"Kau terlalu banyak bicara, kau hanya bisa mengatakan itu karena kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu yang kehilangan putri kesayangannya." Ucap Helena sedikit emosi, namun beruntungnya dia sudah tidak memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup karena apa yang di katakan pria itu memang benar, dia harus mencari pelaku yang merenggut nyawa putrinya, memberikan keadilan untuk putrinya, barulah nanti dia bisa melakukan apa yang ingin dia lakukan tadi.
Pria itu tersenyum tipis, dia menghela nafas, menatap nisan Ibunya tanpa kata. Mungkin dia memiliki banyak hal yang ingin di katakan kepada Ibunya, hanya saja dia juga merasa bahwa itu akan percuma karena Ibunya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Setelah itu, pria itu berbalik menatap Helena yang enggan untuk membalas tatapannya dan memilih untuk menatap ke arah lain.
"Aku juga memiliki seorang putri, hanya saja aku tidak bisa mendekatinya, tidak bisa memerankan sosok Ayah untuknya. Dia memang masih ada di dunia ini, dia juga bisa aku lihat dengan kedua bola mataku, tapi dia terasa sangat jauh sampai sekeras apapun aku berlari aku bahkan tidak dapat menggapainya. Kita memiliki masalah berbeda, kesulitan yang kita alami juga berbeda, tapi percayalah aku juga sehancur dirimu."
Helena tersenyum miring dengan tatapan menghina. Tidak bisa memerankan sosok Ayah? Pria itu benar-benar mengingatkan Helena dengan mantan suaminya yang beberapa waktu ini terus mengindari Velerie dengan alasan kalau putri keduanya sedang sakit cukup serius.
"Bukannya tidak bisa memerankan sosok seorang Ayah, hanya saja para pria bajingan seperti itu adalah, pria yang tidak memiliki kemampuan dan kemauan. Kau tidak akan tahu betapa sulitnya menjadi seorang wanita yang membesarkan anaknya seorang diri, jadi jangan pernah menyalahkan takdir, yang bersalah adalah otak mu."
Setelah mengatakan itu Helena meninggalkan pria itu sendirian dengan keadaan tersenyum pasrah.
"Memang begitu reaksi biasanya saat aku menceritakannya kan? Aku memang pria yang bodoh dan kasihan, sungguh memalukan." Gumam pria itu lalu kembali menatap nisan Ibunya.
Tak ingin membuang waktu lagi, Helena langsung menuju kantor polisi untuk membuat laporan kasus tabrak lari yang membuat Putrinya meninggal dan agar segera bisa menangkap pelaku dan juga membuat pelaku di adili dengan hukuman yang berat sesuai yang di inginkan Helena.
Begitu sampai di kantor polisi, Helena menceritakan bagaimana detail kejadiannya, dia juga sudah mengisi formulir dan lembaran lain. Tapi yang membuat Helena terkejut adalah, cara pihak berwajib dalam mendengarkan ceritanya, juga meletakkan formulir miliknya seperti sedang meremehkan kasus yang seharusnya di anggap kasus besar kan?
"Kapan aku bisa mendapatkan kabar?"
Polisi itu menghela nafas, menatap Helena seperti orang yang malas sekali untuk menjawab.
"Kami perlu mendalami laporan anda ini, Nyonya. Kapan akan kami hubungi ya tentu tinggal tunggu saja. Kami memiliki ratusan kasus, bahkan juga ribuan jadi tidak bisa mendahulukan yang mana, tolong bersabar saja."
Helena terdiam, apakah polisi memang biasa berbicara dengan nada sakartis, arogan dan juga meremehkan lawan bicaranya seperti ini? Selama ini Helena tidak pernah berurusan dengan pihak kepolisian, jadi Helena benar-benar tidak tahu.
"Anda sudah boleh pergi, Nyonya. Lihatlah ada antrian lain yang sedang menunggu." Ucap Polisi itu membuat Helena menoleh ke belakang, dan memang benar apa yang di katakan polisi itu. Helena tak ingin banyak bicara lagi, dengan segera dia berbalik untuk meninggalkan kantor polisi itu.
Tak mengendarai mobilnya, tidak menghentikan taksi atau kendaraan apapun. Dia berjalan kaki, menenteng sepatunya, berjalan dengan wajah kusut mengingat betapa kejamnya dunia ini bekerja untuknya. Sekarang dia harus menjalani hari-hari tanpa Velerie, malaikat kecil yang begitu dia cintai.
Untung saja jarak kantor polisi ke apartemen yang dia tinggali tidak jauh sehingga Helena bisa sampai ke sana dengan berjalan kaki sekitar satu jam.
Klik!
Begitu lampu apartemen di nyalakan, Helena hanya bisa jatuh duduk di lantai apartemennya. Tempat itu sangat sunyi, tidak ada Velerie yang akan berlarian kesana kemari, tidak akan ada Velerie yang menangis sembari membawa roti dan selain coklat, tidak ada Velerie yang sering kesulitan bangun karena perutnya yang gendut, tidak ada Velerie yang bernyanyi dengan kata yang tidak jelas. Velerie.... Dia sudah tidak ada, dia menghilang, dia tertidur dan tidak akan bisa kembali atau bangun lagi. Dia sudah menyatu dengan tanah.
Velerie......
Gadis kecil enam tahun itu, bahkan segala kata pujian yang indah tidak akan bisa di bandingkan dengan sosoknya yang sempurna di mata Helena.
Hancur..... Hancur sekali......
Helena mulai menangis sesegukan mengingat di jam ini biasanya Velerie akan menangis meminta Helena untuk membawanya ke kamar mandi, membuang air kecil. Velerie memiliki banyak keterbatasan, tapi dia juga memiliki banyak kelebihan. Buktinya, Helena yang begitu muda, rapuh, memiliki trauma berat akan pernikahan pada akhirnya menjadi seorang Ibu tangguh yang luar biasa.
"Erie, mulai sekarang Ibu pasti akan banyak menangis, tapi Ibu tidak akan menyerah. Akan Ibu seret orang yang sudah membuat kita terpisah ke tempat peristirahatan terakhir mu, membuatnya memohon maaf, bila perlu sampai air matanya menjadi merah karena darah." Helena mencengkram lututnya, bangkit secara perlahan. Helena yang jelas sedih dan merindukan putrinya akhirnya memilih untuk tidur di kamar putrinya. Dia duduk sebentar di pinggiran tempat tidur milik Velerie. Di raihnya selimut tebal berwarna pink yang biasa di gunakan Velerie. Helena memeluk selimut itu, menghirup aroma Velerie yang tertinggal di sana. Setelah itu Helena mengedarkan pandangannya, menatap dengan detail kamar putrinya yang serba berwarna pink. Meja belajar, tempat tidur, meja rias, mainan, boneka, semuanya berwarna pink.
"Kamar ini terasa menyenangkan beberapa saat yang lalu, tapi sekarang kamar ini tidak lagi memberikan kebahagiaan itu." Gumam Helena, lalu tak berapa lama dia perlahan membaringkan tubuhnya. Membiarkan saja air matanya jatuh tanpa suara, yah, biarkan dia menangis, biarkan matanya melakukan apa yang ingin dia lakukan, saat nanti matanya merasa lelah pasti dia juga akan terpejam dengan sendirinya bukan?
Satu mingu kemudian.
Helena kembali ke kantor polisi untuk menanyakan sampai di mana proses laporan yang dia buat.
"Jangan mendesak, Nyonya. Anda tidak bisa menyalahkan pihak kepolisan karena kami juga memiliki banyak kasus yang perlu di tangani. Dari pada menekan kami, kenapa anda tidak merenungkan diri saja terlebih dulu? Kalau saja anda lebih ketat menjaga putri anda, saya yakin putri anda masih hidup. Semua ini anda tidak bisa menyalahkan pengendara, atau siapapun, anda juga termasuk salah satu tersangka yang membuat putri anda tewas."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
hadir 😍
2023-05-07
1
Eka Elisa
bgtu..kira"...yg krja mles mlesn tpi duit nya mau..mungkin gk smua cih...cumn gara"...stitik jadi rusk smua di mata masarakat...smoga orang"..sprti itu sgra sdr..lok gk di bikin viral dulu baru grcep...enthlah.. hrus brjuang smpe cpe bhkn bosen baru di lirik mreka...kdang suka dumel cndiri....mreka itu sbner y niat gk cih mnjadi aprat...
2023-05-01
2
Dedi Sutomo
lanjut
2023-04-26
0