Spring Love : First And Last Love Story

Spring Love : First And Last Love Story

Prolog

Baru saja pukul 22.10

Tak terasa malam semakin larut ditemani kesunyian yang menjerat dan kegelapan yang mulai merayap, di ujung atas jembatan berdiri seorang gadis yang masih bergaun putih dengan mantel coklat panjang meski lusuh—baru tiga puluh menit ia berdiri diam, terlarut memandangi sungai yang bergemerisik bagai lantunan melodi alam. Angin yang tenang di tengah malam membawa pesan yang tak ingin ia ketahui.

Pesan yang sudah lama terkuak namun rasanya hati ini masih terhimpit belum menerima apa yang sudah tersampaikan.

Wajahnya yang datar tanpa ekspresi itu hanya menyisakan bekas air mata seakan tak ada yang ingin ia harapkan lagi.

menarik napas dalam-dalam berulang entah sudah berapa kali gadis itu melakukannya. Di setiap sisi kedua tangannya yang terus menguncup dan dari balik salah satunya ternyata menyimpan secarik kertas yang sudah lecek dan remuk. Genggaman eratnya sedikit bergetar, bibirnya menggeram.

Tes... Tes.....

Cairan bening kembali menitik seakan masih mengharapkan kemustahilan. Ya, sesuatu yang sangat sulit untuk terjadi.

Gadis itu menatap jengah penuh kekosongan pada sungai di bawah kaki. Arus yang sebelumnya menggelegak menghantam bebatuan kini terhenti dengan sendirinya sehingga ia dapat melihat pantulan dirinya sendiri di atas cermin air seolah sungai pun merasa iba.

Tak lama setetes hujan turun dan mengguyurnya dengan deras membasahi setiap inci tubuhnya. Perkiraan cuaca yang sebelumnya ia lihat dari ponsel beberapa saat lalu memang tak bisa disangka.

DrasHH......

Hal itu tak meredamnya kepalanya yang masih tertunduk dalam, yang bisa ia lihat dari pantulan tetesan hujan hanyalah wajah pucat bak mayat hidup dengan sisa air mata yang masih membekas dan luka di dalam yang masih menganga

Kala itu yang seharusnya menjadi kesempatan untuk menjelaskan segalanya melebur begitu saja dari pandangan.

KrrKK— BlaR—!

Ia masih meremas kertas itu meski sudah tak berbentuk.

Begitu ingatan itu menyeruak, matanya terus berair. Tak sanggup ia terima namun juga tak sanggup mengharapkan meski saat ini ia masih menyimpan sedikit harapan... Seandainya saat itu ia berteriak sekeras yang ia bisa....

Pasti.... Dia akan mempertimbangkannya sebelum pergi..

Kematian. Mungkin hanya itu yang bisa ia jadikan sebagai penebusan.

Sekarang pun rasanya ia ingin langsung terjun ke sungai sedalam 9 meter didepan matanya ini.

Tapi ada yang aneh... Dari relung hati ini ada rasa enggan yang mana dirinya sendiri pun tidak tau alasannya.

Ketika bulan mulai tertutup oleh awan hujan, wajahnya yang sudah kuyup itu mendongak dan menampilkan senyum tipis seakan-akan tersirat jika ia sudah bosan dengan perasaan yang selama ini ia pendam. Perasaan tulus yang tersia-siakan.

"Tuhan ... Jika ada kesempatan kedua, tolong pertemukan aku dengan pria itu lagi. Aku hanya masih ..." Ujarnya sempat terhenti. ".... Tidak rela untuk berpisah dengannya," kata-katanya tersamar dengan angin hujan menyusup seolah sudah menjawab pernyataannya.

Ahh ... Mustahil.

Ketika tubuhnya yang perlahan terbuai, hendak menentang segalanya dan melompat melawan rasa takut.

Tanpa ia duga, pelukan hangat menyergapnya dari belakang, menahan tubuhnya agar tidak terpacu jatuh.

Dengan suara bariton berat dan samar dan parfum maskulin yang begitu ia kenal... Namun kehadirannya tak ia harapkan untuk datang disaat-saat seperti ini.

"...Lea, kumohon jangan lakukan itu.." Kata sosok pria menjulang tinggi dibelakang, begitu samar ketika mulutnya mendekati telinga gadis itu, begitu lembut dan penuh kehangatan membuatnya terkunci.

Netra gadis itu mencengang memberi tanda tanya besar, namun mulutnya masih terkatup rapat.

"Kumohon...." Suaranya mendesis halus, tertahan dan penuh harapan yang membuat siapa saja merasa tak enak hati untuk terjun.

Deru napas gadis itu semakin naik turun dan sempat menyebut namanya di tengah hujan. "Ad- Adrian...kenapa?" pelan, nyaris tak terdengar.

Pria yang dipanggil Adrian masih tak melepaskan pelukan erat yang melingkar ditubuh gadis yang biasa disapa Lea meski dia pun juga sudah basah kuyup.

"Because of you..... Are my best friend, Lea." Bisiknya lembut dengan garis tipis yang masih melengkung namun diiringi ekspresi wajah penuh rasa takut.

Takut kehilangan. Lelaki tersebut sudah berlari keliling untuk mencarinya sepanjang hari. Jelas jika ia mengeratkan tangannya dalam dekapan.

"Sebagai sahabat. Tentu gue gak akan biarin Lo menceburkan diri ke sungai. Meski dunia ini berharap Lo pergi tapi jangan berpikir bahwa tak ada orang yang menemani Lo."

"Lo gak sendiri Lea. Lo punya sahabat! Ada gue yang selalu bersama Lo." sambungnya lagi, penuh penekanan agar sahabatnya tak langsung melakukan tindakan diluar batas.

"Lea...!" panggilnya dengan serak dan putus asa. Gadis itu hanya menyahut dalam deheman samar.

"Please. Don't be do that again! Gue gak mau kehilangan Lo!" ucapnya lembut, tapi tegas memberi isyarat dengan pelukan yang semakin kuat seakan tak ingin melepaskan.

Gadis itu semakin diam dengan kepala yang tertunduk dalam. Adrian dapat memahami semuanya dan melanjutkan perkataannya yang belum sempat terucapkan. "Gue tau Lo masih mengharapkan dia kan? Atau Lo masih tidak terima dengan surat darinya?" katanya lagi kali ini dengan nada rendah yang dalam.

"Lea....?" serunya lagi.

"Ad, apa menurut Lo gue sekentara itu mencintai seseorang?" Akhirnya Lea bersuara meski mulutnya mengunci diri setelahnya.

Adrian menjawab sambil menyenderkan dagunya di bahu Lea.

"Ya, sangat kentara" balasnya dengan senyum tipis. Senang akhirnya gadis itu mendengar gadis itu berbicara usai sekian yang sangat lama baginya meski sebenarnya hanya beberapa hari.

Isakan kecil terdengar kembali, Adrian semakin merapatkan pelukannya dan berkata.

"Menangislah. Lo boleh kok nangis lagi tapi jangan keseringan," tuturnya penuh perhatian khusus.

Lea yang tak menyadari akhirnya menangis sejadi-jadinya hingga suaranya melemah.

"Makasih Ad. Kalo ngga ada Lo, mungkin gue udah ga—" ucap Lea terhenti ketika Pria itu menundukkan kepala yang membuat bibirnya bersentuhan lembut secara spontan.

Tertegun. Ciuman singkat itu terhenti dengan Lea yang masih terdiam. Bagaimana tidak? Pria didepannya merupakan playboy, okay ia pernah menyimpan rasa tapi luntur karena tidak terbalas tapi sekarang? Apa dia salah makan?!

"A—apa ini?!" seru Lea tiba-tiba, ekspresi terguncangnya tergambar jelas.

Adrian terkekeh, "Itu hanya nafas buatan, kau pasti membutuhkannya" jawab dengan santai, untuk menghiburnya namun ada perasaan senang yang timbul dari relung hatinya.

Tersentak, tiba-tiba tinju bogem melayang hingga ke kepala Adrian.

Bugh

"Lo ini. Jangan mentang-mentang gue udah jadi mantan orang malah seenaknya!" dengus Lea. Tangannya terlipat, wajahnya penuh kejengkelan.

Mengusap rambutnya sendiri namun sedikit memanyunkan bibir. "Ya, ngga usah mukul juga kali Le, sakit tau" balas Adrian tak kalah.

Namun Lea menambahkan dengan sorot mata yang tajam, "Kita sahabat. Kita juga udah janji, dalam persahabatan kita tidak boleh ada perasaan. Masa gitu aja lupa."

"Yaudah, gue maaf" balas pria itu singkat, tersenyum kecil.

'Halah. Gua ngga peduli, Lea detik ini juga Lo milik gue, semenjak Lo pisah dengan dia... gue sudah membuat perlakuan khusus untuk Lo, gue ngga tahu but... I love you, Lea' suara hati yang begitu sulit ia pahami, mungkin itu alasan kenapa dirinya masih tak mau melepaskan pelukannya pada Lea atau.... Karena perasaan lain yang ia rindukan sebab diirinya berhari-hari tidak bertemu dengan sahabatnya itu.

"Ad, gue sesek napas. Bisa lepasin pelukannya ngga?" seru Lea, napasnya sempat tertahan.

Adrian masih merapatkan pelukannya. "Tapi Lo harus janji...! Jangan loncat!!!" serunya lantang dan tegas.

Lea tersenyum getir, "Memang Lo siapa? Ngelarang gue?" ujarnya dengan datar.

Adrian mendengus, berkata pelan penuh otoritas. "Gue udah bilang gue sahabat Lo. Sebagai sahabat gue nggak akan ngebiarin sesuatu terjadi pada Lo."

Secara spontan, ia tiba-tiba mengangkat Lea yang bertubuh pendek kurang dari 160 bak pengantin, dan menuruni satu anak tangga menuju mobilnya yang terparkir disisi jembatan. Gadis itu tersentak dengan perlakuan Adrian yang mendadak.

"Ad, apa ini?! Turunin gue nggak!!" teriak Lea memukul dada bidang Adrian.

"Gue turunin tapi jauh dari ujung..." ujar Adrian tersenyum tipis, wajah yang teduh terlihat jelas dengan rambutnya yang sudah kuyup, pandangan matanya lembut, penuh arti dan menolak akan kehilangan sangat berbeda dengan tatapan yang sering Lea lihat di saat-saat biasa.

Tak bisa berkutik, akhirnya Lea pun menurut. "Oke"

"....Lalu setelah itu jangan antar gue ke rumah" ujarnya kembali, namun terdengar menggantung.

"kenapa?" Tanya Adrian

"Ga ada apa-apa cuma gue males ketemu 'mereka'," suaranya masih serak, namun tersirat jelas dari raut wajahnya yang tak senang.

"Yaudah kalo begitu mau ke apartemen gue?"

Menggeleng pelan.

"Lalu kemana? Restoran?"

"Nah!" sentak Lea, membuat Adrian mendengus. "Giliran makanan aja langsung terdepan," celetuknya mendesis.

Lea tak menanggapi, setelah ia turun langkah kakinya melangkah tanpa suara dan langsung membuka pintu mobil berwarna silver milik Adrian, lelaki yang masih ditempatnya sedikit tercengang mendapati Lea yang sudah di dalam mobil. Rasanya ingin bertepuk jidat, Hahahaha jika Lea sudah kembali baguslah itu artinya sifat konyolnya sudah balik.

'Cepat sekali anak itu—' matanya menyipit ke arah pintu yang sudah tertutup.

"Woi, cepetan! Lo mau basah kuyup terus-terusan di luar?!" suara teriakan diiringi ketukan kaca mobil dari dalam sudah bisa ia tebak, dasar tidak sabaran!

"Iye, bawel."

Adrian masih tersenyum tenang penuh wibawa sambil melangkah mantap ikut masuk ke dalam mobil. Senyumnya yang selalu teduh itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang tak dapat di jelaskan.

'Ini baru Lea yang gue kenal'

Batinnya sedikit melirik ke samping, lalu melempar handuk kecil di belakangnya ke arah Lea.

"Pakailah, gue nggak mau nanti pas masuk restoran malah gak dibolehin masuk cuma karena basah kuyup, ambil aja baju dibelakang biar pas ke toilet Lo pake baju disana," jelasnya santai, sambil menyalakan kemudi.

Gadis itu masih memproses otaknya dari perkataan lelaki disampingnya, tumben banget playboy gini peduli sama sahabatnya! Hah, udah tobat Lo.

Terkekeh, "Ya, siap. pak bos!" celetuk Lea, dengan nada penuh hormat seperti tentara.

'Hahahaha, manis sekali Lea ku, well... kau hanya milikku sekarang, Lea' batinnya lagi diiringi lirikan sekilas melalui kaca spion. Senyumnya berubah menjadi seringai tipis penuh arti.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sementara itu, di tempat lain—tepatnya di dalam sebuah mansion mewah yang megah bernuansa Eropa—seorang pria berdiri mematung di lorong koridor dekat perapian. Langkahnya berat terhuyung-huyung, wajahnya pucat pasi seperti kehilangan arah.

Ia tahu sesuatu, tapi memilih bungkam. Bukan karena tak bisa bicara, melainkan karena semenjak hal itu tertulis.... Pikirannya tak mau hilang dan sudah terpatri dalam ingatannya.

Semua yang diucapkan selama ini lebih seperti omong kosong belaka, tak berarti, dan menghancurkannya perlahan-lahan.

Brakk

Ditinju tembok itu hingga tangannya mengeluarkan darah segar yang merembas dari sela-sela jarinya.

Tak bisa ia terima suatu kenyataan pahit yang memilukan. Semua kertas-kertas itu ia hempaskan kedalam perapian, lalu membiarkannya hangus terbakar sampai tak tersisa kecuali kenyataan itu yang sudah diketahui oleh semua orang. Alih-alih menggeram frustasi, perasaan yang begitu dalam mencintai seseorang tetapi hubungannya kandas dalam semalam.

"Sial*n! Ada apa dengan ku?" Suaranya yang biasanya tegas melemah dan menggema di tiap sudut ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya temaram dari perapian.

Pria itu mencengkram rambutnya sendiri, amarah seketika membuncah tak terkendali dan sukses menguasai dirinya yang hampir gila, "Itu sudah berakhir.."

Mendengus kasar, lalu menjatuhkan dirinya ke sofa, tubuhnya terguncang oleh gejolak emosi yang tak sanggup ia redam.

Mengingat kembali semua kenangan manis yang pernah ia lalui bersama seseorang yang sudah lama ia cintai, membuat dadanya seakan dihujam tombak besar—berulang kali, tanpa ampun. Penyesalan. Ingin rasanya ia memutar waktu jika ia bisa!

Amarah dan luka yang membusuk di dalamnya terus meledak.

Dengan sengaja, ia melemparkan satu botol alkohol besar yang masih tersegel ke lantai. Suaranya pecah menggema, sekeras hatinya yang retak tak bisa lagi ditambal.

"Keluarlah dari kepala ku!" teriakannya berat, ada nada putus asa didalamnya. Hening masih menenggelami kegelapan malam, "...Aku mencintaimu lebih dari orang itu, aku ingin kita bersama dan memperpanjangnya. Ini semua karena mereka!"

Di tengah kesunyian itu, hanya ada satu orang yang menyaksikan ledakan emosi sesaat—pelayan pribadinya, Kyle Watson.

Namun pria paruh baya itu lebih dikenal hanya sebagai Watson, seiring usianya yang telah melewati setengah abad. Rambutnya kini nyaris sepenuhnya beruban tapi sorot matanya tetap tajam, penuh pemahaman dan insting.

Pria blasteran tersebut masih menunduk dengan tangan mengepal penuh darah diatas pinggiran sofa, menatap ke suatu tempat dengan tajam. Berpikir sesaat.

Ia diharuskan menikah dengan wanita pilihan orang tuanya bukan dengan pilihannya sendiri, meskipun pernikahan pertamanya hanyalah sebuah perjanjian tertulis— namun sebuah perpisahan tetap akan terjadi.

Sorot pandangannya masih tajam seperti biasa. "Aku akan menentangnya..."

"Meski akan ada konsekuensi, aku akan tetap menentangnya." Napasnya masih memburu berat, ada sedikit obsesi dan rasa tak rela yang sudah mengambil alih dirinya sejak lama.

"Tuan Muda Raymond, saya hanya ingin menyampaikan bahwa Tuan dan Nyonya Besar meminta Anda untuk menghadiri makan malam pertunangan dengan Nona Lancaster," ujar pria paruh baya, di tengah kekacauan Watson melemparkan bom dengan tenang sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya.

Pria itu masih diam, lalu tubuhnya seketika berdiri dan mengenakan jas. Ia tak peduli apa yang akan terjadi kedepannya. Segalanya sudah bulat dan jelas.

Senyumnya getir dan dari atas nakas tangannya tiba-tiba menyambar cepat sebuah lembaran kertas lalu merobeknya hingga berkeping-keping seolah menghilangkan sekat di antara keduanya.

Pandangan Watson mencengang, diam.

"Watson, batalkan saja makan malam tak berguna itu. Aku tidak akan mengikuti permintaan mereka," ucapnya tegas sambil melangkah mantap.

"Aku akan kembali ke Negara itu untuk membawanya kembali. Keputusan ku sudah bulat dan aku tidak akan tinggal diam." Suaranya datar, seperti biasa.

Ia lalu menarik benda pipih dari saku celananya dan segera menghubungi asistennya.

"Will, daftarkan aku di penerbangan darurat secepatnya. Aku tidak punya banyak waktu" perintahnya dengan dingin.

"E-eh... ba-baik, Tuan!" sahut Will tergagap dari tempat lain, mengangguk cepat tanpa benar-benar memahami alasannya.

Sementara itu, Watson masih tertegun dengan keberanian yang entah datang dari mana ia akhirnya melangkah lebih cepat untuk mencegatnya tiba-tiba.

"Maaf, Tuan Muda. Anda tidak bisa pergi ke negara itu sekarang. Tuan dan Nyonya Besar sudah melarangnya anda dan saya … saya tidak bisa menyampaikan pembatalan makan malam itu kepada mereka," jelas Watson, suaranya mengandung tekanan tegas.

Namun, ucapannya justru memicu reaksi tak terduga. Pria itu sontak menodongkan senjata api tepat ke dahi Watson.

Klak—!

"Ada pesan terakhir mu, pria tua?" Seringainya melebar, dingin dan acuh, namun mengandung ancaman yang terdengar seperti predator.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terpopuler

Comments

jembatan Ancol juga angker sama kayanya

2024-08-29

0

Pena dua jempol

Pena dua jempol

mampir sejenak karena ceritanya seru 👍🏿❤️

2024-06-24

1

R.F

R.F

semangat
mampir ya

2024-01-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!