BAB 4

Gemintang merasa napasnya sesak. Dadanya turun-naik menahan amarah dan perasaan terhina. “Kasar sekali bicaramu. Bagaimana kau bisa sekejam itu?”

“Bagaimana kau bisa menikah dengan laki-laki tua bajingan yang kebetulan ayahku itu?”

“Ia bukan bajingan. Ia sangat baik padaku.”

Tawa Raden pendek. “Oh, jadi ia sangat baik padamu. Karena berlian di telingamu itu? Berkat berlian yang gemerlap di jarimu? Kau sekarang orang terhormat di dunia ya, Gemintang si gadis sungai, kini kau penghuni rumah mewah ini. Tidakkah kau ingat, kau pernah mengatakan padaku kau bersedia melakukan apa pun agar bisa menghuni rumah ini?” Raden agak memiringkan badan ke arah Gemintang ketika mengucapkan kata-kata itu sambil mendengus. “Biar kutebak apa yang kau lakukan pada ayahku sampai ia mau menikahimu.”

Tanpa pikir panjang Gemintang menampar muka Raden keras-keras, setelah Raden melontarkan penghinaannya. Telapak tangan Gemintang terasa panas, ia berharap pipi Raden pun sama panasnya dengan tangannya.

Raden melangkah mundur sambil tersenyum sinis, senyum yang membuat amarah Gemintang lebih menciat dari ucapannya yang menyakitkan. “Apa pun yang kulakukan pada ayahmu, jauh lebih baik dari apa yang pernah kaulakukan padaku selama dua belas tahun ini. Ayahmu nelangsa, sendirian di rumah ini, menyesali perbuatan dirimu.”

Tawa Raden kembali terdengar. “Menyesali? Indah sekali, Gemintang. Menyesali.” Raden menekuk salah satu lututnya, sehingga berat badannya bertumpu pada kaki yang satu lagi dengan sikap angkuh. “Mengapa aku sulit membayangkan ayahku menyesali sesuatu? Apalagi kepergianku.”

“Aku yakin ia ingin kau tinggal di sini.”

“Ia bahagia kalau tidak berurusan denganku, begitu juga sebaliknya,” jawab Raden kasar. “Jangan bermanis-manis lagi. Kalau kau pikir Guntur sayang padaku, kau cuma berkhayal.”

“Aku tidak tahu apa penyebab pertengkaran kalian dulu. Yang jelas, sekarang ia sakit parah, Raden. Daddymu sedang sakit, janganlah mempersulit situasi yang sudah sulit.”

“Siapa yang punya ide menghubungi aku, kau atau Randy?”

"Daddymu.”

“Randy bilang begitu. Tetapi aku tidak percaya.”

“Tetapi begitulah adanya.”

“Kalau begitu, ia punya alasan lain.”

“Daddymu ingin melihat putranya sebelum meninggal!” teriak Gemintang. “Itu alasan yang cukup kuat!”

“Tidak untuk Guntur. Ia manusia licik, manipulatif, bajingan. Andai ia ingin aku di sisinya menjelang ajalnya, percayalah, ia pasti punya alasan.”

“Tidak pantas kau bicara seperti itu tentang daddymu padaku. Daddymu adalah suamiku.”

“Itu masalahmu.”

“Gemintang? Siapa—Oh, Tuhan. Raden!” Heny menghambur keluar memeluk Raden erat-erat. Raden pun membalas pelukannya. Gemintang berkaca-kaca ketika melihat kegetiran dan kesinisan di wajah Raden berganti dengan senyum riang. Matanya yang keemasan memancarkan kebahagiaan, giginya yang putih berkilat di balik senyumnya yang lebar.

“Bik Heny! Oh, aku sangat merindukanmu.”

“Seharusnya kau lebih sering mengirim surat padaku,” gerutu Heny sambil menegakkan tubuh dan pura-pura marah.

“Maafkan aku,” jawab Raden singkat, sementara matanya tetap menyiratkan kebandelan seperti dulu, saat Heny menangkap basah ia mencuri kue dari stoples. Dan ia selalu berhasil meloloskan diri. Seperti yang dilakukannya sekarang lni.

“Jadi kau sudah bertemu ibu tirimu, Gemintang?” ucap Heny, sambil menatap keduanya dengan mata berbinar-binar.

“Oh, ya. Aku sudah bertemu Gemintang. Kami sedang mengobrol.”

Perempuan tua itu tidak melihat lirikan mata yang sekilas dilemparkan Raden kepada Gemintang. “Makanmu pasti tidak benar, aku yakin. Kerja keras mencari uang, selalu muncul di berbagai surat kabar, tetapi badanmu tetap saja seperti orang kurang makan. Ayo masuk. Aku sudah menghangatkan makan malammu.”

“Pasta buatan bibik baunya tercium dari sini,” goda Raden, sambil mendorong tubuh Heny ke pintu.

“Aku membuatnya bukan khusus untukmu saja.”

"Benarkah? Aku pikir special untukki saja."

"Aku juga masak ayam untuk makan malam, kamu mau?”

"Tentu."

Pada minggu-minggu pertama kepindahannya sebagai nyonya rumah mewah ini, Gemintang merasa dirinya seperti tamu tak diundang. Tetapi bulan-bulan berlalu. Laura bisa menerimanya sebagai sahabat. Heny pun mulai menyukai dirinya. Tetapi saat ini, melihat Raden di rumah ini, mendengar derap sepatu botnya di lantai dan suaranya yang menggema di ruangan yang berlangit-langit tinggi, kembali Gemintang merasakan dirinya seperti orang asing. Raden-lah pemilik rumah ini. Bukan dirinya.

Ketika mengikuti mereka sampai ke dapur, Gemintang melihat Heny menyuruh Raden duduk di meja bundar yang penuh bermacam-macam hidangan. Raden mengamati ruangan itu. “Tak ada yang berubah,” kata Raden hangat.

“Dapurnya kucat beberapa tahun yang lalu,” ujar Heny. “Tetapi kuberitahu ayahmu aku tak akan mengganti warna catnya. Aku ingin segalanya tetap sama seperti ketika kau masih tinggal di sini.”

Raden menelan, dan menggeser-geser makanan di piringnya dengan garpu. “Aku tidak akan tinggal di rumah ini selamanya, Heny. Hanya sampai Daddy… kembali pulih seperti semula.”

Tangan Heny yang sibuk bekerja langsung berhenti. Ia menatap Raden seperti menatap anak laki-laki momongannya. “Aku tak ingin kau pergi dari rumah ini lagi, Raden. Ini rumahmu.”

Mata Raden melirik Gemintang sesaat, lalu kembali pada piring makanannya. “Tak ada gunanya lagi aku tinggal di sini,” ujar Raden marah sebelum menyuapkan makanan ke mulut.

“Siapa bilang? Masih ada Laura,” Gemintang mengingatkan Raden dengan suara lembut. Karena tidak mau hanya berdiri di dekat pintu, Gemintang memaksakan diri melangkah masuk ke dapur. Gemintang tidak ingin Raden tahu kedatangan pria itu di rumah ini membuatnya merasa terancam di rumahnya sendiri. Ia toh belum menjadi janda ayahnya. Sebagai istri, Gemintang merasa punya hak tetap tinggal di rumah ini. Gemintang berjalan ke lemari es, mengambil segelas teh es yang sebetulnya tak diinginkannya.

“Tiap hari Laura menyuruhku memeriksa kotak pos, kalau-kalau ada surat darimu. Demi adikmu, kau tidak boleh meninggalkan rumah ini, walau pun kau bertengkar hebat dengan ayahmu," ujar Heny sambil mengelap gelas yang sudah mengilap bersih.

“Aku tidak bisa tinggal di sini. Apakah Laura baik-baik saja?”

“Tentu, dia sangat cantik.”

“Bukan itu maksudku.”

Heny meletakkan gelas di meja. “Aku tahu yang kau maksud,” ujar Heny datar. “Ya, Laura baik-baik saja. Aku tahu dari pertanyaan-pertanyaanmu tentang dia di dalam surat-suratmu bahwa kau tidak dapat membayangkan bagaimana keadaan Laura, Raden. Laura memang tidak pandai secara akademis, tetapi banyak hal yang dipelajarinya dari sekelilingnya. Kau memang tidak ada di sini untuk melindunginya, tetapi perasaan posesifmu sekuat induk beruang terhadap anaknya. Laura tumbuh menjadi perempuan cantik. Ia juga sudah dewasa sekarang, barangkali tak bisa lagi diperlakukan seperti benda rapuh yang mudah pecah. Ia perempuan muda yang cantik."

“Tetapi ia berbeda,” tukas Raden.

“Tidak terlalu,” sela Gemintang. “Ia tahu perkembangan dunia, hanya saja emosinya tidak stabil. Aku lebih mencemaskan stabilan jiwanya ketimbang perkembangan akademisnya. Dukungan dari orang-orang sekitarlah yang sangat Laura butuhkan sekarang."

Mata Raden tak beralih sedikit pun dari wajah Gemintang ketika ia mengelap mulutnya dengan serbet dari bahan katun. Dilemparkannya serbet itu, lalu menarik kursinya dari meja. “Terima kasih untuk ceramahnya, Gemintang. Akan selalu ingat hal itu.”

“Aku tidak bermaksud...”

“Begitulah yang kau maksud,” potong Raden sambil mengambil teko kopi, menuang isinya ke dalam cangkir.

“Raden, tidak pantas kau bersikap begitu pada Gemintang.” Heny terkejut melihat sikap bermusuhan kedua orang di hadapannya. Belum lima menit mereka berkenalan, tetapi sudah saling bermusuhan. Jelas Raden tidak setuju ayahnya mengambil wanita muda seperti Gemintang sebagai istri. Namun Raden sendiri sudah dua belas tahun meninggalkan rumah. Apakah ada pengaruh pernikahan Guntur bagi dirinya? “Mana tata krama yang ibumu dan aku ajarkan? Ingat, Gemintang istri ayahmu. Ia harus kau hormati sebagaimana mestinya.”

Raden, yang terus menatap Gemintang, mencibir sinis. “Ibu tiriku. Aku selalu lupa hal itu.”

“Itu Laura datang,” seru Heny sambil memandang kedua orang yang ada di dapur tersebut. “Jangan kacaukan hatinya, Raden. Cukup berita sakitnya daddymu saja yang mengejutkannya hari ini dan ia berhasil menerimanya dengan baik.”

Terpopuler

Comments

yuni kazandozi

yuni kazandozi

raden ga mau tinggal dirumah dady nya mungkinkah karena ga mau ketemu gemintang,karena raden masih menyukai gemintang

2023-05-04

2

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

aku pikir special untukki saja -----> aku pikir special untukku saja

2023-05-04

1

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

astagfirullah Raden.... sepertinya selama ini kamu selalu negatif thinking terhadap Gemintang yaaa 🤦🤦🤦

2023-05-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!