?" tanyanya padaku.

Hanya wajah tersenyum kikuk yang aku berikan. Setidaknya itu sedikit bisa menjawab pertanyaan dari Terra. Tentu saja wajah wanita itu sangat syok mendengar kenyataan yang sengaja aku buat.

"Sudahlah, itu tidak penting. Ayo keluar." ajakku setelah selesai memastikan semua barangku aman di koper. Beruntung aku bisa mandi dengan cepat saat tadi.

Ku tarik kuat tangannya keluar dari kamar itu dan kami berkumpul menjadi satu untuk menunggu bis menuju bandara. Ku lihat pria kurang ajar itu belum ada di sekitar kami. Aku maklumi sebab dirinya adalah orang paling penting pasti akan sengaja mengulur waktu agar kamilah yang menunggunya. Tak lama kemudian suara bisik-bisik teman kerjaku terdengar lagi, pertanda jika pusat perhatian mereka pasti adalah Pak Rafan.

Segala pujian mereka terus lontarkan dan aku melihat sosok itu muncul dengan kaca mata hitam serta koper yang di tarik oleh asisten pribadinya di belakang. Jika biasa aku selalu menatapnya kagum, tidak kali ini. Segera ku buang pandanganku dari arahnya. Aku benar-benar tidak sudi lagi menatap wajah itu.

Langkahnya semakin mendekat dan aku masa bodoh. Pastilah pria itu akan lewat begitu saja tanpa menyapa kami semua. Di depan sana bus sudah datang. Jangan salah, bus yang kami naiki sangat mewah. Di dalam lengkap segala fasilitas dari tempat tidur, kamar mandi serta ruang karaoke. Beberapa bus di belakang pun juga sudah berjajar sebab jumlah kami lumayan banyak.

"Ayo masuk," mataku tampak membulat sempurna kala tubuhnya terseret begitu cepat oleh tangan yang menarikku ke dalam bus. Bibirku tercengang mendapati perlakuan aneh itu.

"Pak, saya bisa naik sendiri." jawabku masih berusaha sopan sebab banyak orang di sekitar kami. Dan anehnya pria itu tak bersuara sama sekali justru terus menarik tanganku dan di dalam bus kembali aku di kejutkan ketika ia mendorongku masuk di kursi yang bersebelahan dengannya. Ingin rasanya aku meninggalkan kursi itu saat ini, namun banyak pasang mata yang memperhatikan kami dan aku tidak ingin membuat mereka jadi penasaran dengan kisahku dan Pak Rafan.

Kendaraan bermuatan banyak itu pun melaju meninggalkan tempat kami yang menciptakan nasib buruk padaku dalam waktu satu malam. Momen yang akan sangat sulit sekali untuk ku lupakan. Dan kami berdua sama sekali tak berbicara apa pun sepanjang jalan hingga tiba di bandara.

Ku pikir keadaan itu sudah berakhir, ternyata tidak. Pak Rafan kembali menarikku lagi di saat melakukan check in. Ia menyerahkan tiket kami dan meminta untuk kursi kami di samakan. Sungguh aku terkejut. Sebenarnya apa mau pria ini? Begitu menyebalkan rasanya. Oke mungkin di pesawat nanti aku akan membicarakan semuanya perihal tadi malam. Yah, aku harus benar-benar memikirkan semuanya dengan baik. Hingga tibalah kami di kursi pesawat dan benar-benar hanya kami berdua yang bersampingan. Tak lagi ku perdulikan suara bisik-bisik teman kerjaku di belakang sana.

"Aku ingin kejadian semalam kita lupakan dan anggap saja tidak pernah ada." ucapku berusaha tegar. Mungkin dengan bagitu hubunganku dengan Khalid akan baik-baik saja. Jujur aku takut sekali hubungan kami hancur meski pada akhirnya aku juga harus mengatakan sebenarnya pada Khalid.

Di sampingku pria itu justru hanya diam tanpa menanggapi apa pun. Rasanya semakin kesal berbicara padanya. Tidak ada kata maaf, tidak ada itikad baik bertanggung jawab, dan sekarang ia mengacuhkan ucapanku. Jangan bilang jika Pak Rafan sudah tak ingat tentang kejadian semalam. Rasanya ingin sekali aku menampar wajah itu.

"Aku berpikir anda adalah pria bertanggung jawab." cibirku kembali ku layangkan dengan gelengan kepala, ternyata pria itu masih diam tanpa berkata apa pun. Aku menyerah kali ini. Yah, sebaiknya aku melupakan satu malam panas itu dengannya. Aku harus memikirkan tentang hubunganku ke depannya dengan Khalid.

Tak terasa perjalanan di udara akhirnya selesai dimana pesawat mulai menapakan rodanya di tanah. Aku lega setidaknya perjalananku dengan pria aneh di sampingku telah usai. Dimana kami fokus mengambil bagasi masing-masing. Ketika kami semua keluar dan hendak pulang ke rumah masing-masing, senyumku mengembang melihat sosok pria yang sangat aku rindukan sudah berdiri menungguku di pintu kedatangan.

"Kakak," panggilku mendekati pria yang bernama Khalid. Usianya memang lebih tua sedikit dariku maka itu aku memanggilnya kakak.

Ia tersenyum melihat kedatanganku dan mengusap puncak kepalaku. Yah, hanya itu saja yang kami lakukan. Tidak ada momen peluk pelukan.

"Bagaimana kabarmu?" ia bertanya.

"Aku baik, Kak. Ayo kita pulang aku tidak sabar makan masakan ibu." ujarku yang memang sudah di tunggu kepulanganku dengan ibu di rumah.

Namun, ketika Khalid ingin menarik koper di tanganku tiba-tiba saja suara menggema memanggil namaku.

"Ellia!" panggilan itu jelas aku tahu jika suara dari pria yang sejak tadi membisu.

"Iya, Pak." sahutku dengan baik di depan banyak orang.

"Ikut denganku ada kerjaan yang harus kau selesaikan dulu sebelum pulang." ucapannya begitu membuatku dan Khalid kecewa.

Tidak bisakah di kerjakan besok saja, bahkan ini hari masih termasuk hari perjalanan dimana semua akan istirahat agar bisa kerja besok pagi.

Terpopuler

Comments

Ratu Kalinyamat

Ratu Kalinyamat

tarik siss hehehee. seru ni kya ny

2023-08-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!