BAB 2

Pohon‐pohon besar yang rindang tumbuh mengelilingi rumah mewah itu, dindingnya dicat putih bersih, pilar bergaya Corinthian tegak menjulang di bagian depan, tiga pilar di setiap sisi pintu depan. Pilar-pilar itulah yang menyangga lantai dua rumah dengan teras yang luas di sekelilingnya.

Keheningan menyelimuti rumah bak kabut sihir yang mengelilingi puri dalam dongeng, Gemintang yakin bahwa rumah tersebut merupakan damban semua orang di dunia ini.

Kini ia menjadi penghuni rumah tersebut, namun setelah operasi pagi tadi, Gemintang sadar dirinya hanya penghuni sementara rumah mewah itu.

Gemintang menghentikan mobil di halaman yang berbatu-batu, yang dibentuk melingkar di depan rumah. Sejenak Gemintang berusaha menenangkan pikiran dan mengumpulkan seluruh kekuatan karena petang ini tidak akan menjadi petang yang menyenangkan.

Gemintang berjalan dengan anggun menuju lantai dua, menuju kamarnya. Ia melepas blazernya dan menaruhnya di gantungan.

“Bagaimana keadaan tuan Guntur?” tanya asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu sejak mendiang istri Guntur, Camila Agatha, menikah dengan Guntur Rimba Buana.

Sang asisten itu berdiri di ambang pintu, kemudian perlahan Gemintang menghampirinya lalu memeluknya. Lengan pengurus rumah tangga yang gemuk itu membalas mendekap tubuh Gemintang yang ramping. “Apakah kondisi tuan buruk?” tanyanya lembut sambil mengelus-elus punggung Gemintang.

“Suamiku terkena kanker, dokter mengatakan kemungkinan dia tidak akan pulang ke rumah lagi.”

Dada Heny yang besar bergetar karena menahan tangis. Kedua perempuan itu saling menghibur. Haney tidak begitunsuka dengan Guntur, kendati ia sudah bekerja pada pria itu lebih dari tiga puluh tahun. Kesedihan yang dirasakannya terutama ditujukan pada orang-orang yang di sekelilingnya terutama Gemintang, yang mungkin saja akan menjadi janda di usianya yang masih sangat muda.

Semula Heny menolak kedatangan nyonya baru di rumah mewah itu. Tetapi ketika melihat Gemintang tidak mengubah tatanan rumah sama sekali, tetap membiarkannya sebagaimana ketika almarhumah Camila masih hidup, mulailah ia menyukai Gemintang. Selain itu Gemintang menunjukkan sikap penuh kasih sayang dan lembut terhadap Laura, hal itu sudah cukup bagi Heny untuk menganggap Gemintang memiliki hati bak malaikat.

“Bik Heny? Tante Gemintang? Ada apa?” Keduanya berbalik dan melihat Laura berdiri di anak tangga bawah. Dalam usia dua puluh dua tahun, putri Guntur itu kelihatan masih seperti gadis remaja saja.

Rambutnya yang cokelat dibelah tengah dan tergerai lurus ke bawah, rambut itu membingkai wajahnya yang lembut. Kulitnya seputih porselen, ,atanya besar dan berwarna cokelat, dengan bulu mata yang panjang.

“Operasi Daddy sudah selesai? Kapan daddy akan pulang? Hari ini atau besok?”

“Selamat siang, Laura,” sapa Gemintang sambil menghampiri anak tirinya, yang lima tahun lebih muda darinya. Digandengnya lengan gadis itu. “Mau menemaniku jalan-jalan di luar? Udara cerah hari ini.”

“Mau. Tetapi kenapa Bik Heny menangis?”

Heny tampak tengah menyeka mata dengan kain handuk.

“Ia sedih," jawab Gemintang.

“Kenapa?”

Gemintang menarik tubuh gadis muda itu ke arah pintu depan dan menggandengnya menuju ke teras. “Karena daddymu, sakitnya lumayan parah."

“Aku tahu. Daddy selalu mengeluh sakit perut.”

“Ya, kata dokter, perutnya tidak bisa disembuhkan lagi.”

Mereka berjalan menyusuri rerumputan taman yang terawat rapi, Laura memetik sekuntum bunga daisy yang tumbuh di dekat jalan setapak batu yang penuh lumut. “Daddy kena kanker?”

Terkadang kecerdasan gadis ini mengejutkan mereka. “Ya, benar,” sahut Gemintang. Ia tidak ingin menutup-nutupi keadaan ayahnya.

“Aku banyak mendengar soal kanker di televisi,” ucapnya sambil menghentikan langkah dan menatap Gemintang. Kedua perempuan yang hampir sama tinggi itu saling memandang. “Daddy bisa meninggal karena kanker.”

Gemintang mengangguk. “Daddy memang akan meninggal, Laura. Kata dokter, daddymu bisa meninggal dalam waktu seminggu atau lebih.”

Bola mata yang cokelat itu tetap tak berkaca-kaca. Laura mendekatkan bunga daisy ke hidungnya dan menciumnya. Kemudian ia menoleh pada Gemintang lagi. “Ia akan ke surga, kan?”

“Kurasa begitu… Ya, ya, pasti, ke surga.”

“Kalau begitu Daddy akan bersama Mommy lagi. Sudah lama Mommy berada di sana. Pasti Mommy senang berjumpa dengan Daddy. Dan aku masih tetap punya tante Gemintang, Bik Heny, dan Mang Adit.” Ia melirik ke arah kandang kuda. “Dan Kak Raden. Kak Raden selalu mengirimiku surat setiap minggu. Katanya ia selalu menyayangi dan akan menjagaku. Apakah kak Raden benar-benar akan menjagaku?”

“Tentu saja.” Gemintang mengatupkan bibir, menahan tangis. Akankah Raden pernah menepati janji? Bahkan terhadap adik perempuannya?

“Tetapi mengapa Raden tidak mau tinggal bersama kita?” tanya Laura.

“Mungkin ia akan segera pulang.” Gemintang tidak ingin memberitahu Laura bahwa tidak lama lagi Raden memang akan tiba di rumah sampai ia melihat sendiri Raden muncul.

Laura terlihat tenang. “Mang Adit menungguku. Kuda betinanya melahirkan semalam. Ayo kita lihat." Diraihnya tangan Gemintang , lalu ditariknya menuju kandang kuda. Gemintang iri melihat kegembiraan Laura dan berharap ia pun bisa menerima keadaan Guntur dengan pikiran sesederhana Laura.

Udara di kandang kuda hangat, berbaur dengan bau kuda, kulit, dan jerami yang tajam. “Mang Adit,” panggil Laura riang.

“Di sini,” jawab suara bernada rendah.

Mang Adit bekerja sebagai pengurus kandang kuda keluarga Guntur, Adit Mengembangbiakkan kuda-kuda ras murni termasuk salah satu kesukaan Guntur, tapi ia tidak terlalu memedulikan perawatan kuda.

Adit muncul dari lorong salah satu kandang kuda. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi sangat tegap wajahnya persegi seperti tokoh kartun Spongebob, namun terkadang terpancar ekspresi yang melembutkan. Ia membiarkan rambutnya tumbuh panjang, seperti biasanya sehelai bandana diikatkan di kepalanya, dan topi koboi dari jerami menutupi kepalanya. Celana jinsnya sudah tua dan kumal, sepatu botnya penuh debu, kemejanya penuh bercak keringat, ia berusia tiga puluh tahun.

Ia tersenyum berseri-seri ketika melihat Laura berlari mendekatinya. “Mang Adit, kami ingin melihat anak kuda itu,” ucap Laura terengah-engah.

“Di sana.” Adit menoleh ke arah kandang kuda yang baru ditinggalkannya.

Laura masuk ke kandang kuda. Adit menatap Gemintang dengan pandangan bertanya. “Kanker,” ujar Gemintang menjawab pertanyaan Adit yang tak terucap.

"Anda sudah memberitahunya?”

“Ya. Ia bisa menerimanya lebih baik dari pada kita semua.”

Adit menggangguk dan tersenyum sendu pada Gemintang. “Ya. Pasti.”

“Oh, Adit. Anak kuda betina ini cantik sekali ya?”

"Iya," Adit masuk ke kandang, dan Gemintang mengikutinya, ia mengawasinya saat pria itu dengan gerakan kaku berlutut di sebelah Laura. Kecelakaan membuat Adit kehilangan separo kaki kirinya. Ia tidak begitu terlihat memakai kaki palsu, kecuali bila ia harus berlutut, seperti saat itu.

“Ia cantik sekali, kan? Dan induknya kelihatan sangat bangga pada anaknya.” Adit mengelus punggung kuda betina itu, tetapi matanya tetap tertuju pada Laura. Gemintang terus memerhatikannya, ketika Adit menjulurkan tangan untuk menjumput jerami yang menempel di rambut Laura. Jari-jarinya mengelus pipi Laura yang sangat halus. Laura menatap Adit dan mereka saling tersenyum.

Sejenak Gemintang tertegun menyaksikan kemesraan di antara kedua orang itu, ia bingung jika Laura menyukai Adit sungguhan. Gemintang bersikap tak begitu mengambil pusing, ia berniat meninggalkan tempat itu, namun Adit melihatnya. “Nyonya, ada yang bisa saya bantu…” Adit tak melanjutkan kata-katanya.

“Terima kasih, Adit. Untuk sementara ini lakukan saja apa yang menjadi tugasmu seperti biasa.”

“Baik, nyonya.” Adit tahu, Gemintang-lah yang menolongnya bisa menjadi karyawan Guntur. Wanita itu masih karyawan Guntur ketika Adit melamar pekerjaan sebagai pengurus. Gemintang membujuk Guntur agar bersedia mempekerjakannya.

Guntur tak pernah menyesali keputusannya menerima Adit, karena ia bekerja dengan giat, sepenuh hati, dan membuktikan kemahirannya dalam merawat kuda-kuda ras murni. Pria itu hanya butuh dukungan untuk memantapkan rasa percaya dirinya karena kakinya.

Gemintang merenungkan semua itu ketika kembali ke rumah. Adit dan Laura saling mencintai. "Tidak, tidak mungkin." Ia menggeleng dan tersenyum, saat memasuki serambi. Telepon berdering, Gemintang mengangkatnya sebelum Heny datang.

“Halo?”

“Gemintang, ini Randy.”

“Ya?”

“Aku sudah bicara dengan Raden. Ia akan datang secepatnya, mungkin malam ini.

Terpopuler

Comments

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

waaah Gemintang memiliki hati yang begitu mulia dan memberikan secercah cahaya pada orang-orang yang ada di dekatnya seperti namanya sanggup memberikan cahaya di gelapnya malam

2023-05-04

1

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

mungkin Laura memiliki sifat dan pribadi yang tenang dari Ibunya Camilia Agatha tuuuuh

2023-05-04

1

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

☠ᵏᵋᶜᶟ🍾⃝ͩ⏤͟͟͞Rᴇᷞᴛͧɴᷠᴏͣ🔵W⃠🦈

atanya besar dan berwarna coklat -----> ini mungkin yang dimaksud adalah "matanya besar dan berwarna coklat" gitu kali ya 🤔🤔

2023-05-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!