BAB 3

Banyak hal yang harus diselesaikan petang itu, banyak orang yang harus diberitahu. Guntur tidak punya sanak saudara kecuali putra dan putrinya, karena itu masalah kerabat tak perlu dipikirkan. Tetapi penduduk kota, kolega bisnis Guntur, ingin tahu masalan penyakit yang di derita Guntur. Gemintang berbagi tugas dengan Randy untuk menghubungi mereka lewat telepon.

“Heny, sebaiknya kau segera siapkan kamar Raden. Dia akan datang malam ini.”

Mendengar berita itu, asisten rumah tangga tersebut tampak seperti ingin menangis. “Puji Tuhan, Puji Tuhan. Aku sudah lama berdoa agar anakku yang satu itu mau pulang. Ibunya yang di surga pasti menari-nari hari ini. Pasti ia senang sekali. Yang dibutuhkan kamar itu hanya seprai baru. Aku selalu membersihkannya, kalau-kalau suatu hari ia kembali menempatinya. Tuhan, Tuhan, aku ingin sekali segera berjumpa dengannya.”

Gemintang berusaha tidak memikirkan saat ketika ia harus berjumpa anak kesayangan itu, berbicara dengannya. Ia menyibukkan diri dengan setumpuk tugas yang harus diselesaikannya.

Ia juga tidak memikirkan kematian Guntur yang semakin dekat. Itu akan dipikirkannya nanti, saat ia sendirian. Pada petang, waktu kunjungannya ke rumah sakit, Gemintang duduk di samping ranjang suaminya, ia tidak membiarkan benaknya dipenuhi pikiran Guntur tidak akan pernah meninggalkan dirinya.

Suaminya masih di bawah pengaruh obat bius, tetapi Gemintang merasa tangannya ditekan pelan waktu ia menggenggam tangan Guntur dan mer*masnya sebelum pamit pulang.

Saat makan malam, ia memberitahu Laura tentang kabar kepulangan Raden. Gadis itu melompat dari kursi, menyambar tangan Heny, dan menari-nari mengelilingi ruangan. “Ia memang berjanji suatu hari akan pulang, bukan, Heny? Sekarang Raden pulang. Aku ingin memberitahu Adit.” Laura langsung lari keluar lewat pintu belakang menuju kandang kuda, ke tempat tinggal Adit.

Sementara Gemintang mengambil gelas es teh lalu berjalan ke teras depan, ia duduk di kursi goyang bercat putih, dan menyandarkan kepala pada bantalan kursi bersarung kain kembang-kembang dan memejamkan mata.

Inilah saat yang paling disukainya ketika menghuni rumah mewah ini, malam hari, ketika sinar lampu di dalam rumah menyelinap ke luar dari celah-celah jendela, yang kelihatan seperti kemilau permata. Bayang-bayang memanjang dan berwarna-warni, saling menyatu sehingga tak ada sudut atau bentuk yang jelas. Pepohonan menjulang di latar depannya. Kodok mengorek di sungai. Suara jangkerik menggema di udara dengan nada tinggi melengking. Tanah menyebarkan bau yang subur, dan setiap kuntum bunga menghamburkan harum yang unik dan memabukkan.

Setelah lama beristirahat, Gemintang membuka mata. Ketika itulah ia melihat pria tersebut.

Ia berdiri tak bergerak di bawah dahan pohon yang menjulur. Jantung Gemintang seperti berhenti berdetak dan pandangannya kabur. Ia tidak tahu apakah sosok pria itu sungguhan atau hanya ilusi. Kepalanya pening, dicengkeramnya gelas es teh erat-erat supaya tidak lolos dari cengkeraman jemarinya yang kaku dan dingin.

Pria tersebut bergerak menjauh dari dahan pohon dengan gerakan seperti harimau dan dalam diam, makin lama makin dekat sampai akhirnya ia tiba di anak tangga batu yang menuju teras.

Siluet maskulinnya jelas terlihat ketika ia berdiri dengan kaki terbuka lebar, ia tidak lebih kurus dari pada saat pertama kali Gemintang berjumpa dengannya. Kegelapan malam menyembunyikan wajah pria itu dari pandangan Gemintang, tetapi Gemintang dapat melihat kilatan giginya yang putih ketika ia mulai tersenyum.

Senyumnya ramah, sebagaimana juga nada bicaranya. “Well, kalau tak salah, kau Gemintang Dahayu atau nyonya Buana.” Ia meletakkan sebelah kakinya yang mengenakan sepatu bot di anak tangga dan membungkukkan badan, satu tangan bertopang di lutut. Ia menatap Gemintang, sinar lampu dari pintu utama menerpa wajahnya. Dada Gemintang terasa sesak oleh perasaan sakit… dan cinta.

“Ya, aku Nyonya Buana sekarang, Raden.”

Wajah itu! Wajah yang selalu muncul dalam mimpi-mimpi dan khayalannya. Wajah yang paling memesona yang pernah dilihatnya. Tampan ketika berusia dua puluhan, dan makin tampan dalam usia tiga puluhan. Rambut hitam, sorot matanya, yang memikat Gemintang sejak pertama kali melihatnya, menggugah perasaannya lagi.

Terakhir kali ia berjumpa pria itu, mata tersebut penuh gairah. Besok… sayangku. Aku akan datang ke tempat kita ini. Gemintangku, cium aku lagi. Kemudian, Besok, besok. Ia tidak muncul lagi keesokan harinya, dan selamanya.

“Lucu,” komentarnya dengan nada yang membuat Gemintang berpikir sebaliknya, “kita menyandang nama keluarga yang sama.”

Tak ada tanggapan untuk yang satu itu. Ingin rasanya Gemintang berteriak bahwa mereka bisa memakai nama keluarga yang sama beberapa tahun yang lalu andai pria itu bukan penipu, andai ia tidak mengkhianatinya. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak diungkapkan. “Aku tidak melihat mobilmu.”

“Aku terbang, mendarat, dan berjalan kaki kesini.”

Landasan pesawat kira-kira hanya satu setengah kilometer jauhnya. “Oh. Mengapa?”

“Aku ingin tahu bagaimana sambutan yang akan kuterima.”

“Ini kan rumahmu, Raden.”

“Yeah, tentu rumahku.”

Gemintang membasahi bibir dengan lidah dan berharap punya keberanian untuk tetap menghadapinya. Ia takut kakinya tak mampu menopang tubuhnya. “Kau tidak menanyakan kabar ayahmu?”

“Randy sudah memberitahu aku.”

“Kalau begitu kau tahu ia hampir sekarat?”

“Ya. Dan ia ingin bertemu aku. Rupanya keajaiban tak pernah lenyap.”

Komentarnya yang menyakitkan itu membuat Gemintang bangkit dari duduk tanpa berpikir dua kali. “Ia sakit keras, Raden. Bukan seperti yang kau kenal dulu.”

“Andai masih tersisa satu tarikan napas dalam tubuhnya pun, ia persis seperti aku mengingatnya.”

“Aku tak mau berdebat denganmu tentang hal itu.”

“Aku bukan mau berdebat.”

“Dan aku tidak akan membiarkan kau mengecewakannya atau Laura atau Heny. Mereka ingin bertemu denganmu.”

“Kau tidak akan membiarkan? Astaga, astaga. Kau betul-betul menganggap dirimu nyonya di rumah ini, ya?”

“Tolonglah, Raden. Beberapa minggu ke depan segalanya akan cukup sulit tanpa…”

“Aku tahu, aku tahu.” Tarikan napas panjangnya terdengar sampai ke tempat Gemintang berdiri tegang di teras, tangannya mengepal erat. Ia meletakkan gelas es teh di pagar teras karena takut menjatuhkannya. “Aku juga tidak sabar hendak bertemu mereka,” katanya dan melirik ke arah kandang kuda. “Aku lihat Laura keluar dari rumah itu beberapa saat yang lalu, tetapi aku tidak ingin muncul tiba-tiba dalam gelap dan mengejutkannya. Aku mengingatnya sebagai gadis kecil. Tak kusangka ia sudah dewasa sekarang.”

Ingatan akan Laura dan Adit yang berlutut di tumpukan jerami di kandang kuda, jari-jari Adit mengelus pipi Laura, melintas di benak Gemintang. Ia tidak tahu apa pendapat Raden bila tahu hubungan asmara adik perempuannya itu. Ia jadi resah menerka-nerka. “Ia perempuan dewasa sekarang, Raden.”

Gemintang merasakan tatapan mata Raden pada dirinya, menelusuri, menganalisis, menilai. “Dan kau,” katanya lembut. “Kau juga perempuan dewasa sekarang."

Gemintang sama sekali tidak berubah. Kecantikan gadis lima belas tahun yang dikenalnya kini mendewasa.

Ia berharap bertemu Gemintang yang gendut, kumal, kusut, berambut kusam, dan berpaha besar. Ternyata ia masih ramping, dengan pinggang yang seolah akan patah bila ditiup angin. Dadanya berisi dan lembut, namun tetap tegak, bulat, dan mengundang. Sialan! Seberapa sering ayahnya menyentuhnya?

Ia menaiki anak tangga perlahan-lahan, seperti pemangsa yang kelaparan tetapi hendak menyiksa korban sebelum melahapnya. Matanya berkilat dalam kegelapan, nanar menatap Gemintang. Senyum lebar di bibirnya menyiratkan sesuatu yang licik, seakan pria itu tahu apa yang ada dalam benak Gemintang yang ingin dilupakannya, bagaimana bibir pria itu menyentuh bibirnya, lehernya, dadanya.

Gemintang berbalik. “Aku panggilkan Heny. Mungkin ia…”

Tangan Raden menyambar pinggang Gemintang, membuat langkahnya terhenti. Ia memaksa Gemintang menghadap ke arahnya “Tunggu sebentar,” katanya tenang. “Setelah dua belas tahun, tidakkah kau merasa kita bisa saling menyapa dengan lebih akrab?”

Tangannya yang bebas menyentuh tengkuk Gemintang dan mendorong wajah wanita itu ke wajahnya. “Ingat, kita sekarang keluarga,” bisiknya dengan nada mengejek. Kemudian bibirnya mencium bibir Gemintang, kasar dan penuh kemarahan. Diciuminya bibir Gemintang dengan liar, seakan hendak menghukumnya karena malam-malam ketika ia memikirkan Gemintang, Gemintang-nya yang polos, yang berbagi tempat tidur, tubuhnya, dengan ayahnya.

Gemintang menyarangkan tinju ke dada pria itu. Terdengar suara mengerang keras. Lututnya lemas. Ia berusaha memberontak. Ia memberontak lebih keras. Karena ia ingin memeluk laki-laki itu, mendekapnya erat, merasakan kembali getaran yang pernah dirasakannya ketika berada dalam pelukannya.

Tetapi ini bukanlah pelukan, ini penghinaan. Ia bergulat sekuat tenaga untuk membebaskan bibirnya.

Ketika ia berhasil melepaskan diri, Raden memasukkan tangan ke saku celana jinsnya dan tersenyum mengejek penuh kemenangan melihat ekspresi marah dan bibir merah Gemintang. “Hai, Mom,” dengusnya.

Terpopuler

Comments

yuni kazandozi

yuni kazandozi

tuuuhkan bener,raden sama gemintang pernah pacaran,tapi sayangnya gemintang malah nikah sama bapaknya raden

2023-05-04

3

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

waaaduuuuuh gawat neeeeh jika perlakuan Raden saat ini di saksikan oleh Laura, Heny bahkan bisa juga oleh Adit tuuuuh

2023-05-04

1

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

Raden....Raden....bersaing kok ama yang lebih profesional seeeh yoooo jelas kalah laaaah 😄😄😄

2023-05-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!